Semenjak para tetangga saya pergi merantau satu persatu, saya jadi jarang berpetualang dengan menggunakan motor. Kalaupun memakai, biasanya hanya ke jarak-jarak dekat saja. Padahal dulu ketika jaman kuliah, touring pakai motor selama 6-7 jam perjalanan adalah hal yang biasa. Pertengahan bulan lalu, akhirnya kesempatan untuk pergi yang lumayan jauh dengan memakai motor kembali tiba. Kali ini, ditemani oleh Betty dan Agam, saya melancong menuju ke Kabupaten Karanganyar yang memakan waktu 2,5 jam perjalanan dari Salatiga. Kemana saja kami?
Perjalanan touring ini rencananya akan saya tulis dalam dua bagian. Ada lima tujuan yang kami datangi pada one day trip kami ke kabupaten yang ternyata kaya akan obyek wisata tersebut. Sebenarnya kepergian kami diawali kegagalan saya mengunjungi tempat-tempat itu di masa lalu. Kebetulan bersua kembali dengan Betty-teman jaman SMA yang meneruskan kuliah di Solo, saya pun mencoba menghidupkan kembali rencana tadi. Untunglah, Betty bersedia menemani. Agam yang kebetulan tengah libur dari pekerjaannya kemudian turut serta dalam petualangan.
Saya dan Agam berangkat dari Kota Salatiga pagi sekali. Terlambat lima belas menit dari rencana awal kami yang hendak berangkat jam 5 pagi. Salahkan Agam yang terlambat bangun gara-gara jam alarm-nya mati. Sesuai jadwal, kami nanti akan berjumpa dengan Betty yang telah menunggu di depan gerbang kampusnya. Iya, di Solo sana.
Ada untungnya sekali berangkat pagi-pagi, jalanan masih lenggang sehingga saya dan Agam cepat sampai di tempat pertemuan kami dengan Betty. Touring resmi dimulai setelah Betty datang menemui kami berdua di lokasi yang telah kami sepakati bersama. Agam pun berpindah posisi memboncengkan Betty, sedangkan saya sendirian. Semula, Betty-lah yang saya gadang-gadang menjadi navigator pada perjalanan tersebut. Namun karena Agam kurang begitu bisa mengendarai motor dengan cepat, akhirnya justru saya yang berada di depan. Syukurlah, papan penunjuk arah jelas sekali terlihat dimana-mana. Off to our first destination~
Keberuntungan Berpihak Kepada Kami Saat Di Candi Sukuh
Saya dan Agam-Betty sempat terpisah saat hendak menuju ke candi yang dilaporkan pertama kali pada tahun 1815 ini. Saya mengambil arah kanan, sedangkan mereka berdua mengambil jalan biasa di sebelah kiri. Jalan yang saya pilih berupa tanjakan dan kemudian mengarah ke suatu desa. Desa itu bersisian dengan hutan karet lebat. Setelah lepas dari desa, saya kembali menemukan jalan raya yang (lagi-lagi) berupa tanjakan.
Area parkir masih sangat sepi saat saya tiba disana. Loket penjualan tiket masuk pun belum dibuka. Hanya ada sebuah mobil yang parkir selain motor matic milik saya. Saya tiba lebih dulu, terpaut sekitar 5 menitan dari Agam-Betty. Awalnya, kami bertiga sempat ragu apakah Candi Sukuh sudah boleh dimasuki sepagi itu. Beberapa orang petugas terlihat masih sibuk menyapu halaman candi dan menyiangi rumput. Namun setelah melihat pintu masuk candi sudah dibuka, kami nekat saja masuk ke dalam.
Dalam benak saya, saya berpikir kalau Candi Sukuh adalah candi yang besar seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan, tapi ternyata saya salah. Candinya kecil, seukuran dengan candi-candi di Kompleks Candi Gedong Sanga. Untuk menuju candi utama, kami bertiga harus melewati tiga tingkatan halaman.
Di tingkatan pertama, sebuah gapura dengan relief kepala raksasa di atas pintu masuk menyapa kami. Gapura ini ditutup oleh pagar besi dengan sesaji yang berserak di bawahnya. Dari tingkatan itu pulalah kami bertiga juga bisa menikmati pemandangan Karanganyar dari atas. Keren sekali.
Gapura di tingkatan pertama. |
Relief kepala raksasa. Kumohon, jangan makan aku. >.< |
Karanganyar dari tingkatan pertama |
Pada tingkatan selanjutnya, kami menjumpai banyak sekali arca maupun potongan relief yang tertata rapi di halaman masing-masing. Arca atau potongan relief itu paling banyak berada di tingkatan ketiga - tingkat dimana candi utama juga berada ditemani beberapa candi kecil lain dalam rupa puing. Arcanya bermacam-macam. Ada arca berbentuk burung garuda, kura-kura, dan tentu saja arca paling tersohor: arca pria tanpa kepala dengan, maaf, alat kelamin yang tengah "berdiri".
