Pages

Saturday, September 7, 2013

Menyerah Pada Merbabu



"A man should never betray his promise."

Saya pernah membuat janji pada diri sendiri-janji untuk mendaki Gunung Merbabu suatu saat nanti. Setelah terulur terus menerus, akhirnya kesempatan untuk menjejakkan kedua kaki di gunung yang memiliki ketinggian 3.142 meter itu datang juga. Mengingat salah seorang teman jalan-jalan saya, Yanta-si spesialis pendakian gunung-sebentar lagi bakal disibukkan dengan urusan pekerjaan maka saya mengutarakan kembali niatan mendaki Merbabu kepada dirinya. Niatan saya bersambut, dia menyetujui-pula halnya dengan teman saya yang lain, Dian, serta tetangga saya-Decky. Berbagai macam persiapan saya persiapkan dengan matang. Latihan fisik ringan saya jalani secara rutin selama kurang lebih 3 minggu sebelum pendakian. Peralatan keperluan mendaki gunung yang tak saya miliki juga langsung sukses terbeli. Semua demi Sang Merbabu. Sayangnya, proses pendakian tak berakhir seperti yang saya bayangkan dalam angan-anggan. Dengan berat hati, dua tangan saya angkat ke udara. Saya menyerah.

Selasa, 3 Januari 2013

Rumah Yanta-Pukul 11.30 WIB
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam lamanya sampailah kami semua di rumah Yanta. Rumah itu menjadi semacam tempat pengecekan terakhir dan pembagian tugas peralatan mendaki baik pribadi maupun kelompok. Siang ini kabut tebal nampak menggelayuti gunung yang menjadi tujuan kami. Saya sedikit khawatir, tapi Yanta terus menenangkan dengan mengatakan bahwa itu adalah hal biasa. Rencana pendakian kami kali ini akan dimulai melalui Jalur Cunthel-salah satu dari empat jalur yang biasa digunakan para pendaki untuk menaklukkan Gunung Merbabu. Basecamp Cunthel sendiri letaknya tak begitu jauh dari rumah Yanta, mungkin sekitar 30 menit perjalanan melewati jalan penuh dengan losmen murah di kanan kiri jalan sepanjang daerah Kopeng, bergantian dengan ladang penduduk yang nampak kehijauan.

Merbabu tertutup kabut

Basecamp Cunthel-Pukul 12.00 WIB
Kondisi basecamp hari ini tampak sepi, mungkin karena masih termasuk weekdays. Selain beberapa petugas berpakaian seragam warna biru hanya tampak sepasang pendaki yang terlihat tengah beristirahat sejenak sebelum memulai pendakian. Mereka berdua datang jauh-jauh dari Jogja dengan mengendarai motor. Saya sedikit terhenyak, belum mendaki mereka pasti sudah lelah duluan. Yanta kemudian mendatangi meja administrasi untuk mendaftarkan diri kami di buku log pendakian. Uang sebesar Rp 4.000,00 per orang dan Rp 2.500,00 per motor diserahkan sebagai semacam tiket masuk dan biaya penitipan motor. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari masjid di tengah desa. Kami sepakat untuk sowan Gusti dulu sebelum memulai pendakian. Sehubungan dengan letak masjid yang searah dengan rute pendakian, barang-barang bawaan turut kami bawa agar selesai ibadah bisa langsung memulai pendakian.

Tiket pendakian

Jalur Awal Pendakian-Sekitar Pukul 13.04 WIB
Langkah-langkah kecil kami mulai menapaki jalur awal pendakian. Semangat saya masih tinggi-tingginya walaupun dalam hati kecil sedikit terkejut dengan sambutan jalur awal itu. Bagaimana tidak, kami langsung disambut dengan jalan paving desa dilanjutkan jalan tanah berbatu yang menanjak dengan curam. Tas carrier saya terasa berat bukan main dan menambah beban tubuh ini. Hal yang saya sesali hingga akhir pendakian karena pada akhirnya, hanya seperempat isi dari tas ini yang terpakai. Jadi, mau berangkat atau pulang tetap saja berat. Apalagi, baru kali ini saya mendaki dengan memakai tas carrier sehingga tubuh belum begitu terbiasa. Saya sempat heran memandang Yanta yang berjalan jauh di depan. Tas carriernya lebih besar dan isinya juga jauh lebih berat tapi langkah kakinya tampak mantap sekali menapaki rute. Rasa kagum bercampur iri pun menerpa diri. Ah.

Jalur awal, nanjak langsung!

