Salah satu yang saya syukuri karena tinggal di Indonesia - negara berkembang dengan populasi luar biasa adalah akan selalu ada hal baru yang bisa saya kunjungi, coba, lihat dan nikmati dari waktu ke waktu. Indonesia tak pernah membosankan. Apalagi dengan kemajuan media sosial yang begitu pesat di negara ini, semua hal baru seolah-olah terasa hanya sejangkauan tangan.
Nama Cuntel atau Cunthel, sebenarnya sudah tak asing di telinga saya. Desa yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang ini juga pasti tak asing di kalangan para pendaki. Di desa itulah terdapat salah satu jalur pendakian Gunung Merbabu - jalur yang saya gunakan bersama beberapa kawan sekitar tiga tahun silam.
Namun, kini disana terdapat atraksi wisata lain yang belakangan begitu santer diperbincangkan melalui media sosial. Orang-orang menyebutnya dengan sebutan Bukit Harapan Cuntel (BHC). Tak mau ketinggalan, saya berhasil mengajak kakak dan salah seorang tetangga untuk berkunjung kesana.
Sekitar jam empat sore, kami bertiga baru mulai beranjak dari rumah dan menuju ke Desa Cuntel. Saya memang sengaja memilih berangkat sore agar bisa mendapatkan momentum matahari terbenam dari sana. Jarak antara kampung kami dengan Desa Cuntel paling hanya memakan waktu sekitar 15-20 menit berkendara.
Sejumlah laki-laki tampak berdiri di sepanjang jalan masuk menuju Desa Cuntel. Tangan mereka bergerak melambai-lambai, mengundang kami untuk rehat di hotel murah milik mereka. Jangan kaget, untuk bisa sampai ke Cuntel memang bakal melewati jalanan penuh hotel kelas melati dengan tarif berkisar Rp 35.000,00 - Rp 60.000,00 semalam. Kalau tidak hendak menginap, bersikap acuh atau cukup gelengkan kepala saja kepada mereka.
Sehabis melewati area hotel murah, pemandangan berganti dengan hutan pinus lebat yang mengapit di kanan-kiri jalan. Kami bertiga sempat berhenti sejenak untuk mengabadikan keindahan hutan pinus itu. Ah, rasanya menyegarkan sekali. Apalagi kemarin selama Bulan Ramadan, saya tak sempat jalan-jalan kemanapun.
Selain saya, kakak dan tetangga belum pernah sekalipun menyambangi Desa Cuntel. Mereka berdua sempat kaget dan takut ketika melihat medan jalan disana yang berupa tanjakan-tanjakan. Saya hanya bisa menenangkan dengan mengatakan, "sebentar lagi sampai kok". Kebohongan khas ala saya.
Selanjutnya, kami sempat pula berhenti di Gardu Pandang Cuntel. Banyak pengunjung lain yang telah berada di tempat itu. Dari sana, pemandangan Gunung Telomoyo menjadi sajian utama di sisi depan, sedangkan Gunung Merbabu berdiri dengan agung di sisi belakang. Pemandangan ladang penduduk juga terhampar di sekeliling kami.
Ada pula patung tulisan dengan membentuk kata "CUNTEL" di dekat gardu pandang. Patung tulisan ini dipenuhi dengan banyak pecahan beling di atas masing-masing huruf maupun balok penahan tulisan. Saya kurang mengerti apa manfaat pecahan beling itu. Menjaga agar tidak dirusak oleh tangan-tangan jahil kah? Bagaimana dengan keselamatan pengunjung? Ngilu rasanya kalau ada anak kecil yang datang mendekat.
Tapi memang, ulah tangan-tangan jahil telah mengotori gardu pandang ini. Kami bertiga menemukan banyak sekali coretan-coretan menjemukkan baik di bangunan gardu pandang atau tanggul jalan. Bahkan, coretan berbau SARA terlihat disana lengkap dengan simbol agamanya. Jaman sekarang, dan masih sibuk mengomentari atau mencela agama orang lain? Menyedihkan.
