Pages

Sunday, December 28, 2014

Berkelana Di Dua Museum Jogja



Bus Sugeng Rahayu melesat cepat meninggalkan Terminal Tirtonadi pagi itu. Membawa saya, Mbak Vica dan Meykke menuju ke Yogyakarta dalam rencana petualangan satu harian kami disana pada 24 Desember 2014 yang lalu. Awalnya, kami hendak menggunakan kereta Prameks untuk menuju kesana. Namun, karena takut kehabisan tiket karena kepergian kami bersamaan dengan musim liburan panjang maka kami lebih memilih bus agar lebih nyaman dan menghemat waktu. Sayang, kami salah perkiraan. Ketika sudah terlanjur naik bus yang penuh sesak, kami dihadapkan pada fenomena jalanan khas musim liburan dimana kondisi jalan terasa begitu padat.

Nyaris mendekati tiga jam, barulah kami bertiga sampai di Terminal Giwangan. Tujuan awal kami adalah Gumuk Pasir dan Pantai Parangtritis. Dari terminal, kami menggunakan bus kecil jurusan Parangtritis yang jalannya seperti siput. Belum lagi bapak sopir senang sekali ngetem di beberapa tempat. Saya jadi frustasi. Apalagi setelah mendengar ocehan ibu-ibu penumpang lain yang mengatakan kalau Jogja tengah padat-padatnya, dan bus jurusan ini yang kembali ke terminal akan berakhir pada pukul empat sore. Saya mulai mengkalkulasikan waktu yang kami miliki. Saat itu sudah mendekati jam setengah dua belas, membayangkan kecepatan bus ini yang terlalu lambat membuat saya bergidik ngeri. Setelah berdiskusi kilat dengan Mbak Vica dan Meykke, akhirnya kami bertiga segera minta turun dari bus dan membatalkan rencana kami menuju pantai.

Di tengah teriknya matahari Jogja siang itu, kami bertiga berjalan kaki menyusuri jalanan tanpa arah yang jelas. Cacing di perut kami sudah mulai berontak meminta jatah makanan yang tak kunjung datang sedari pagi. Kami akhirnya mencari makanan terlebih dahulu sembari memikirkan apa langkah selanjutnya yang akan dipilih. Mengingat hari sudah semakin siang dan jalanan Jogja semakin padat, kami sepakat untuk menggunakan jasa taksi untuk mengantar ke dua obyek wisata tujuan lainnya. Kami beruntung, karena pergi bertiga sekiranya tarif taksi tak begitu memberatkan.

Museum Dirgantara - Museum tentang Pesawat Militer dan Pengingat akan Impian Semasa Kecil

Begitu mendapatkan taksi selepas makan, kami langsung bergegas menuju ke museum yang terletak di sekitaran Janti ini. Beberapa petugas berseragam TNI-AU tampak berjaga di depan jalan masuk menuju ke arah museum. Setelah menjelaskan kedatangan kami, salah seorang petugas menyuruh kami ke pos jaga dan salah satu di antara kami bertiga harus meninggalkan kartu identitasnya.

Dari pos jaga, kami harus berjalan sejauh 400 meteran menuju lokasi museum yang berada di tengah kompleks pemukiman militer. Sejumlah bus bertuliskan "studi banding" tampak berseliweran di sekitar kami yang membawa ratusan siswa dari berbagai daerah. Iya, kami memang salah waktu. Ah, tapi sudah terlanjur. Masa bodoh jika akhirnya nanti kami harus berdesak-desakan dengan ratusan manusia di dalam museum.

Setelah membayar tiket seharga Rp 10.000,00 untuk tiga orang dan mengisi buku tamu, kami pun bisa memulai petualangan di dalam museum seluas 8.000-an meter persegi ini. Empat patung tokoh perintis TNI-Angkatan Udara yakni Adisucipto, Abdulrachman Saleh, Iswahjudi dan Halim Perdana Kusuma serta lambang Swa Bhuwana Paksa nampak gagah  menyambut kami semua. 

Mbak Vica dan Meykke di depan
lambang TNI-AU

Museum Dirgantara terbagi ke dalam ruangan-ruangan. Semua ruangan memiliki perbedaan informasi yang disuguhkan kepada para pengunjung. Ada ruangan yang berisikan rincian sejarah pembentukan TNI-AU, ruangan yang berisikan manekin-manekin berpakaian seragam dari TNI-AU, ruangan penghormatan bagi kepala staff TNI AU dari masa ke masa, hingga ke ruangan diorama.

