Walau bisa dikatakan masuk ke dalam golongan minoritas, namun Perayaan Tahun Baru Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa merupakan salah satu hari besar di Indonesia. Tak hanya kelenteng saja yang berbenah, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan pusat pemerintahan juga mempercantik diri dengan berbagai ornamen khas tahun baru ala perhitungan lunisolar itu. Di beberapa kota besar bahkan terdapat festival khusus yang diadakan untuk menyambut Imlek. Salah satunya adalah Kota Solo dengan Grebeg Sudiro dimana tahun ini saya berkesempatan untuk datang menengok.
Grebeg Sudiro adalah tradisi imlek tahunan di Kota Solo dan telah dimulai semenjak tahun 2007. Tradisi ini merupakan hasil perpaduan manis antara dua kebudayaan yakni Jawa dan Tionghoa.
Bagi masyarakat Jawa, grebeg merupakan tradisi khusus dalam menyambut hari-hari besar yang diwujudkan dalam aksi arak-arakan hasil bumi untuk selanjutnya diperebutkan oleh warga masyarakat. Sementara, sudiro diambil dari nama Sudiroprajan - suatu kawasan di Solo yang menjadi pusat etnis Tionghoa yang hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa.
Konon, Grebeg Sudiro merupakan pengembangan dari tradisi Buk Teko - tradisi syukuran menjelang tahun baru yang telah dirayakan semenjak era kepemimpinan Paku Buwono X (1893-1939). Setiap tahunnya, Grebeg Sudiro diadakan di sekitar Kawasan Pasar Gede, dan sebagai pengingat akan tradisi Buk Teko maka sebuah lampion berbentuk teko selalu tergantung di atas pintu masuk pasar.
Saya tiba di Solo sekitar jam setengah dua siang. Saya tak sendirian, kakak dan dua rekan kerjanya menemani saya menyaksikan Grebeg Sudiro di hari kedua menjelang penutupan acara tersebut atau tepat di malam pergantian tahun. Dari depan Bank Indonesia, suasana Imlek sudah begitu terasa. Jalan di depan gedung itu telah dihias dengan aneka lampion berbentuk 12 shio dan beberapa karakter lainnya.
Saya tiba di Solo sekitar jam setengah dua siang. Saya tak sendirian, kakak dan dua rekan kerjanya menemani saya menyaksikan Grebeg Sudiro di hari kedua menjelang penutupan acara tersebut atau tepat di malam pergantian tahun. Dari depan Bank Indonesia, suasana Imlek sudah begitu terasa. Jalan di depan gedung itu telah dihias dengan aneka lampion berbentuk 12 shio dan beberapa karakter lainnya.
Bangunan Bank Indonesia. Saya suka sekali arsitekturnya. |
Dua lampion di jalan depan Gedung Bank Indonesia. Lampion berbentuk kelinci dan ular, dua dari 12 shio. |
Saya kemudian memarkirkan mobil ke kantong parkir yang berada di depan Benteng Vastenburg. Ah, kebetulan. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Saya yang belum pernah ke benteng itu akhirnya mengajak kakak dan dua temannya untuk mampir sejenak sebelum berjalan kaki menuju Pasar Gede.
Benteng Vastenburg |
Benteng yang dibangun pada tahun 1745 atas suruhan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-27, Gustaaf Willem baron van Imhoff ini dipakai untuk memata-matai tindak tanduk Keraton Surakarta sekaligus pusat perlindungan korps penjajah. Omong-omong, Gustaaf Willem baron van Imhoff pulalah dalang dibalik terjadinya Perang Tahta Jawa Ketiga yang membuat Kerajaan Mataram Baru pecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Siang itu kami hanya bisa menikmati Benteng Vastenburg dari luarnya saja. Gerbang masuk benteng berbentuk bujur sangkar ini tampak terkunci. Dua buah patung Nandhi, beserta dua buah patung Dwarapala terlihat menghiasi area pintu masuk gerbang.
Gerbangnya tertutup rapat |
Dwarapala versi kurus. :p |
Nandhi, eh apa kerbau bule keraton ini ya? |
Keempat patung ini sepertinya baru dibuat pasca renovasi benteng ketika Ir. Joko Widodo masih menjabat sebagai Walikota Solo. Kabarnya, polemik kepemilikan tanah masih menyelimuti Benteng Vastenburg sampai sekarang. Hal yang cukup menyedihkan mengingat sudah banyak bangunan bersejarah yang akhirnya menjadi korban dari ketamakan manusia.
Mengintip dari balik gerbang. Beginilah suasana dalam dari Benteng Vastenburg. |
Sehabis mengambil sejumlah foto, kami pun beranjak menuju ke Pasar Gede. Pasar Gede ini adalah salah satu destinasi favorit saya ketika berkunjung ke Solo. Biasanya, saya kesana untuk berwisata kuliner. Namun sekarang tujuan saya berbeda: menikmati suasana Chinese New Year.
Sepanjang jalan menuju ke Pasar Gede telah dipenuhi oleh para pedagang dadakan yang menjual beraneka macam makanan. Grebeg Sudiro memang membawa berkah bagi mereka. Salah seorang pedagang sosis bakar jumbo yang saya beli berkata kalau keuntungan yang ia peroleh ketika berjualan selama Grebeg Sudiro, bisa melebihi keuntungannya berjualan di tempat biasa selama sebulan penuh.
Wajar, acara ini memang bak magnet raksasa yang menarik ribuan pengunjung setiap harinya. Pengunjung akan semakin membludak manakala ada event-event khusus dalam rangkaian acara Grebeg Sudiro, seperti: kirab budaya, pelepasan lampion, atau pesta kembang api. Nah, hari kedatangan kami bertepatan dengan event pesta kembang api.
