Pages

Wednesday, November 11, 2015

Kuah Kental Si Bakso Balungan



Dua minggu yang lalu sepasang teman saya, Agam dan Dian - memutuskan ikut menemani tugas mengantar dinas papa ke Kabupaten Demak. Rencana semula, saya akan mengajak mereka berdua berkeliling sementara papa saya bekerja. Sayang, perencanaan kami kurang matang dan kunjungan kami kebetulan bertepatan dengan dihelatnya Demak Fair 2015. Kami gagal menikmati pesona Masjid Agung Demak karena terhalang oleh puluhan tenda pameran yang memenuhi alun-alun. Teringat belum makan benar sedari pagi, saya pun memutuskan untuk mengajak mereka mencicipi kuliner khas Demak: Bakso Balungan. Kuliner yang kebetulan saya sendiri juga belum pernah mencobanya.

Tak mudah menemukan penjual bakso balungan yang sudah buka siang itu. Dua tempat yang saya tahu, keduanya masih tutup. Setelah berkeliling tanpa arah yang pasti, kami akhirnya menemukan salah satu penjual yang sudah buka yakni Warung Bakso Balungan Bang Yanto.

Warung bakso ini dari luar terlihat sederhana, dan berdiri persis di samping sungai besar. Letaknya berada di ujung awal jalan raya yang mengarah ke Kadilangu saat kami bertolak dari area Bintoro. Warung tersebut sudah dipenuhi oleh pengunjung ketika kami tiba.

Suasana Warung Bakso Balungan Bang Yanto

Kami berempat kemudian diarahkan oleh salah seorang pelayan warung untuk menempati meja paling pojok. Meja yang membuat kami berasa bak di ruang sauna karena tepat membelakangi panci-panci besar berisi rebusan bakso dan tulang.

Bulatan-bulatan bakso sebelum direbus

Untuk kami berempat, tiga mangkok bakso balungan dan satu mangkok bakso biasa pun dipesan. Dian yang katanya sudah kenyang ngemil, merasa tak sanggup bila harus makan bakso balungan. Layaknya penjual bakso lain, pesanan kami tak sampai lima menit sudah diantar ke meja.

Saya langsung tergugah begitu melihat satu mangkok bakso balungan di depan mata. Isi semangkok bakso sebenarnya hampir serupa dengan bakso di tempat lain yakni: bakso, potongan tahu, mie putih, potongan seledri, dan sawi. Namun, mangkok bakso balungan tampak penuh karena potongan balungan atau tulang (biasanya bagian kaki) ikut menghiasi.

Ini satu porsi bakso balungan, penuh kan?

Jika belum kenyang, tersedia lontong sebagai teman makan.
Cara menikmatinya ada dua: 1. Menggigit lontong kemudian
menyeruput kuah bakso, atau 2. Memotong lontong kecil-kecil
dan dimasukkan ke mangkok bakso, tentu setelah isi mangkok
tak begitu penuh.


Saya sendiri sempat bingung harus memulai makan darimana. Tapi kemudian saya sadar, makan makanan berkuah seharusnya dimulai dari mencicipi kuah. Saya pun menyendok sedikit kuah bakso balungan. Kuahnya ternyata kental, dan terlihat dipenuhi oleh lemak-lemak yang telah melebur. Kuah itu semakin terasa kental dan gurih karena kuah di setiap mangkok jumlahnya tak begitu banyak.

Bakso biasa punya Dian. Kelihatan kan begitu berlemaknya
si kuah bakso balungan? Menurut saya, kuah inilah yang
bikin bakso balungan terasa nendang.

Cara paling benar menikmati bakso balungan adalah menggunakan gabungan sendok dan tangan. Iya, balungan akan terasa nikmat apabila diambil menggunakan tangan, kemudian daging atau urat yang melekat disana digerogoti. Ada pula tulang muda yang bisa dimakan sampai habis, bila beruntung. Sebuah mangkok kosong selalu disediakan penjual bagi tempat sisa-sisa tulang.

"Bagaimana balungannya sudah empuk belum? Apa kurang empuk?", sebuah pertanyaan dari seseorang di belakang mendadak mengagetkan kami. Ada jeda diam yang cukup lama di antara kami semua. Err, bukankah tulang mau direbus selama apapun, asalkan dia bukan tulang muda, akan tetap terasa keras?

"Ah, sudah cukup kok pak.", jawab kami asal-asalan kepada orang di belakang yang sepertinya pemilik warung ini.

"Masa sih? Harusnya sih belum, karena ini tadi kami buka awal. Normalnya, tulang-tulang akan direbus selama 5-6 jam, dan warung baru buka sehabis Dzuhur. Tapi, beberapa pengunjung tadi nekat mengantri dan mau menunggu sampai warung buka. Ndak tega to saya, yowis dibuka saja warungnya.", tambahnya lagi.

Kami manggut-manggut. Sang bapak kemudian menjelaskan kepada kami teknik perebusan tulang yang ternyata benar-benar butuh perlakuan ekstra, seperti misalnya: panci yang digunakan harus tertutup rapat, dan tidak boleh dibuka sama sekali selama proses perebusan. Kuah sisa perebusan ini pulalah yang digunakan sebagai kuah bakso.

Satu mangkok bakso balungan di Warung Bang Yanto dibanderol sebesar Rp 15.000,00, sedangkan bakso biasa harganya sebesar Rp 10.000,00.

"Wah bul, enak sih. Tapi, jangan sering-sering", celoteh Agam sehabis makan. Saya hanya tertawa mendengarnya. Iya gam, saya setuju. Ini mah kolesterol banget-banget. :D


Salam Kupu-Kupu ^^d

No comments:

Post a Comment