Entah kenapa liat manekin-manekin dalam kotak itu
jadi teringat video clip It's Gonna Be Me-nya NSYNC :D

Kami bertiga berfoto di dalam ruang penghormatan
para kepala staff dan prajurit TNI-AU

Salah satu diorama tentang penerbangan di era lampau

Ruangan display yang paling menarik hati kami semua adalah ruangan alutista (alat utama sistem senjata). Di ruangan berbentuk hanggar ini tersimpan berbagai jenis pesawat militer yang pernah digunakan oleh TNI-AU baik yang dibuat  di luar maupun dalam negeri. Pesawat-pesawat dengan beraneka ukuran, jenis dan warna menghiasi hanggar tersebut. Satu yang paling saya ingat adalah pesawat dengan nama Kampret, bentuknya ramping dan dihiasi oleh gambar gigi dan mata di moncong pesawatnya. Imut sekali.

Searah jarum jam: helikopter satu awak, roket,
pesawat baling-baling ganda, dan pesawat Kampret


Siang itu ruangan alutista terasa penuh sesak dan gerah. Rombongan pelajar yang kami jumpai di jalan masuk museum tadi, seluruhnya tampak tersihir oleh koleksi di ruangan tersebut. Mayoritas malah sibuk foto-foto dan melupakan petugas guide dari pihak museum. Saya merasa kasihan dengan beliau. Tapi memang ruang alutista ini keren sekali. Jarang-jarang kan masyarakat sipil bisa melihat pesawat militer, roket sampai radar pemantau darat dari dekat?

Meykke di atas alat pemantau darat

Foto bertiga setelah minta tolong ke pengunjung lain

Saat berada di dalam ruangan alutista inilah mendadak saya jadi teringat akan impian semasa kecil dahulu. Iya, saya pengin jadi seorang pilot. Menerbangkan pesawat di atas awan-awan, memakai seragam yang sesuai dengan lekuk badan. Ah sayang, saya tak segigih itu mengejar impian masa kecil tersebut.

Di ruang alutista ini ada sebuah pesawat yang bisa dinaiki hingga ke bagian kokpit. Saya segera bergegas menuju kesana bersama salah seorang siswa dari rombongan tadi. Saya duduk di bagian kanan, dia duduk di bagian kiri. "Ayo dek, kita terbang! Aku pilot dan kamu co-pilot-nya ya", kata saya kepada anak tadi. Dia hanya tersenyum sambil menekan-nekan tombol di depannya. Di luar pesawat, Meykke sudah siap mengabadikan saya melalui kamera digital. Mama, Papa...anakmu sudah jadi pilot! *plak*


Mom, Dad...I'm flying!

Museum Affandi - Ruang Pamer Sekaligus Tempat Peristirahatan Terakhir Sang Maestro

Tujuan kami selanjutnya setelah dari Museum Dirgantara adalah menuju ke Museum Affandi yang terletak di Jalan Laksda Adisucipto. Saya pertama kali mengetahui museum ini dari foto di instagram salah seorang teman. Kalau diingat-ingat, saya belum pernah sekalipun mengunjungi museum yang dikelola secara pribadi dan diperuntukkan bagi penghormatan seorang seniman pada petualangan-petualangan saya sebelumnya. Jadi, kunjungan ke Museum Affandi ini adalah pengalaman pertama bagi saya.

Kami kembali memakai jasa taksi untuk menuju ke museum yang berada persis di pinggir Sungai Gajah Wong ini. Kata bapak sopir taksi, ciri khas dari Museum Affandi terletak pada pohon besar entah jenis apa yang terletak tepat di dekat gerbang masuknya. Dahulu, Pemerintah Kota Yogyakarta pernah meminta ijin untuk menebang pohon tersebut namun ditolak mentah-mentah oleh Affandi.

Ada sebuah pos tiket kecil di sisi kanan setelah gerbang. Seorang wanita muda menyambut kami dan menjelaskan biaya tiket. Biaya yang sedikit membuat kami terhenyak. Okelah, jika tiket masuk per orang dikenakan biaya sebesar Rp 20.000,00 namun jika satu buah kamera digital saja juga dikenakan biaya yang sama tentu berat sekali rasanya. Di museum atau tempat wisata lain saja paling mahal cuma lima ribu rupiah.

