Pages

Thursday, July 14, 2016

30 Menit Bersama Soesilo Toer

Pak Soes saat mengantar kepulangan kami


DISCLAIMER!
Tulisan ini mungkin akan membuat sebagian kalangan tidak nyaman karena berkaitan dengan salah satu penulis penuh kontoversi dan (sedikit) kenangan buruk masa lalu di Indonesia. Kalau kalian merasa gerah, disarankan untuk tidak melanjutkan membaca.

Sebuah rumah berdinding kayu dengan cat warna dominan putih namun berhias kombinasi kuning-hijau pada daun jendela serta pintunya tampak berdiri di sudut Jalan Sumbawa, Kabupaten Blora. Pagarnya yang setinggi perut orang dewasa juga masih terkunci rapat. Saya sejenak terpaku, sedikit kebingungan. Apakah benar saya telah berdiri di depan Perpustakaan PATABA? Rumah tua di depan saya ini jauh lebih mirip bangunan tempat tinggal biasa dibandingkan bangunan perpustakaan.


Saya amati lagi tulisan alamat yang tertera di pagar kayu dengan alamat yang berhasil saya peroleh hasil berselancar di internet. Keduanya menunjukkan tulisan senada: Jalan Sumbawa 40. Saya akhirnya harus mensugesti diri kalau saya telah berdiri di tempat yang benar.

Rumah milik Mastoer - ayah dari Toer bersaudara. Disinilah,
Pram pernah menghabiskan sebagian kecil waktunya. Rumah
ini juga pernah mendapat ancaman pembakaran oleh warga
karena dianggap sarang para kiri.

Keyakinan saya semakin bertambah ketika sejurus kemudian seorang pria tua (atau mungkin lebih pantas disebut kakek) dengan berkaus singlet dan bercelana pendek terlihat berjalan di halamannya. Saya familiar dengan kakek itu, bagaimanapun foto dirinya telah menjubeli halaman demi halaman di mesin pencari internet. Saya pun memberanikan diri untuk menyapa dan sekedar berbasa-basi.

"Permisi, pak. Apakah benar ini Perpustakaan PATABA?", kata saya setengah berteriak karena perbedaan jarak di antara kami berdua.

Kakek itu agak terkejut, tapi kemudian ia berjalan menuju ke arah pagar.

"Iya benar, kalian datang dari mana?", jawabnya menimpali.

Setelah menjelaskan asal kedatangan kami, kakek ini membuka pagar dan mempersilahkan untuk masuk ke dalam. Baru hendak melangkah masuk, saya langsung mundur kembali. Tiga ekor kambing dewasa mendadak berlari menuju ke arah kami.

"Jangan takut, kambing-kambing ini jinak. Mereka menyambut semua tamu yang datang", kata kakek itu melihat kami yang tetap terdiam terpaku di depan pagar meski pintunya telah terbuka lebar.

Tiga kambing penyambut.

Benar saja, kambing-kambing itu memang jinak. Saya sempat mengelus kepala dan badan salah seorang di antara ketiganya, dan kambing tersebut tetap diam menikmati. Aih, lucunya.

"Silahkan jalan duluan ke perpustakaan dan isi buku tamu, saya ganti pakaian sebentar", tambah sang kakek sembari menunjukkan sebuah bangunan kecil di sebelah kiri belakang rumah. Ada tulisan "PATABA" tertempel di dinding bangunan itu.

Tulisan Perpustakaan PATABA yang menempel pada
bangunan kecil di samping kiri belakang rumah utama.

Ah, akhirnya kami sampai juga di Perpustakaan PATABA. Perpustakaan yang diinisiasi oleh tiga bersaudara Toer, tapi ketika salah seorang di antara mereka terlebih dahulu meninggal dunia, maka dua yang tersisa memutuskan untuk menamai tempat ini dengan PATABA sebagai penghormatan atas ia yang telah wafat.

