Nama Jenderal Besar Raden Sudirman, atau biasa disebut Jenderal Sudirman rasanya tak bakal asing di telinga masyarakat Indonesia. Bahkan bisa dikatakan pahlawan paling terkenal mungkin adalah beliau ini, saking seringnya nama beliau disebut dalam buku sejarah, nama jalan, hingga museum. Hah? Museum? Yap, tahukah anda kalau di Indonesia sendiri terdapat enam museum yang didedikasikan untuk mengenang jasa sang panglima tertinggi di Tentara Keamanan Rakyat itu?
Museum Jenderal Sudirman dengan alamat di Jalan Ade Irma Suryani C7 adalah salah satu dari enam museum (kelima lokasi lain: Yogyakarta (ada dua), Banyumas, Pacitan, dan Jakarta) yang berhasil saya sambangi bersama rombongan famtripjateng. Museum ini sekaligus menjadi obyek wisata terakhir yang kami datangi dalam rangkaian kegiatan tersebut.
Patung torso sang jenderal menyambut tepat di bangunan museum yang didominasi oleh warna hijau tua. Sekilas sudah terlihat kalau museum ini menggunakan bangunan sisa peninggalan jaman kolonial. Kabarnya, bangunan tersebut dulu digunakan sebagai markas Tentara Keamanan Rakyat sekaligus menjadi tempat Jenderal Sudirman menghembuskan nafas terakhir.
Patung torso |
Kami yang datang berombongan besar, membuat museum yang luasnya tak seberapa ini langsung penuh sesak. Saya terpaksa mundur ke belakang sejenak, membiarkan para mahasiswa asing menikmati isi dalam museum dengan ditemani dua pemandu lokal dan seorang penjaga museum. Saya memutuskan berkeliling rumah terlebih dahulu, mengamati segala detail arsitektur kolonial yang kondisinya masih begitu baik.
Sepeda dan Jendela |
Pintu bangunan. Eh, ada yang tahu kenapa selalu ada motif bintang di rumah-rumah militer? |
Tak lama setelah para mahasiswa asing mulai bergerak maju, saya pun melangkah memasuki bangunan museum. Museum Jenderal Sudirman ini terbagi ke dalam ruang-ruang, dengan lorong antar ruang yang terasa sempit. Beberapa kursi yang dulu digunakan sang jenderal untuk sekedar bercengkerama dengan para tamunya tersedia di ruangan pertama.
Saya di ruang tamu |
Ruangan-ruangan lain berisikan berbagai macam koleksi berkaitan dengan perwira yang tumbuh besar di Cilacap ini. Ada ruangan yang ditata menyerupai suasana ruang kerja beliau dulu, ada pula ruangan tempat tidur asli dimana di dalam ruangan itulah beliau meninggal. Entah kenapa bulu kuduk saya langsung berdiri ketika melihat beberapa koleksi serta ruang disana. Seolah-olah saya bisa merasakan hawa kehadiran sang jenderal di sekitar sana.
Mengintip kamar sang jenderal. Ranjang itu adalah ranjang dimana sang jenderal meninggal. |
Meja yang digunakan untuk mensucikan jenazah sang jenderal. Merinding abis! |
Saya dan Mas Yasir di dekat meja perundingan |
Jenderal Sudirman sendiri memang luar biasa. Kepandaiannya dalam beranalisis dan memimpin pasukan membuatnya diangkat sebagai panglima besar oleh Presiden Soekarno dalam usia yang masih sangat muda. Teknik perang gerilya-nya terbukti ampuh memukul mundur dan mengalahkan pasukan sekutu. Tak tanggung-tanggung, rute perangnya sendiri hampir mencakup wilayah sepanjang 100 kilometer dan mayoritas dilakukan dengan berjalan kaki.
Hal yang paling mencengangkan adalah beliau tetap melakukan perang gerilya meskipun dalam kondisi sakit paru-paru akut. Beberapa kali Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya dari atas tandu dengan membawa tim dokter pribadinya kemana-mana. Sakit paru-paru inilah yang kemudian merenggut jiwanya, dan Magelang adalah kota terakhir beliau melakukan perang. Untuk mengenang jasanya, kini setiap taruna yang hendak lulus dari akademi militer harus mengikuti jejak gerilya sejauh 100 kilometer.
Replika tandu sang jenderal |
Berjalan ke belakang bangunan utama museum, terdapat deretan kamar yang dulunya digunakan sebagai tempat beristirahat para ajudan seperti Soepardjo Rustam. Kemarin, pelataran kamar-kamar ini digunakan sebagai tempat melatih para mahasiswa asing membatik serta mencicipi jajanan pasar.
Deretan kamar yang dulunya adalah tempat beristirahat para ajudan |
Para pengajar membatik |
Motif batik khas Magelang. Cantik ya? |
Jajanan pasar! |
Berkunjung ke museum ini mengajari saya banyak hal. Namun yang paling membekas di hati saya adalah tentang kegigihan beliau dalam berjuang dan membela negara. Ada sedikit rasa malu yang mengendap, meski fisik saya sehat tapi tingkat perjuangan saya tak serupa beliau. Sangat jauh di bawahnya malah. Tampaknya, semua perjuangan kita memang bermula dari kegigihan hati. Apapun kondisi kita kelak, asalkan hati terus menggerakkan kita untuk maju - selambat apapun, pasti akan ada hasil yang tercapai. Ah, terima kasih jenderal!
“Whatever you are physically...male or female, strong or weak, ill or healthy--all those things matter less than what your heart contains. If you have the soul of a warrior, you are a warrior. All those other things, they are the glass that contains the lamp, but you are the light inside.”
― Cassandra Clare, Clockwork Angel
Han-Mas Yasir-saya dan Mas Haris berfoto bersama di ruang kerja sang jenderal. Anyway, terima kasih sudah mampir! |
Salam Kupu-Kupu ^^d
Bintang itu pangkat militer toh? Bintang empat = pangkat jenderal.
ReplyDeleteJadi ternyata tandu yg dipakai Pak Sudirman bergerilya itu disimpan di sini toh.
Oalah, jadi jumlah bintang menandakan pangkat militer si empunya rumah toh, mas? Aku baru tahu. Kirain, bintang ada makna filosofis di kalangan militer begitu.
DeleteNoo, maaf mas kurang nambahin keterangan foto. Itu cuma replika, yang asli seingatku ada di Museum Sasmitaloka Yogyakarta.
Uhukkkk... udah posting ini duluan, :-D
ReplyDeleteWah kok nggak ada fotoku ya? :-(
Err, gimana ya mas?
DeleteAbisnya Mas Sitam kan sibuk jadi tukang fotonya si Mbak Jepang itu.
Ya kami bisa apa kan, ya? Ahahah. :p