Decky-Saya-Dian (masih segar)

Yanta-Decky-Dian

Pos Bayangan I - Pukul 13.35 WIB
I'm out of breath! Ini baru sampai pos bayangan pertama tapi tubuh saya sudah lemas luar biasa. Nafas dan detak jantung juga mulai terasa tak beraturan. Saya meminta kepada ketiga teman untuk rehat sejenak. Pos Bayangan I tampak masih diperbaiki. Salah seorang pekerjanya menyapa kami. Sapaan yang tak begitu saya gubris karena tengah fokus merelaksasikan diri. Ada sekitar 15 menitan kami beristirahat disana, sebelum memulai kembali pendakian ditemani matahari yang bersinar terik. Ini aneh, padahal tadi dari bawah terlihat si gunung perempuan terlihat diselimuti kabut tebal. 

Pos Bayangan I tengah direnovasi

Pos I (Watu Puput) - Pukul 15.26 WIB
Finally, kami sampai juga disini. Saya melihat jam tangan, hampir jam setengah empat. Dua jam perjalanan untuk kesini dari pos bayangan I. Padahal, normalnya hanya memakan waktu setengah jam. Saya mengakui, itu kesalahan saya. Sayalah yang membuat tempo pendakian menjadi lebih lambat. Beberapa kali saya meminta rehat di sepanjang perjalanan menuju pos ini. Jalan tanah berbatu yang agak basah turut serta memperlambat langkah. Decky bahkan sampai menawarkan untuk membawa tas carrier ketika melihat saya begitu kewalahan. "Tukar bawaan saja,"-tukas saya menyambut tawaran gila darinya. Dua tas backpack kecil milik Decky pun ganti menempel di punggung saya. Sebenarnya ada rasa tak tega, itu tas milik saya, saya sendiri yang mengepaknya, tapi kenapa justru orang lain yang membawakan beban yang saya ciptakan sendiri? Dengan perlahan-lahan saya mencoba mengekor si Decky yang sudah tampak jauh berjalan di depan. Sebuah tongkat kayu menjadi teman baru saya selama perjalanan ini.

Itu yang dibawa Decky, tas saya. Huks.

Dian-Yanta-Saya (mulai kucel)

Plang Pos I

Sepanjang Perjalanan Menuju Pos II- Pukul 15.55 WIB
Saya mulai merasakan menjadi beban bagi teman-teman yang lain. Posisi saya saat ini jauh di belakang mereka semua. Langkah kaki ini sudah tak lagi bisa mengimbangi langkah Yanta, Dian dan Decky. Tanjakan di sepanjang rute juga jauh lebih curam dibandingkan yang sebelumnya. Tak ayal, nafas saya cepat ngos-ngosan dan jantung berdetak semakin cepat sehingga terdengar bagaikan deru genderang perang di film-film kolosal. Istirahat sendirian coba saya lakukan demi sejenak menghela nafas. Ketiga teman sampai harus sering ikutan berhenti demi menunggui saya yang berada di belakang. Beberapa kali Yanta bahkan sampai harus menyusul turun kembali ketika mungkin dirasa terlalu lama saya beristirahat. Saya hanya bisa mengucapkan rasa terima kasih dan meminta maaf karena telah merepotkan kalian semua. Saya tak menyangka mendaki Gunung Merbabu bakal seberat ini. Tiba-tiba terdengar nyanyian dari mulut Yanta. Nyanyian yang begitu saya kenal. Sepotong lirik Titanium-nya David Gueta tengah dinyanyikan, entah untuk tujuan mengisi waktu atau untuk membangkitkan semangat saya. Saya hanya tersenyum dan kembali mencoba untuk berdiri. Yes, I'm bulletproof, nothing to lose.


Yanta dalam perjalanan ke Pos II


Yay!


Teduh gitu, wajar kan kalau saya ketiduran? :p

Pos III (Kergo Pasar) - Pukul 17.27 WIB
Hari mulai senja ketika kami sampai pada suatu padang datar lapang yang terhiasi oleh beberapa bekas api unggun di sudut-sudutnya. Lagi-lagi perjalanan molor karena diri ini. Apalagi kata teman-teman saya sempat tertidur di Pos II (Kedokan). Saya memang mulai mengantuk. Namun kata Yanta, target kita mendirikan tenda bukan disini melainkan di Pos IV alias Puncak Pemancar. Puncak Pemancar sendiri terlihat jelas dari Pos III. Berdiri gagah di atas sana. Saya cuma melongo ketika melihat tanjakan panjang sebelum bisa mencapainya. Baiklah, berikan saya waktu beristirat sejenak sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Angin dingin khas pegunungan mulai terasa merasuk ke dalam tubuh. Matahari juga mulai menghilang dan digantikan oleh ribuan bintang penghias langit malam. Sebuah topi kupluk berwarna hitam dan head lamp pun saya kenakan. Kali ini dengan ditemani Dian, saya mulai bergerak menyusul Yanta dan Decky yang sudah menanjak duluan. Samar-samar terlihat sorotan senter dan teriakan dari atas sana. Teriakan dua teman kami sebagai penanda kalau mereka telah sampai di suatu bagian dari tanjakan panjang ini.

