Pages

Friday, July 10, 2015

Sembilan Tahun Pasca Tragedi Lumpur Lapindo



Saya masih ingat. Saya masih duduk di bangku SMP ketika berbagai saluran televisi di Indonesia mendadak menyiarkan hal yang sama. Kompak dan tanpa dikomando. Mereka menampilkan kegemparan warga suatu desa di Kabupaten Sidoarjo yang dikagetkan dengan kemunculan semburan lumpur dari dalam tanah.  Bagaimana tidak, semburan lumpur itu bukannya segera berhenti melainkan malah terasa makin deras dari hari ke hari. Dan pada akhirnya tanpa ada seorang pun yang bisa menghentikan, para warga ini pun terpaksa mengikhlaskan. Mengikhlaskan rumah, kampung, dan lingkungan yang begitu dicintai tenggelam oleh lumpur.

Sembilan tahun kemudian, tepatnya satu hari setelah peringatan Tragedi Lumpur Lapindo (nama yang disematkan karena banyak kalangan menganggap  Lapindo Brantas Inc - perusahaan pengeboran minyak dan gas alam - sebagai dalang utama di balik tragedi tersebut) saya berkesempatan untuk mendatangi lokasi terdampak dari semburan lumpur.

Saat itu, saya kesana bersama kakak, adik, sepupu, dan keponakan. Jumlah totalnya sebanyak enam orang, dengan hanya dua orang masuk dalam kategori dewasa yakni saya dan kakak. Mobil yang kami naiki, kami parkir di salah satu ujung tanggul yang menampung lumpur. Baru berjalan beberapa langkah, segerombolan pemuda dengan kulit hitam terbakar matahari serta rambut berwana cokelat kemerahan langsung menghentikan langkah kami.

"Semuanya Rp 30.000,00 mas.", kata salah seorang di antara mereka. Saya memang pernah mendengar dari berita kalau lokasi semburan lumpur kini telah berubah menjadi semacam obyek wisata. Namun tetap saja ada rasa kaget di dalam hati ketika ditarik uang masuk, apalagi posisi kami semua masih berada di pinggir Jalan Raya Porong yang ramai oleh kendaraan hilir mudik.

Setelah membayar "tiket masuk" ala pinggir jalan, saya segera mengajak kakak, adik, sepupu dan keponakan untuk segera naik ke atas. Menaiki tanggul setinggi 3,5 meter yang digunakan sebagai penahan semburan lumpur agar tidak menggenangi jalan dan daerah sebelah.

Simpang Tiga Porong. Jalan Raya Porong merupakan jalur
penghubung utama antara Surabaya dan Malang

Dataran lumpur yang telah mengering terhampar luas sejauh garis pandang mata. Daratan berwarna abu-abu itu tampak kosong. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan disana, yang terlihat hanyalah beberapa sisa atap bangunan yang mulai mengeropos.

Salah satu atap bangunan yang tersisa

"Ojek mas, mbak?", salah seorang tukang ojek yang mangkal pada gubuk kecil di dekat kami datang mendekat.

"Kalau dari sini, ndak kelihatan apa-apa mas. Mendingan naik ojek saya saja, nanti saya antar menuju ke pusat semburan lumpur disana", kata dia melanjutkan sembari tangannya menunjuk ke arah gumpalan asap membumbung udara di kejauhan.

"Berapa ongkosnya, pak?", saya bertanya penuh selidik.

"Rp 35.000,00 buat satu motor sekaligus tukang ojeknya. Nanti bisa pakai dua motor buat membawa mas sekalian.", jawabnya kembali.

Saya dan kakak langsung bergeming. Mahal. Apalagi, kakak saya tampak tak tertarik untuk menaiki ojek karena sinar matahari terasa begitu menyengat siang itu. Plus, dua keponakan kami usianya masih di bawah lima tahun semua. Kasihan kalau harus berpanas-panasan. Kami pun mulai beringsut untuk kembali pulang ke arah mobil, saat tukang ojek kembali beraksi dengan tawaran terakhirnya.

"Mas atau gini aja, masnya bisa naik motor buat kesana sendiri. Tanpa ditemani tukang ojek. Rp 25.000,00 saja. Gampang kok, tinggal ikuti jalan di atas tanggul ini", serunya.  Saya berhenti dan bertanya kepada kakak kembali. Dia mempersilahkan saya kalau mau naik, tapi dirinya dan dua keponakan lebih memilih untuk menunggu di dalam mobil.

Banyak tukang ojek yang siap mengantar berkeliling

Saya pun mengiyakan tawaran bapak tukang ojek, dan membawa adik serta sepupu untuk menemani. Bertiga kami berboncengan di atas motor matic milik bapak itu, dan mulai berkelana menyusuri jalan kecil di atas tanggul. Debu langsung bertebaran begitu motor yang kami naiki melintas.

Baru sebentar berjalan, kami langsung berhenti di salah satu ruas tanggul. Disana, puluhan patung setengah badan dengan tangan yang menengadah menyambut kami. Patung ini dibuat oleh seniman bernama Dadang Christanto pada tahun 2014 lalu. Awalnya, patung-patung itu memiliki tinggi sekitar dua meter lengkap dari kaki sampai kepala. Namun, lumpur mulai merendam mereka dan  kini meninggalkan sisa setinggi setengah badan saja.

Patung yang menengadah

Kami bertiga pun turun dari motor dan berjalan mendekati deretan patung yang sepertinya terbuat dari adonan lumpur itu. Ekspresi seluruh patung tersebut sama, tampak datar dan nelangsa. Beberapa dari mereka membawa peralatan-peralatan bekas rumah tangga seperti: panci, wajan, kompor atau sebangsanya. Membuat mereka sekilas terlihat bagai manusia-manusia yang bangkit dari lumpur dan membawa harta tersisa.