Kami meneruskan perjalanan lagi, kali ini tentu saja menuju Bukit Harapan Cuntel. Kalau berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari internet, tempat tersebut serupa bukit dengan satu pohon meranggas sebagai ciri khasnya. Ada semacam kayu duduk di pertengahan batang pohon yang bisa digunakan pengunjung untuk menikmati pemandangan dari atas. Saya pun mengedarkan pandang ke segala arah sembari mengendalikan motor, mencari keberadaan bukit yang kata bapak petugas parkir gardu pandang: tinggal naik ke atas sebentar.
Tak lama, saya menemukan hal yang serupa saya lihat di internet. Kami bertiga pun berhenti disana. Huh? Sebentar, kenapa setelah didekati agak berbeda ya? Apa yang kami lihat saat itu bukannya satu pohon, melainkan dua pohon meranggas. Dua batang pohon ini dihubungkan oleh sebuah jembatan kayu dimana tangga kayu setinggi dua meter berada tepat di pertengahan jembatan.
Tiga orang remaja laki-laki terlihat tengah asyik bercengkerama di atas jembatan kayu, sesekali candaan terdengar dari bibir mereka. Saya, kakak dan tetangga akhirnya harus sabar menanti agar bisa bergantian naik ke atas pohon.
Awalnya mereka seakan enggan untuk turun, namun Mbak Reza kemudian berjalan mendekat dan bertanya apakah dia bisa ikut naik ke atas seperti ketiga remaja itu. Mereka pun menganggukkan kepala, lantas satu persatu turun dari jembatan kayu.
Tanpa membuang waktu karena matahari juga tampak hendak beristirahat di peraduaannya, kami bergantian untuk segera naik ke atas jembatan kayu. Satu orang naik ke atas, dua orang lainnya menunggu di bawah untuk mengabadikan gambar. Begitu terus sampai saya, kakak dan Mbak Reza kebagian naik ke atas semua.
Saat giliran saya naik ke atas, kaki ini langsung bergetar. Ternyata, tinggi juga tangga yang harus dipijak agar bisa sampai di jembatan kayu. Belum lagi, ia selalu berdecit tiap kali diinjak. Untungnya, kengerian itu terbayar tuntas dengan pemandangan indah yang bisa dinikmati saat berada di atas.
Saya tak salah mengajak kakak dan tetangga sore-sore datang ke Desa Cuntel. Kami bisa melihat detik-detik tenggelamnya sang surya dengan begitu jelas dan dekat, termasuk pergantian warna refleksi cahaya yang terpampang di langit. Matahari sendiri tenggelam persis di sebelah Gunung Andong.
Dari atas jembatan kayu itu pulalah akhirnya saya bisa melihat Bukit Harapan Cuntel sebagaimana gambaran dari berbagai akun media sosial. Saya melihat satu pohon meranggas itu! Letaknya berada di ujung depan dari tempat kami, dan terlihat banyak sekali pengunjung telah mengantre disana.
Berhubung hari sudah semakin malam, kami bertiga memutuskan untuk pulang. Jalanan Desa Cuntel tak berlampu penerangan apapun, terlalu beresiko kalau mencoba nekat menengok Bukit Harapan. Apalagi, Mbak Reza naik motor sendirian.
Kami pun pulang. Sebelum pulang saya sempat berkata kepada kakak saya untuk mengunjungi Desa Cuntel lagi di masa depan. Tentu, Bukit Harapan Cuntel juga akan kami sambangi. A majestic sunset and good companions, hari saya berakhir dengan sempurna petang itu.
How Much To Enter:
Sehubungan kami datang saat mendekati senja, kami hanya membayar parkir motor sebesar Rp 2.000,00 per motor di area gardu pandang.
Salam Kupu-Kupu ^^d
Sehabis melewati area hotel murah, pemandangan berganti dengan hutan pinus lebat yang mengapit di kanan-kiri jalan. Kami bertiga sempat berhenti sejenak untuk mengabadikan keindahan hutan pinus itu. Ah, rasanya menyegarkan sekali. Apalagi kemarin selama Bulan Ramadan, saya tak sempat jalan-jalan kemanapun.