Menuju Pos III

My peace finger in a middle of nowhere

Dian

Saya ngantuk dan kedinginan


Sepanjang Perjalanan Menuju Pos IV-Pukul 17.57 WIB
Kalau bisa dibilang dari semua jalan yang telah saya lewati, mungkin sepanjang perjalanan menuju Puncak Pemancar inilah yang paling berat. Selain tanjakan-tanjakan curam, tanah yang kami pijak berupa tanah berpasir yang licin. Sesekali saya tepeleset ringan. Di salah satu bagian bahkan saya sukses terpeleset parah, sudah sampai di atas eh melorot lagi ke bawah. Kondisi saya benar-benar terlihat pathetic sekali waktu itu. Teman-teman terlihat hendak menolong tapi sambil tertawa lepas melihat saya. Grrr. Bercampur aduk sudah perasaan saya, antara malu, lapar, sedih, lelah, mengantuk dan kedinginan. Saya sudah tidak peduli lagi dengan tempo berjalan. Buat saya yang terpenting sekarang adalah bisa sampai Puncak Pemancar. Sembari mendaki tertatih-tatih, saya mencoba menikmati pemandangan di sekitar. Gerak rerumputan tertiup angin, bunga edelweiss yang tetap cantik di pekatnya malam, konstelasi bintang-bintang di langit hingga kerlap-kerlip lampu desa dan kota di bawah sana sanggup membius saya selama perjalanan. Decky dan Yanta secara bergantian terkadang turun kembali ke bawah untuk mengecek apakah saya baik-baik saja. "Ayo...sebentar lagi sampai!"-pekik mereka.

Mulai gelap, mulai gelap


Puncak Pemancar - Pukul 19.44 WIB
Alhamdulillah, akhirnya sampailah saya di Pos IV. Yanta mulai membongkar tas carriernya dan mengeluarkan tenda yang akan kami pakai. Bahu membahu kami mendirikan tenda berkapasitas empat orang ini. Semua dilakukan serba cepat karena kami tengah berlomba melawan angin dingin yang terus bertiup kencang. Gigi mulai saling bergemelatuk dan tangan menjadi kaku luar biasa. Entah berapa suhu saat ini. Setelah tenda sukses berdiri, kami memasak air untuk minum dan makan. Niatnya sih supaya badan terasa lebih hangat tapi air panas pun cepat berubah menjadi dingin di atas sini. Ah, malam sudah semakin larut. Saatnya kami tidur dan mengistirahatkan diri. Err, meski kami harus tidur bersempit-sempitan seperti sekarang. Selamat malam. Selamat malam dari Gunung Merbabu.


######



Rabu, 4 September 2013

Puncak Pemancar - Pukul 05.18 WIB
Saya terbangun dari tidur yang cukup menyiksa. Decky sudah tidak ada di dalam tenda. Entah jam berapa dia telah bangun. Tadi malam sepertinya dia adalah orang yang paling tidak bisa tidur. Posturnya yang tinggi menjulang pasti membuat tidur di tenda sempit seperti ini menjadi hal paling menyebalkan. Ada kemungkinan pula dia tak bisa tidur karena tepat berada di sebelah saya. Lagi-lagi karena saya. Maaf.

Saya membuka pintu tenda dan langsung terpukau oleh pemandangan di depan mata. Semburat garis berwarna oranye keemasan menghiasi langit hari ini. Saya langsung berteriak histeris dan sukses membuat Dian dan Yanta terbangun dari tidur nyenyaknya. Secara bergantian kami bertiga keluar dari tenda dan ikut menemani Decky menikmati sunrise. Kamera pocket kesayangan pun mulai beraksi mendokumentasikan sudut- sudut dari Puncak Pemancar yang tengah disinari mentari pagi. Subhanallah, indah sekali dari atas sini.

Cakep!