PATABA - PRAMOEDYA ANANTA TOER ANAK SEMUA BANGSA. Itulah kepanjangan dari nama perpustakaan tersebut. Perpustakaan ini diresmikan bersamaan dengan tanggal meninggalnya Pram - nama panggilan beliau - pada 30 April 2006.

Sejujurnya, saya bukanlah seorang penggemar dari Pramoedya Ananta Toer. Satu-satunya buku karangan beliau yang saya miliki di rumah adalah buku berjudul JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS - karya paling anyar darinya yang saya (terpaksa) beli karena tugas pelajaran Bahasa Indonesia di jaman SMA dulu. Buku itu, bahkan hingga detik ini, belum rampung saya membacanya.

Lantas, kenapa saya datang ke PATABA?

Meski bukan seorang penggemar, tapi tentu saya sedikit tahu sepak terjang sang penulis penuh kontroversi ini. Apalagi, kebetulan saya tengah menyambangi Blora, kampung halaman sekaligus daerah yang paling beliau cintai. Kata segelintir orang, "Blora ya Pram, Pram ya Blora".

Makanya, ketika datang ajakan untuk mendatangi PATABA, tanpa berpikir panjang saya langsung memberikan persetujuan. Kapan lagi bisa menengok sepenggal kenangan seorang Pramoedya Ananta Toer? Yah, hitung-hitung menambah pengetahuan saya tentang beliau.

Kembali ke PATABA, bila dikategorikan sebagai perpustakaan, PATABA cenderung kurang terawat. Koleksi buku yang ada disana sebagian ada yang tertata di dalam rak-rak kayu kecil, sementara yang lainnya dibiarkan menumpuk dan bergelimpangan kesana kemari. Berbagai macam foto, lukisan, grafiti, sketsa yang berkaitan dengan Pram juga tampak menghiasi dinding-dinding perpustakaan ini.

Buku, lukisan, dan potrait koleksi perpustakaan.

Saat tengah asyik melihat-lihat, kakek yang tadi menyambut kami di halaman datang menemui. Mari saya perkenalkan, ia bernama Soesilo Toer. Yap, ia adalah adik kandung dari Pram. Tak seperti kala pertama berjumpa, kini ia telah berdandan rapi dengan mengenakan kemeja lengan pendek batik dan celana panjang kheki warna abu-abu.

Awalnya, saya menaksir kalau usianya adalah kepala tujuh. Saya salah. Katanya, kini ia telah berusia 80 tahun. Pengakuan yang membuat saya geleng-geleng kepala. Di mata saya, Pak Soes masih terlihat begitu sehat dan segar. Sorot matanya masih tajam, pula pendengarannya yang masih baik.

Pak Soes lantas memilih duduk di sebuah kursi kayu yang ada di perpustakaan itu, dan mulailah ia bertanya dan bercerita. Saat kami utarakan kalau PATABA tak seperti bangunan perpustakaan yang kami bayangkan. Ia terkekeh.

"Memang, ini nanti rencananya semua buku akan saya pindahkan ke rumah utama. Rumah utama itulah yang kelak akan jadi perpustakaan. Tapi itu masih nanti, masih menunggu adanya dana", tukasnya.

Ia kemudian mulai bercerita panjang lebar tentang PATABA - tentang siapa saja yang pernah datang kesana, baik dari kalangan seniman dan sastrawan Indonesia, mahasiswa sastra, hingga profesor atau peneliti luar negeri (yang saya lupa nama-namanya, sementara Pak Soes begitu runtut dan detail menjelaskan satu per satu).

Ingatan Pak Soes, untuk ukuran orang seusianya, memang pantas diacungi jempol. Gaya bicaranya juga lugas tapi enak didengar. Walau kadang, entah kenapa saya mendadak serasa dipecundangi. Saya berubah menjadi semacam tak ada apa-apanya di depan Pak Soes. Untung saja, Pak Soes terkadang melemparkan lelucon yang kami balas dengan lelucon kembali. Dan, ia tidak marah.

