Pages

Friday, October 6, 2017

Pasar Papringan: Keriuhan Dari Balik Kerimbunan Rumpun Bambu



Ketika saya masih kecil, ada sebuah rumpun bambu yang tumbuh lebat di ujung lapangan tempat saya dan para tetangga biasa bermain. Sebagai bagian dari lapangan, rumpun bambu tersebut juga menjadi arena permainan kami - menjadi lokasi sempurna untuk bersembunyi saat main petak umpet, tempat menyembunyikan harta kala bermain perompak-perompakan, tempat mencari bahan kapal dari daun bambu kering sebelum lantas diadu cepat di sungai depan rumah, hingga tempat berteduh yang sempurna sehabis kelelahan bermain layang-layang.

Rumpun bambu itu pun berubah menjadi penuh keceriaan: dengan sorakan, tawa dan teriakan anak-anak terdengar silih berganti. Setidaknya, keceriaan ini akan terdengar dari waktu sepulang sekolah hingga sebelum mendekati matahari terbenam. Setiap jam lima sore, teriakan para ibu membahana memanggil anak-anak mereka untuk segera pulang, segera meninggalkan rumpun bambu secepatnya.

Kata mereka, rumpun bambu akan berubah menyeramkan kalau malam datang. Disitulah para hantu senang berkumpul dan menyesatkan anak-anak yang terlambat pulang. Cerita semacam ini diturunkan turun menurun dan ditularkan dari mulut ke mulut, membuat kami para anak hanya bisa segera berlari manakala sudah mendengar teriakan ibu-ibu kami yang berubah laksana alarm. Memang, rumpun bambu terkesan suram di kala malam. Suara reyotan batang-batang bambu dan gemerisik dedaunannya saat tertiup angin menambah kesan kesuraman itu. 

***

Ingatan saya akan rumpun bambu kembali bangkit ketika mengunjungi Pasar Papringan bersama salah seorang teman - Mbak Sekar - pada 6 Agustus 2017 lalu. Ini adalah kunjungan yang lumayan mendadak, sekaligus kunjungan yang begitu saya nantikan manakala Mbak Sekar mengajak saya untuk bertualang ke Kabupaten Temanggung.

Saya memang sudah lama ingin berkunjung ke Pasar Papringan. Saya ingat, pertama kali mengetahui keberadaan pasar unik ini adalah saat menyaksikan liputannya di salah satu saluran televisi swasta pada pertengahan tahun lalu. "Saya harus kesana!", begitu bunyi perkataan batin saya setelah liputan itu berakhir.

Perjuangan menuju Pasar Papringan tidaklah mudah. Pasar ini hanya buka selama lima jam yakni dari jam 06.00-11.00 WIB, sehingga saya dan Mbak Sekar harus rela berangkat pagi-pagi buta dari Kota Salatiga agar tidak melewatkan waktu operasi tersebut. Dinginnya udara pagi yang menerpa sepanjang perjalanan, dan sempat disesatkan oleh GPS menambah perjuangan kami hari itu.

Semenjak diadakan pada 10 Januari 2016 lalu, Pasar Papringan telah mengalami beberapa perubahan. Perubahan pertama adalah lokasi. Setelah sebelumnya menempati lokasi di Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, kini pasar ini telah berpindah ke Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu. Perubahan kedua adalah waktu diadakannya yang ditambah ke Minggu Pon, sehingga dalam satu bulan bisa diadakan dua kali Pasar Papringan yakni pada Minggu Wage dan Minggu Pon.

Suasana masih terasa tak begitu ramai ketika kami berdua tiba di dalam area pasar. Kami menyempatkan diri untuk berkeliling terlebih dahulu sebelum menukarkan uang rupiah kami ke uang pring - mata uang utama di pasar ini. Kurs yang berlaku adalah: 1 Pring sama dengan Rp 2.000,00, dengan catatan bahwa sisa uang pring tidak dapat ditukarkan kembali ke rupiah, tapi masih bisa digunakan pada masa Pasar Papringan selanjutnya. Kata Mbak Sekar, itu adalah perubahan ketiga yang terjadi disana karena sebelumnya 1 Pring sama dengan Rp 1.000,00 dan sisa uang pring masih bisa ditukarkan kembali ke rupiah.

Para remaja desa yang dikaryakan
menjadi petugas penukaran uang. 

Pring!