Awalnya, kami hendak sedikit berniat jahat. Hanya membayar tiket masuk dan mengambil foto sembunyi-sembunyi. Bisa sih sebenarnya. Tapi entah kenapa, ada rasa bersalah yang terus menyergap diri ini. Seolah-olah saya telah lancang sekali terhadap Affandi dan seluruh pengurus museum itu. Belum lagi rasanya jadi tidak bebas. Akhirnya setelah berdiskusi dengan Mbak Vica dan Meykke, saya memutuskan membeli tiket kamera tadi. Biarlah, toh, saya juga butuh buat dokumentasi di blog ini bukan? *nangis darah*

Kalau ada yang tidak paham siapa itu Affandi, beliau adalah seorang seniman lukis yang dianggap sebagai maestro seni lukisnya negara kita. Nama beliau termahsyur tidak hanya di dalam negeri saja, melainkan juga di dunia internasional. Affandi merupakan salah seorang dari sedikit pelukis beraliran ekspresionisme - aliran yang mendistorsi kenyataan dengan efek nan emosional. Museum Affandi dirintis sendiri oleh beliau dimana ia memanfaatkan rumah yang dimilikinya untuk digunakan sebagai ruang-ruang pamer. Affandi telah meninggal dunia bahkan ketika saya belum lahir yakni pada 23 Mei 1990.

Secara kesuluruhan, Museum Affandi terdiri atas empat galeri. Galeri pertama menampilkan beberapa karya dari sang maestro sendiri, termasuk ke berbagai pemberitaan media maupun penghargaan yang diperolehnya selama beliau hidup. Mobil Colt Gallan berwarna kuning kehijauan kesayangan Affandi juga tampak di galeri itu.

Suasana galeri I
Meykke dan Mbak Vica di Galeri I
Galeri kedua juga masih menampilkan karya dari beliau namun lebih ke dalam bentuk sketsa (sketch). Saya takjub sekali pada bagian ini karena dari guratan-guratan sketsa Affandi terlihat kalau ia merupakan seorang pelukis yang sangat detail. Kebanyakan sketsa beliau adalah panorama landscape tempat-tempat yang beliau kunjungi baik di dalam maupun luar negeri.


Galeri II

Di antara kedua galeri inilah terdapat pusara dari Affandi dan Maryati-istri kedua beliau. Pusaranya tampak sederhana. Berbentuk persegi dengan dihiasi ornamen kayu sederhana di belakang papan nama mereka. Kabarnya, Affandi sendirilah yang memilih lokasi itu sebagai tempat peristirahatan terakhir.

Pusara dari Affandi dan Maryati

Galeri ketiga dengan bangunan paling tinggi di antara galeri lainnya, diperuntukkan bagi ruang pamer untuk karya dari istri, anak maupun anggota keluarga Affandi. Begitu masuk, kami langsung disambut oleh karya dari Maryati yang ahli dalam seni rajutan. Selebihnya merupakan karya lukisan dari anak-anak beliau baik dari istri pertama maupun kedua. Di galeri ini juga disediakan semacam home theater untuk menyaksikan film dokumenter singkat tentang Affandi yang tersedia dalam berbagai bahasa.

Galeri III

Galeri keempat dijuluki dengan sebutan Studio Gajah Wong. Galeri ini diperuntukkan sebagai ruang pamer bagi seniman-seniman lain baik yang dekat dengan Affandi maupun para muridnya. Studio ini juga bisa digunakan sebagai tempat belajar melukis bagi para seniman muda.

Mbak Vica, pelukis abal-abal di
Studio Gajah Wong

Ada pula bangunan gardu pandang yang berada tepat di belakang dari galeri ketiga. Dari sana kami bisa melihat pemandangan di sekitar museum: mulai dari jalanan yang padat kendaraan, Sungai Gajah Wong yang airnya berwarna keruh, hingga atap galeri pertama yang berbentuk seperti daun pohon pisang. Ini terinsipirasi dari pengalaman Affandi yang menggunakan daun pohon pisang untuk melindungi lukisannya dari panas dan hujan.

Gardu Pandang

Ciat!

Kunjungan ke Museum Affandi menjadi pungkasan dari pengelanaan kami selama sehari di Yogyakarta. Saya dan Mbak Vica selanjutnya berpisah dengan Meykke. Kami hendak menuju ke rumah rekan Mbak Vica terlebih dahulu sebelum lanjut pulang ke Salatiga, sedangkan Meykke berencana menginap di rumah teman yang lain dan pulang keesokan harinya. Ah, sungguh petualangan kali ini menyenangkan sekaligus melelahkan sekali. Semoga berkenan ya Meyk, Mbak Vic.

Terima kasih sudah mengikuti pengelanaan kami :D

Salam Kupu-Kupu dan selamat merayakan pergantian tahun. ^^d

3 comments:

  1. Yeeeeyyyyy you can write my name correctly!! :D thank you for inviting me to ur express holiday! Im looking forward for the next

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huh? I always wrote your name correctly Meyk, even in previous posts.
      My pleasure!
      I'm looking forward our next journey too. :D

      Delete