Matahari mulai keluar

Puncak Pemancar adalah nama salah satu dari tujuh puncak yang ada di Gunung Merbabu. Alasan disebut dengan nama pemancar adalah karena di puncak ini terdapat tower pemancar bekas saluran komunikasi. Nama lain dari puncak yang memiliki ketinggian 2.883 mdpl ini adalah Puncak Watutulis. Saya kurang tahu kenapa disebut seperti itu, mungkin berhubungan dengan banyaknya batuan-batuan gunung yang menjadi korban vandalisme para pendaki jahil dari masa ke masa. Selain Puncak Pemancar, nama keenam puncak lainnya adalah Puncak Watugubug, Gegersapi, Ondorante, Syarif, Kentheng Songo dn Tringulasi. Yang disebut terakhir adalah nama puncak paling tinggi dengan ketinggian 3.142 mdpl.

Tower Pemancar

Itu, puncak yang lain ada di ujung sana dan ujung sana

Sindoro-Sumbing, saingan Merapi-Merbabu

Saya harus merangkak demi foto ini.
Bawahnya jurang kak. >.<

Keasikan saya menikmati pemandangan sedikit terhenti ketika keluar pertanyaan dari mulut Yanta. Intinya menanyakan apakah saya akan ikut melanjutkan perjalanan ke puncak lain atau menunggu disini. Deg. Batin saya bergejolak. Saya cuma bisa terdiam sejenak. Memikirkan segala sesuatunya. Jujur, mau banget saya bisa menjejakkan kaki ke puncak-puncak yang lain tapi apakah saya mampu? Mengingat perjalanan naik ke puncak ini saja sudah membuat saya bergidik. Cukup sudah. Saya tidak mau menjadi beban bagi teman-teman yang lain. Saya tidak mau perjalanan tim jadi lambat karena diri ini. Saya tidak mau merepotkan mereka lagi. Kali ini, saya menyerah.

Ada surat botol orang tuh.
Ceritanya mengharukan. :'(

Saya hanya bisa memandang ketiga teman saya berlalu melanjutkan perjalanan. Katanya, paling jam sembilan pagi mereka sudah kembali kesini. Tak banyak hal yang bisa saya lakukan selama proses menunggu mereka. Mulai dari mengepak kembali barang bawaan, menulis hal-hal penting selama perjalanan di note smartphone, memfoto pemandangan, foto narsis seorang diri hingga melakukan hal-hal kurang kerjaan seperti memanjat tower pemancar pun saya lakukan demi membunuh waktu. Berulang kali kabut tebal datang menutupi puncak ini sehingga membuat saya ketakutan. Tenang, teman-teman saya pasti segera kembali.

Kegiatan mengisi waktu luang -_-

Kabut mulai menyerang, kisanak

Foto paling absurd  abad ini!

Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam sembilan lebih tapi mereka belum juga kembali. Saya mencoba menunggu lagi. Lima belas menit, tiga puluh menit, satu jam kemudian masih belum ada tanda-tanda kedatangan mereka. Saya mulai gelisah. Kabut juga makin tebal bergelayut di sekitaran tenda. Apa yang membuat mereka tak segera kembali? Pikiran-pikiran positif coba saya mainkan di kepala, mungkin mereka sedikit kelelahan sehingga harus beristirahat, mungkin juga mereka tengah terjangkit euforia sampai di puncak sehingga memakan waktu lebih lama. Mungkin. Saya hanya bisa pasrah dan kembali menunggu mereka di luar tenda. Tepat satu jam selanjutnya baru nampak terlihat mereka berjalan kembali dari kejauhan. Raut kelelahan terlihat sekali di wajah mereka terutama pada Decky dan Dian. Selamat ya teman-teman kalian telah sukses menaklukan puncak yang lain.

Decky pamer. :(

We Love Indonesia-katanya Decky.
Err, baiklah.

Ada sekitar 30 menitan waktu yang digunakan ketiga teman saya untuk beristirahat sejenak sebelum beberes kembali. Bahu membahu kami kembali membongkar tenda, membereskan sampah dan memasukkan barang-barang pribadi ke dalam tas masing-masing. Jam 12 siang tepat, saat matahari masih terik-teriknya kami bersiap untuk memulai perjalanan pulang. Saat doa bersama, dalam hati saya meminta kepada Allah semoga dalam perjalanan pulang, diri ini tak lagi menjadi beban bagi teman-teman. Ringankanlah langkah kaki ini, berilah kekuatan sehingga bisa sampai di bawah dengan selamat. Amin.

Sebelum pulang


Sepanjang Perjalanan Pulang-Pukul 12.00 WIB
Selama perjalanan pulang, saya selalu dikagetkan dengan kondisi jalur yang akan dilewati. Jalur itu adalah jalur yang sama dengan jalur kami naik kemarin malam. Mungkin karena gelap, saya kurang memperhatikan tapi manakala terang benderang seperti ini semua jadi terlihat jelas. Turunan curam terlihat jelas, jurang-jurang juga terlihat jelas. Perasaan ngeri campur rasa tidak percaya sukses menerpa. Tidaaaakkk.