Setelah mengantongi uang pring di tangan, kami memulai perburuan di pasar tersebut. Ada untungnya juga kami telah berkeliling terlebih dahulu, sehingga kami bisa langsung mendatangi lapak-lapak penjual yang telah kami tandai. 

Untuk ukuran pasar yang diusung dengan konsep tradisional, Pasar Papringan ini tergolong lengkap. Selain makanan dan minuman, pasar ini juga menjual hasil bumi, hewan ternak, kerajinan bambu, oleh-oleh, cemilan, hingga sepeda bambu. Tak hanya itu saja, paket arung jeram, potong rambut, pijat juga tersedia disana. Sebuah perpustakaan keliling dan aneka permainan tradisional juga ikut memeriahkan pasar tersebut. Lengkap, bukan?

Hasil bumi yang didagangkan di Pasar Papringan.
Segar-segar yah.

Penjual kerajinan dari bambu.

Kapan terakhir kali kalian melihat anak kecil bermain mainan
tradisional? Di Pasar Papringan kalian bisa melihatnya.
Omong-omong, ada yang tahu mereka sedang bermain apa?

Ada dua jenis makanan yang sempat saya coba kemarin. Pertama, nasi gono. Begitu mendengar nama nasi tersebut, saya langsung membayangkan nasi megono yang ada di Kabupaten Pekalongan sana. Namun ternyata, antara nasi gono dan nasi megono tak memiliki kesamaan apapun. Kata ibu penjual, nasi gono adalah bumbu kelapa, sayur (biasanya daun lembayung, daun singkong, atau kacang panjang), dan ikan teri. Rasanya sedikit pedas, mungkin karena bumbu kelapa yang dipakai sudah dicampur dengan tumbukan cabai. 

Nasi gono. Porsinya pas! Dijual bersama paket lauknya.
Kalau paket nasi gono+tempe bacem dihargai sebesar
3 pring.

Makanan kedua yang saya coba adalah iwel-iwel. Iwel-iwel ini sebenarnya adalah jajanan pasar yang mirip dengan thiwul. Tahu thiwul kan?  Itu loh makanan tradisional yang terbuat dari singkong atau ketela pohon dan biasanya digunakan sebagai makanan pengganti nasi ketika masa paceklik tiba. Nah, Temanggung menyebut thiwul dengan nama iwel-iwel. Kemarin, saya tertarik membeli makanan ini karena bentuk penyajiannya yang serupa dengan Pizza.

Iwel-iwel ini dijual per potong. Satu potongnya 1 pring.

Pada dasarnya, saya bukanlah orang yang biasa sarapan. Entah kenapa kalau pagi hari terlalu banyak makan, justru membuat perut saya terasa aneh. Oleh karena itu, saya hanya membatasi diri untuk makan terlalu banyak kemarin. Saya akhirnya hanya menemani Mbak Sekar yang masih keliling kesana kemari dan mencoba berbagai jenis makanan lain.

Sisa pring saya pun masih banyak. Daripada mubazir, kami kemudian beralih menuju ke lapak kerajinan bambu. Mata saya langsung tertuju pada sebuah kerajinan berbentuk mirip vas. Awalnya, saya menduga kalau kerajinan itu vas atau tempat pensil, tapi ternyata kerajinan itu bernama telik - sebuah perangkap ikan atau belut tradisional yang lazim digunakan di Temanggung. Walaupun salah menduga, saya memutuskan tetap membeli kerajinan tersebut dan menjadikannya sebagai dekorasi kamar.

Telik dan sisa pring saya. Lumayan kan bisa buat hiasan. 😜

***

Secara pribadi, saya salut terhadap pengelola Pasar Papringan. Inovasi mereka sungguh brilian. Mengubah rumpun bambu yang selama ini kalau di masyarakat kita identik dengan kesan angker, menjadi sebuah pusat keriuhan dengan beraneka ragam komoditas dan hiburan yang ditawarkan. Pasar Papringan bak sebuah paket komplit yang menggabungkan ide modernitas, tradisional, seni, hiburan, pemberdayaan sekaligus konsep ramah lingkungan. Agak mengherankan karena belum ada penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada mereka sampai sekarang.

Eits, petualangan saya dan Mbak Sekar di Kabupaten Temanggung tidak berhenti sampai di Pasar Papringan saja. Masih ada kelanjutan cerita petualangan kami di negeri tembakau ini. Ditunggu ya. :)

Terima kasih sudah berkunjung!

Maaf terlambat posting dan Salam Kupu-Kupu. ^^d

No comments:

Post a Comment