Entah siapa yang berbuat iseng semacam itu.
Ketika yang lain membawa perabotan, patung
ini justru membawa tangan temannya.

Di dekat area patung, terdapat pula ogoh-ogoh sang pemilik Lapindo Brantas Inc - Abu Rizal Bakrie, yang dibuat secara swadaya oleh warga. Ogoh-ogoh itu berdiri dengan tangan terikat oleh rantai, menyiratkan akan hutang yang masih harus dibayar oleh Bakrie kepada masyarakat terdampak. Mereka menganggap dialah tokoh paling bertanggungjawab di balik bencana yang menenggelamkan belasan desa dari tiga kecamatan di wilayah ini. Mengubur kampung halaman, kenangan, dan harapan mereka dalam semburan lumpur tak berkesudahan

That devillish man in his yellow jacket

Kami bertiga meneruskan perjalanan, menyusuri kembali jalan kecil berdebu itu. Pipa-pipa besar yang entah digunakan untuk apa mulai terlihat di pinggir jalan. Ada pula drum-drum plastik besar berwarna biru yang berserakan di daratan lumpur.

Drum dan tiang kuning

Bayangkan dulu di bawah sana terdapat ribuan rumah,
pabrik, dan institusi masyarakat. Semburan lumpur pertama
kali tercatat pada 29 Mei 2006 lalu,
dan belum berhenti hingga kini.

Setengah perjalanan menuju pusat semburan, kami dihadang sejumlah warga kembali. Mereka meminta uang masuk sebesar Rp 5.000,00 per orang agar kami bisa meneruskan perjalanan. Mau tak mau, saya harus membayar uang tersebut kepada mereka.

Bau tak sedap serupa aspal basah terasa sekali di udara begitu kami makin mendekat ke pusat semburan. Ada banyak alat-alat berat dan pipa besar yang kembali saya tak mengerti digunakan untuk apa. Apakah itu bagian dari mekanisme penanggulangan semburan lumpur? Atau mungkinkah Lapindo Brantas Inc masih beroperasi disana?

Alat berat

Gelondongan pipa

Kami juga bisa melihat gubuk kayu sederhana yang dipenuhi oleh atribut salah satu organisasi Islam di Indonesia. Dari papan petunjuk tertulis itu adalah makam. Namun, siapa yang terbaring di bawah sana saya kurang tahu. Tak ada seorang pun di sekitar sana yang bisa saya jumpa dan tanyai.

Makam entah siapa

Mendadak jalan buntu menghadang, sedangkan pusat semburan masih terlihat di sebelah kanan depan kami. Jalan untuk menuju kesana bukan lagi jalan kecil berdebu di atas tanggul melainkan harus turun ke dataran lumpur yang telah mengering. Saya tak se-bernyali para pengunjung lain yang nekat turun memakai motor mereka masing-masing. Ini saya memakai motor pinjaman. Kalau ada apa-apa, pasti saya bakal menanggung biaya kerusakan. Ogah banget, kan?

Jalan buntu itu ada di dekat instalasi ini

Saya pun memutuskan memarkir motor di bawah pohon dan mengajak adik serta sepupu untuk meneruskan perjalanan menggunakan kaki. Untungnya, mereka berdua tak protes dan segera mengekor saya yang telah berjalan terlebih dahulu.

Kami mesti berhati-hati ketika menginjak dataran lumpur itu. Ada beberapa tempat yang terlihat lumpurnya masih basah, ngeri kalau terperosok kesana. Selebihnya, lumpur-lumpur yang telah mengering sempurna membuat kontur tanah yang luar biasa. Kami berasa berjalan di tengah padang gurun atau bahkan bulan!

Adik saya berjalan kaki menuju pusat
semburan lumpur

Setelah didekati ternyata pusat semburan lumpur itu masih agak jauh jaraknya. Namun, kami semua tak bisa mendekat lagi karena ada genangan air lumpur yang lumayan dalam. Genangan air lumpur itu sekilas terlihat bagaikan sebuah danau besar dengan pusatnya yang terkadang bergolak, menyembur dan mengeluarkan lumpur maupun asap. Ah, saya jadi teringat dengan Bledug Kuwu di Purwodadi sana.

Pusat semburan dari pinggir danau

Sepupu saya di pinggir danau lumpur

Pinggiran danau lumpur

"Sudah, mas? Kok cepat?", tanya bapak tukang ojek yang motornya saya pakai ketika saya mengembalikan motornya.

"Iya pak, kasihan kakak sama keponakan kalau menunggu terlalu lama.", jawab saya.

"Tak terasa ya pak, sudah sembilan tahun saja", sambung saya lagi sembari menyerahkan uang sewa motor kepadanya.

"Iya mas, sembilan tahun dan proses ganti rugi tetap saja belum selesai", kata si bapak. Membuat saya agak tercengang.

"Kangen pasti ya pak, sama rumah dan desa bapak dulu?", entah kenapa tiba-tiba kalimat pertanyaan semacam itu meluncur dari mulut saya.

Ada waktu jeda sejenak sebelum bapak ojek menjawab pertanyaan retoris saya itu.

"Tentu mas tapi saya tak bisa meminta mereka kembali, kan?", jawabnya sambil menatap dataran lumpur di depan. Sejujurnya, saya agak terkejut mendengar reaksi sang bapak. Saya pun hanya bisa menggeleng pelan lantas mengucapkan salam perpisahan kami kepadanya.

Pahit. Kadang hidup memang pahit. Kehilangan tempat untuk kembali, dan tak pernah bisa diminta kembali. Bukankah itu salah satu hal yang paling menyedihkan di dunia ini?


Terima kasih sudah berkunjung.

Salam Kupu-Kupu ^^d

No comments:

Post a Comment