Pasar Gede benar-benar terlihat berbeda ketika Imlek. Sebuah gapura besar bertuliskan ucapan selamat datang berdiri di ujung depan jalan menuju Pasar Gede. Di belakangnya, ratusan atau bahkan ribuan lampion merah tampak menggantung dimana-mana, mulai dari sisi jembatan, tugu jam, atas-atas gang, kelenteng, sampai ke sekitar pasar.
Pasar Gede dan ufo warna merah. :p |
Lampion yang menggantung di atap gang-gang sekitar Pasar Gede. |
Lampion di jembatan atas Kali Pepe. |
Saya mengambil gambar ini dari bangunan dua lantai di samping kanan depan Pasar Gede. Bangunan itu sepertinya dipakai sebagai semacam pusat penjualan buah. |
Meski lampion-lampion itu belum dinyalakan, tapi tak menyurutkan niat para pengunjung untuk mengabadikan gambar diri mereka berlatar gugusan lampion. Mereka tak segan berdiri di dekat jalan raya sehingga membuat arus lalu lintas berubah semrawut.
Kami kemudian berjalan menuju Kelenteng Tien Kok Sie yang berada tepat di sebelah kiri depan Pasar Gede. Keramaian juga terlihat di depan sana. Bukan, bukan karena tengah ada umat yang beribadah melainkan para pengunjung yang sibuk berfoto ria di depan kelenteng.
Kelenteng Tien Kok Sie atau Vihara Avalokiteswara merupakan salah satu kelenteng tertua di Solo. Kelenteng ini dibangun pada tahun 1745 atau satu tahun setelah pembangunan Keraton Surakarta. Secara harfiah, Tien Kok Sie berarti penjaga negara, dan melihat dari seluruh aspek historis dan geografisnya maka negara yang dimaksud kemungkinan adalah Kasunanan Surakarta.
Dua naga yang tengah berebut mahkota. Keduanya adalah patung di atap Kelenteng Tien Kok Sie. |
Sebuah lampion raksasa berbentuk Sun Wukong yang tengah menaiki naga berdiri dengan anggun di dekat pintu masuk kelenteng. Awalnya, salah seorang rekan kakak yang kebetulan merupakan etnis Tionghoa hendak mencoba masuk ke dalam kelenteng. Namun, melihat penjagaan petugas tepat di depan pintu, ia pun mengurungkan niatan itu.
Lampion Sun Wukong dan Naga |
Kami akhirnya hanya bisa melihat kelenteng yang tak begitu luas ini dari luar pagar. Ornamen lampion terlihat juga menghiasi atap-atap dalam kelenteng. Sementara sejumlah sisa hio tampak menancap di depan altar dan mengeluarkan asap tipis.
Altar luar Tien Kok Sie |
Lampion-lampion di sekitar Kawasan Pasar Gede baru menyala selepas Maghrib. Semua orang langsung terhanyut ke dalam keindahan malam di sekitaran sana yang diterangi oleh cahaya temaram dari gugusan lampion.
Pasar Gede ketika lampion dinyalakan. Itu yang berada di tengah atas adalah lampion berbentuk teko. |
A single lantern that captivated my heart |
Kelenteng Tien Kok Sie ketika lampion dinyalakan. |
Semakin malam, pengunjung yang datang ke Grebeg Sudiro semakin padat. Saking padatnya, jalanan di sekitar Pasar Gede sampai diberlakukan penutupan karena benar-benar penuh oleh manusia. Sekitar jam 8 malam, panggung kesenian yang ada di dekat kelenteng mulai beroperasi -mendendangkan senandung dangdut (iya, dangdut) dan beberapa lagu soundtrack film Tiongkok jaman dulu semacam Siluman Ular Putih.
Penjaja makanan berderet-deret di sepanjang jalan. |
The lantern path |
Pusat kepadatan pengunjung berada tepat di bawah tugu ini. |
Tepat jam 9 malam, kami semua akhirnya menyerah. Acara ini terlalu penuh oleh manusia. Di beberapa tempat, bahkan kami tak bisa lewat sama sekali. Pengunjung datang dan pergi memakai jalanan yang sama sehingga terjadi kemacetan manusia.
"Ini mah melihat kepala manusia, bukan melihat kembang api", teriak salah seorang pengunjung di dekat saya. Saya hanya bisa tersenyum getir sembari berjalan mengikuti arus agar bisa keluar dari area itu.
Kepadatan pengunjung Grebeg Sudiro. Memang benar, ini sih melihat kepala manusia. |
Ada sekitar setengah jam waktu yang kami butuhkan untuk bisa sampai ke tempat parkir mobil. Kami sudah sepakat untuk tak menyaksikan pesta kembang api yang katanya baru akan dimulai jam 12 malam. Kami sudah kehabisan tenaga, dan melihat kerumunan manusia yang makin lama makin banyak jumlahnya sukses membuat hilang selera.
Once is enough. Cukup sekali ini saja saya menyaksikan Grebeg Sudiro. Saya tak menyangka acara ini akan dipadati oleh manusia dalam taraf yang mengerikan. Anyway, Selamat Imlek bagi siapapun yang membaca ini dan tengah merayakannya. Semoga tahun ini akan penuh keberuntungan, kelancaran, dan kesuksesan. Xi nian kuai le. Gong xi fat chai.
Terima kasih sudah berkunjung. Gong xi gong xi gong xi ni ya. |
Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggungjawab. ^^d
No comments:
Post a Comment