I wonder, will I meet a werewolf or vampire? *efek kebanyakan nonton drama* |
Tapi serius, imajinasi kita bakal berlarian dengan liar ketika melihat hutan pinus lebat begini. |
This is us! |
Selain saya, kakak dan tetangga belum pernah sekalipun menyambangi Desa Cuntel. Mereka berdua sempat kaget dan takut ketika melihat medan jalan disana yang berupa tanjakan-tanjakan. Saya hanya bisa menenangkan dengan mengatakan, "sebentar lagi sampai kok". Kebohongan khas ala saya.
Mbak Vica di salah satu tanjakan |
Selanjutnya, kami sempat pula berhenti di Gardu Pandang Cuntel. Banyak pengunjung lain yang telah berada di tempat itu. Dari sana, pemandangan Gunung Telomoyo menjadi sajian utama di sisi depan, sedangkan Gunung Merbabu berdiri dengan agung di sisi belakang. Pemandangan ladang penduduk juga terhampar di sekeliling kami.
Gardu Pandang Cuntel dengan vandalisme di dindingnya |
Ada pula patung tulisan dengan membentuk kata "CUNTEL" di dekat gardu pandang. Patung tulisan ini dipenuhi dengan banyak pecahan beling di atas masing-masing huruf maupun balok penahan tulisan. Saya kurang mengerti apa manfaat pecahan beling itu. Menjaga agar tidak dirusak oleh tangan-tangan jahil kah? Bagaimana dengan keselamatan pengunjung? Ngilu rasanya kalau ada anak kecil yang datang mendekat.
That dangerous "Cuntel" word. |
Tapi memang, ulah tangan-tangan jahil telah mengotori gardu pandang ini. Kami bertiga menemukan banyak sekali coretan-coretan menjemukkan baik di bangunan gardu pandang atau tanggul jalan. Bahkan, coretan berbau SARA terlihat disana lengkap dengan simbol agamanya. Jaman sekarang, dan masih sibuk mengomentari atau mencela agama orang lain? Menyedihkan.
Kami meneruskan perjalanan lagi, kali ini tentu saja menuju Bukit Harapan Cuntel. Kalau berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari internet, tempat tersebut serupa bukit dengan satu pohon meranggas sebagai ciri khasnya. Ada semacam kayu duduk di pertengahan batang pohon yang bisa digunakan pengunjung untuk menikmati pemandangan dari atas. Saya pun mengedarkan pandang ke segala arah sembari mengendalikan motor, mencari keberadaan bukit yang kata bapak petugas parkir gardu pandang: tinggal naik ke atas sebentar.
Tak lama, saya menemukan hal yang serupa saya lihat di internet. Kami bertiga pun berhenti disana. Huh? Sebentar, kenapa setelah didekati agak berbeda ya? Apa yang kami lihat saat itu bukannya satu pohon, melainkan dua pohon meranggas. Dua batang pohon ini dihubungkan oleh sebuah jembatan kayu dimana tangga kayu setinggi dua meter berada tepat di pertengahan jembatan.
Tiga orang remaja laki-laki terlihat tengah asyik bercengkerama di atas jembatan kayu, sesekali candaan terdengar dari bibir mereka. Saya, kakak dan tetangga akhirnya harus sabar menanti agar bisa bergantian naik ke atas pohon.
Tiga remaja laki-laki |
Awalnya mereka seakan enggan untuk turun, namun Mbak Reza kemudian berjalan mendekat dan bertanya apakah dia bisa ikut naik ke atas seperti ketiga remaja itu. Mereka pun menganggukkan kepala, lantas satu persatu turun dari jembatan kayu.
Mbak Reza dan pose kemenangan setelah berhasil menggusur tiga remaja. |
Tanpa membuang waktu karena matahari juga tampak hendak beristirahat di peraduaannya, kami bergantian untuk segera naik ke atas jembatan kayu. Satu orang naik ke atas, dua orang lainnya menunggu di bawah untuk mengabadikan gambar. Begitu terus sampai saya, kakak dan Mbak Reza kebagian naik ke atas semua.