Edelweiss- Sang Bunga Abadi

Saya hanya bisa merapalkan doa-doa sederhana saat harus melewati bagian-bagian yang membuat takut. Terkadang saya harus turun dengan posisi merosot terutama di tempat yang penuh dengan alang-alang. Seru sekali. Rasanya seperti waktu main perosotan di waterboom, cuma yang membedakan kanan kirinya jurang. Tawa kadang terdengar dari mulut kami saat bermain perosotan alami tersebut. Sayangnya, kesenangan kami harus berakhir di ujung jalur menuju Pos III. Sturuktur tanah yang padat dan tak dihiasi alang-alang menjadi penyebabnya. Kali ini, kami benar-benar harus mengandalkan kekuatan kaki untuk bisa terus menuruni jalur.

Bunga alang-alang

Gorgeous!

Benar kata Dian, mendaki itu memang lebih berat tapi menurun itu lebih menyakitkan. Ya, apalagi kalau bukan buat kaki-yang kini selain harus bisa mantap memijak juga harus mantap mengerem agar tidak kebablasan. Duh, rasanya jari-jari kaki saling memberontak dan berteriak. Perih itu pasti. Namun, saya harus tetap berjalan. Di setiap pos, kami semua berhenti untuk sekedar meregangkan otot kaki dan menghapuskan dahaga. Satu hal yang membuat saya terus semangat adalah membayangkan rumah dan segala kenyamanannya. Mandi dengan air dingin segar, Makan dengan lauk hangat, serta tidur bebas dan nyaman di kamar sendiri adalah hal-hal yang saya inginkan sekarang ini. Bismillah tunggu saya, rumah.

Home Sweet Home - Pukul 16.30 WIB
Kakak perempuan yang membuka pintu rumah langsung terkejut melihat kondisi saya. Katanya, saya hitam-lah, kucel-lah, bau-lah, atau dengan kata lain mengenaskan. Saya cuma bisa tertawa kecut mendengar celaannya. Ah, rumah benar-benar terasa bagaikan surga. Saya dan Dian bergegas menurunkan bawaan kami dari motor dan mengangkatnya menuju kamar. Kakak saya langsung menagih cerita tanpa memperhatikan raut kelelahan parah dari kami berdua. Hasil jepretan dari kamera pocket kesayangan pun langsung saya sodorkan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

Satu jam selanjutnya, saya dan Dian sama-sama tengah berbaring di atas kasur. Kondisi kami berdua sudah bersih dan segar sehabis mandi. Celotehan dan keluhan saling bersahutan terluncur dari mulut kami, membahas tentang pengalaman pendakian kemarin. Saya menanggapi ocehan Dian sambil melihat hasil-hasil jepretan sepanjang perjalanan itu. Saya masih tidak percaya. Tidak percaya bahwa kaki ini pernah menginjak di Merbabu. Gunung yang selalu terlihat jelas dari rumah bahkan seantero kota. Walaupun pada akhirnya saya menyerah, tapi kenangan akan pendakian ini akan terus tersimpan manis dalam memori.

Terima kasih Decky, Yanta dan Dian.
Maaf telah merepotkan kalian semua.

Dear Merbabu, apa kabarmu petang ini? Saya hendak meminta maaf. Maaf karena janjiku kepadamu hanya bisa terpenuhi sebatas ini. Saya menyadari batas-batas yang ada, sadar pula akan beban yang bakal ditanggung teman-teman kalau nekat menyusuri puncak lainmu. Semoga akan ada waktu untuk kita berjumpa lagi dengan kondisi saya yang jauh lebih kuat, saya yang tak akan menyerah sebelum sampai ke Triangulasi. Semoga.

Salam Kupu-Kupu ^^d

4 comments:

  1. oh itu toh, kegiatanmu sembari menunggu kami kembali....

    itu foto yg paling absurdnya lagi nyervis pemancar ya.... haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. His!
      Yah, daripada pikiran kosong ntuul.
      Ntar kenapa-kenapa. -_-

      Delete
  2. ayo kapan kapan naik bareng sat :-D, ane juga pemula, suka ngos ngosan :-D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahah aku pendaki kelas cetek loh mas, tapi boleh dicoba kapan-kapan.
      kasih tahu kalau ada rencana jalan-jalan ya mas. :)

      Delete