Mengintip gapura dari tingkatan kedua |
Salah satu relief. Ada banyak sekali relief disana dan tampaknya punya cerita masing-masing. |
Arca kura-kura |
Arca burung garuda |
Arca atau relief berbau seksual memang banyak ditemukan di Candi Sukuh. Konon, candi ini memang sengaja dibuat untuk menghormati Dewa dan Dewi Kesuburan. Bahkan, kabarnya candi tersebut juga dahulu digunakan untuk menguji keperawanan atau keperjakaan seseorang!
Arca yang paling banyak dicari dan difoto orang |
Candi Sukuh dari samping depan |
Dari belakang |
Saat kami bertiga tengah menikmati keindahan candi utama, tiba-tiba ada seorang bapak yang memanggil. Beliau rupanya merupakan orang dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Pusat. Waktu itu selain si bapak, telah ada beberapa orang lain yang berada di atas candi utama. Beberapa alat yang saya kurang tahu apa gunanya juga terlihat mengelilingi candi utama. Dari obrolan singkat kami, ternyata kedatangan bapak dan rekan-rekannya adalah dalam rangka melakukan kunjungan awal sebelum melakukan pemugaran.
Apa yang dipugar? Tentu saja candi utama. Bapak itu kemudian menunjukkan tangannya ke sisi kanan candi utama. "Lihat, ada batu penyusun candi yang seolah-olah mencuat keluar, kan? Ini bahaya. Kalau tidak segera dilakukan pemugaran, candi bisa runtuh sewaktu-waktu. Ngerinya lagi kalau runtuh pas ada pengunjung yang berdiri di atas sana. Kalian beruntung. Datang sebelum kami melakukan pemugaran. Coba datang besok, pasti tidak bisa masuk karena kawasan candi kami tutup, dan waktunya lama bisa tiga sampai enam bulanan", celoteh si bapak kepada kami.
Beberapa petugas BPCB sedang melakukan pendataan dan survei |
Saya, Betty dan Agam langsung bertukar pandang dan mengucapkan rasa syukur kami. "Kalian gak mau coba naik ke atas? Naik aja, mumpung belum kami tutup", tambah bapak tadi. Tanpa menunggu lama dan setelah meminta ijin, kami pun naik ke atas. Jalan masuk ke atas candi utama sangat sempit. Muat hanya untuk satu orang saja, sehingga kalau ada yang mau naik dan turun harus bergantian.
Di atas, rekan-rekan bapak yang lain tampak tengah berdiskusi serius sambil sesekali melihat sketsa yang mereka buat. Pemandangan dari atas candi utama ternyata jauh lebih keren dari pemandangan dari tingkatan pertama pelataran candi. Selain bisa melihat Karanganyar di kejauhan, kami juga terbuai oleh suasana sekitaran candi yang begitu hijau dan teduh. Ah, kami benar-benar beruntung. Sudah gratis, datang tepat sebelum dilakukan pemugaran pula. Kurang beruntung apa lagi kami?
Kunjungan Dadakan Ke Air Terjun Jumog
Sejujurnya, tak ada "Air Terjun Jumog" dalam rencana perjalanan yang saya buat bersama Betty. Agam-lah yang meminta secara mendadak setelah sepanjang perjalanan menuju Candi Sukuh tadi menemukan papan penunjuk arah air terjun itu di beberapa tempat. Kami sempat berdebat kecil, apalagi setelah tahu dari ibu petugas parkir Candi Sukuh yang mengatakan kalau untuk ke air terjun tersebut kami harus menuruni ratusan anak tangga dan melintasi sungai.
Namun setelah Agam merayu membabi buta sampai berkata dia lupa rasanya berkunjung ke air terjun, akhirnya kami semua sepakat mengunjungi Air Terjun Jumog terlebih dahulu. Jalan masuk ke air terjun itu letaknya cukup dekat dengan Candi Sukuh, paling sekitar 500 meteran. Untuk menuju kesana, kami terlebih dahulu memasuki desa kecil hingga kemudian sampai di halaman rumah warga yang dijadikan lahan parkir pengunjung.
Lagi-lagi, area parkir masih tampak sepi. Hanya ada dua motor pengunjung lain yang terlihat disana. Beberapa warung yang berada di sepanjang jalur awal menuju ke air terjun juga masih belum beroperasi. Kami pun sampai di loket tiket yang dijaga oleh mbak petugas (atau ibu?) yang judesnya minta ampun. Mana dia sempat curang, uang kembalian yang diberikan kepada saya robek di pinggirannya. Oh, bukan robek lagi tapi benar-benar sudah hilang entah kemana. Dengan halus, saya meminta tukar uang kembalian itu. Dilayani sih, namun pakai senyum sinis terlebih dahulu. "Beh, pagi-pagi sudah ketemu manusia tipe beginian!", batin saya dalam hati.