My sister and her cat woman style |
Saat giliran saya naik ke atas, kaki ini langsung bergetar. Ternyata, tinggi juga tangga yang harus dipijak agar bisa sampai di jembatan kayu. Belum lagi, ia selalu berdecit tiap kali diinjak. Untungnya, kengerian itu terbayar tuntas dengan pemandangan indah yang bisa dinikmati saat berada di atas.
Sempat foto berdua dengan Mbak Reza dari atas sebelum dia turun meninggalkan saya seorang diri. Serem mak. |
Saya tak salah mengajak kakak dan tetangga sore-sore datang ke Desa Cuntel. Kami bisa melihat detik-detik tenggelamnya sang surya dengan begitu jelas dan dekat, termasuk pergantian warna refleksi cahaya yang terpampang di langit. Matahari sendiri tenggelam persis di sebelah Gunung Andong.
Gunung Andong dan matahari yang hendak istirahat. |
Gunung Telomoyo |
Berhubung hari sudah semakin malam, kami bertiga memutuskan untuk pulang. Jalanan Desa Cuntel tak berlampu penerangan apapun, terlalu beresiko kalau mencoba nekat menengok Bukit Harapan. Apalagi, Mbak Reza naik motor sendirian.
Kami pun pulang. Sebelum pulang saya sempat berkata kepada kakak saya untuk mengunjungi Desa Cuntel lagi di masa depan. Tentu, Bukit Harapan Cuntel juga akan kami sambangi. A majestic sunset and good companions, hari saya berakhir dengan sempurna petang itu.
****
How Much To Enter:
Sehubungan kami datang saat mendekati senja, kami hanya membayar parkir motor sebesar Rp 2.000,00 per motor di area gardu pandang.
Terima kasih sudah mengikuti petualangan kami. Salam dari tiga makhluk penghuni kampung Jetis Rekesan. |
Salam Kupu-Kupu ^^d
Rupamu sama mbakmu kok mirip ya Bro? #salahfokus
ReplyDeleteEh, klo melihat party membermu seperti ini terus diawe-awe mampir ke penginapan melati itu berarti penginapannya itu yg "begituan" kah? :D
Aaah, jengkel juga di mana-mana banyak coret-coretan. :(
Emang kayaknya Pylox ga boleh dijual bebas apa ya? Tapi mengamankan tulisan CUNTEL dengan pecahan beling itu menurutku ya karena warga sana sudah kehabisan akal untuk mencegah ulah vandalisme. Di Jogja sini, monumen kereta di depan Stasiun Tugu sebelum diamankan sama kawat berduri ya kondisinya mengenaskan.
Satu lagi, fotonya menarik yang tiga remaja laki-laki itu. :D
Yah namanya juga satu cetakan, mas. -_-
DeleteIyesss, you're right! Btw, saya suka denger istilah party member - berasa lagi main game rpg.
Mungkin ya mas, tapi hey, pecahan beling ini bagiku tampak lebih berbahaya bagi anak-anak daripada kawat berduri mas. Apalagi, pecahan belingnya ada yg sejangkauan anak kecil banget. Ngeselin emang para kaum vandalay ini. :(
Wekekek, ngerti istilah party member dari RPG juga toh dirimu? XD
ReplyDeleteMaen Final Fantasy mesti :D
Emang serba salah sih. Masak harus dijaga 24 jam biar ga dirusak?
Waduh FF. Endak mas, aku dari game online RO, RF sama PW. Ahahah.
DeleteHmm. Gimana ya, mas? Aku juga belum nemu cara jitu mengatasi aksi vandalisme. Secara, mereka beraksinya kadang di atas jam tidur orang normal. I totally hate them. :(
kalo dari tembalang kesana jalurnya lewat mana ya mas?
ReplyDeleteKalo dari Tembalang ke Salatiga dulu, terus jalan ke arah Kopeng. Nanti setelah tanjakan sebelum masuk kawasan hotel ada jalan lurun yang ngarah ke Basecamp Cuntel Merbabu. Nah, ikuti jalan lurus itu saja, mbak.
DeleteWAh mantap gan :D
ReplyDeletekapan-kapan dicoba..
monggo mas. :)
Delete