Tentu saja, Pak Soes bercerita tentang Pram, tentang bagaimana sosok beliau di matanya, tentang bagaimana kenangan pahit yang terpaksa ia dan anggota keluarganya terima gara-gara Pram dilabeli sebagai seorang komunis. Kata sakti yang sanggup melukai seseorang di Indonesia (termasuk Keluarga Toer), bahkan hingga detik ini.

Masa lalu memang begitu pahit. Dari semula kawan, bisa berubah menjadi lawan hanya gara-gara perintah dari segelintir orang. Saya yakin betul, baik Pram maupun Pak Soes mungkin sudah kebal dengan segala efek yang mereka terima karena dianggap bergabung ke Gerakan Sayap Kiri.

Salah satu lukisan ikonik di Perpustakaan
PATABA. "Bacalah bukan bakarlah" - mengacu
pada bagaimana karya dari Pram banyak yang
dibakar oleh TNI AD dan dianggap sebagai
buku terlarang oleh Kejaksaan Agung.


Pram sendiri di mata Pak Soes adalah orang yang keras kepala. Sudah tak terhitung lagi bagaimana sikap keras kepalanya mengenai siapa saja, mulai dari anggota keluarga, tokoh penting, sastrawan, sejarawan, bahkan seniman sekalipun.

Tentu masih ingat bagaimana Pram menolak tawaran seorang produser film yang hendak mengangkat novel Bumi Manusia ke film hanya gara-gara beliau merasa kalau artis Happy Salma kurang pantas memerankan Nyai Ontosoroh - sang tokoh utama dalam novel - bukan? Happy Salma, for God's sake!

Sayangnya, kami kemudian terpaksa harus memberhentikan cerita yang keluar dari mulut Pak Soes. Kami berpamitan untuk pulang. Ia tampak terkejut.

"Kenapa buru-buru? Minimal setiap tamu yang berkunjung kemari harus menghabiskan dua jam disini. Kalau tidak saya bisa stress karena banyak cerita yang masih ingin saya ceritakan", jawabnya sambil menatap kami lekat-lekat.

Kami pun menjelaskan kalau kami harus menghadiri suatu kegiatan yang sama sekali tak bisa ditinggal, ditunda, atau dimundurkan jamnya. Kami benar-benar meminta maaf hanya bisa mampir sebentar meski banyak hal yang sebenarnya ingin kami dengar dari Pak Soes.

Pak Soes akhirnya menghantarkan kami pulang sampai batas pagar rumah. Sebelum berpisah, ia berkata: "pokoknya, saya tunggu kunjungan kedua, ketiga, kesekian kalian. Kalau ke Blora lagi, mampir saja kesini".

Kami mengangguk dan mengucapkan salam perpisahan. Semoga kelak kami bisa berjumpa lagi.

****

Ada banyak sekali pesan yang Pak Soes berikan kepada kami dalam pertemuan 30 menitan itu. Satu yang paling saya kenang adalah: kalau kau ingin dikenang, maka menulislah. 

Satu pesan lagi tertulis di dalam buku karangan Pak Soes yang saya beli kemarin di PATABA, berjudul "PRAM DALAM TUNGKU", terserak bersama tanda tangannya di halaman pertama buku.

"HIDUP HARUS BERANI" 
-Pram-

Entah kenapa saat membaca pesan itu saya hanya bisa tersenyum. Senyum yang terdiri atas campuran rasa antara manis, asam dan pahit.

It's such an honor for me to meet this amazing
person. Pak Soes sendiri adalah seorang
lulusan S3 dari Institut Rusia. Di masa
senjanya, selain menciptakan buku tentang
Pram, ia juga sering mengaku bekerja
sebagai pemulung. 


Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggungjawab. ^^d

No comments:

Post a Comment