Sehabis membayar tiket masuk yang cuma sebesar Rp 3.000,00 per orang, dimulailah perjuangan kami dalam meraih air terjun. Di depan rute anak tangga terpampang tulisan yang memberikan semangat sekaligus memberi tahu kalau kami harus menuruni 116 anak tangga terlebih dahulu. Duh turunnya mah ndak begitu masalah, naiknya nanti pasti capek. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Sudah bayar tiket juga.
Err, semangat ya kakak! |
Setapak demi setapak, kami turuni ke-116 anak tangga demi menuju ke Air Terjun Jumog. Sebenarnya, ada dua cara untuk bisa menuju kesana yakni jalur atas dan jalur bawah. Kalau tidak ingin bercapek-capek ria seperti kami, bisa memilih jalur bawah karena sama sekali tidak bertemu dengan anak-anak tangga yang menghadang. Jalur bawah ini pintu masuknya berada sekitar 3 kilometer dari jalur atas yang kami pilih.
Anak-anak tangga menuju Jumog |
Ada sekitar 6-8 menitan waktu yang kami gunakan untuk menuruni anak-anak tangga itu. Kami pun berjumpa dengan sungai berukuran sedang yang airnya berasal dari Air Terjun Jumog. Sebuah jembatan telah disediakan melewati atas sungai sehingga setiap pengunjung tak perlu berbasah-basah ria. Kami bertiga langsung takjub, air yang mengalir di sungai tersebut sangat jernih dan bersih. Saya jadi ingat air sungai waktu mengunjungi Kedung Kayang dan Curug Lawe-Benowo dulu. It's another crystal clear water! Yippie!
Aliran sungai yang airnya jernih abis |
Setelah melewati jembatan, kami memasuki jalan setapak menuju ke air terjun. Jalan setapak ini berupa tanah yang diberi bebatuan kecil dengan deretan warung sate kelinci di sisi kanannya. Kami bertiga berjingkat-jingkat ketika melewati jalan itu. Ah, mungkin maksud pengelola Air Terjun Jumog membuat jalan tersebut adalah supaya kaki para pengunjung yang pegal gara-gara menuruni anak tangga bisa disembuhkan kali, ya.
Tak lama, Air Terjun Jumog telah berada tepat di depan kami. Agam langsung berteriak ketika dia melihat air terjun. Raut riang benar-benar terlihat di wajahnya. Air terjun setinggi 25 meter itu memang tampak keren. Debit airnya yang lumayan kencang menghempaskan butiran-butiran air ke semua penjuru. Namun, saya justru merasa kagum dengan kebersihan di sekitaran sana. Sampah yang berserakan nyaris tak saya temukan kemarin.
Air Terjun Jumog! Mungkin inilah air terjun terbersih yang pernah saya lihat. |
Saya memandang Jumog dari jembatan |
Betty dan Agam. Meski Agam paling bernafsu mengunjungi, tapi kalau difoto berlatar air terjun, dia kagak mau. -_- |
Sayangnya, kami tak bisa terlalu lama disana. Keinginan untuk sekedar bermain air, terpaksa kami kubur rapat-rapat mengingat waktu yang kami miliki tak banyak. Masih ada beberapa obyek wisata lagi yang harus kami kunjungi padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Belum lagi kami harus menaiki anak-anak tangga tadi kembali. Ayo Gam, Bet. Mari meneruskan perjalanan kita lagi.
Tunggu postingan selanjutnya dan terima kasih sudah berkunjung. Ini foto kami di atas jalan setapak dengan kemampuan pijat refleksi |
Bersambung ke part II dan Salam Kupu-Kupu ^^d
mas bro trimakasih..saya jd tau tempat tempat indah..
ReplyDeletesaya rekomendasi kan ada tempat yg masih alami namanya curug térong di desa genting gunung Kec. Sukorejo Kendal..
ini désa saya semoga bisa mampir
Halo mas. sama-sama, terima kasih juga sudah sudi mampir ke blog ini.
DeleteCurug Terong? Oke, masuk ke dalam list ya mas. Semoga bisa mampir kapan-kapan. :)
mas mau tnya, klo sekarang ini kira-kira candi sukuh sudah slesai dipugar blm ya ? jdi pgen main ke karanganyar, mkasih sblmnya
ReplyDeletehalo mbak! maaf baru baca komen mbak, kayanya sih udah mbak. cuma makan waktu 3-6 bulan kok kalau kata bapak petugasnya dulu. mbak udah kesana?
Delete