Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun 2015 lalu, setidaknya terdapat 15.730 hektar lahan di Kabupaten Temanggung yang ditanami oleh tembakau. Jumlah produksi tahunannya juga tidak main-main, yakni mencapai 6.923 ton per tahun. Tak mengherankan apabila kemudian Temanggung sering dijuluki dengan sebutan "Negeri Tembakau". Kunjungan saya dan Mbak Sekar ke kesana kemarin pun, ternyata mau tak mau membuat kami dekat dengan tanaman berdaun lebar itu.
Perjumpaan pertama kali kami dengan tanaman tembakau terjadi saat kami mendatangi Wisata Alam Posong yang berada persis di Lereng Gunung Sindoro, tepatnya di Desa Tlahap, Kecamatan Kledung. Itu adalah perjalanan yang sangat menguras tenaga. Kami sempat tersesat jauh manakala hendak kesana sepulangnya dari Pasar Papringan.
Waktu itu kami berencana menghemat baterai gawai sehingga hanya mengandalkan petunjuk arah dari penduduk yang dapat kami temui sepanjang perjalanan. Petunjuk dari mereka ternyata justru membuat kami berjalan berputar-putar saja selama hampir 1,5 jam lamanya. Beberapa penduduk bahkan hanya mengangkat bahu ketika kami tanya arah menuju ke Posong. Loh, bagaimana sih ini?
Habis kesabaran. Saya pun akhirnya menghidupkan GPS di gawai untuk mengecek keberadaan tempat tersebut. Astaga. Posisi kami saat itu justru menjauhinya. Kami hanya bisa mengutuk dalam hati, tak selamanya petunjuk dari penduduk sekitar bisa dipercaya. Ini niatnya mau hemat, eh malah rugi tenaga dan waktu.
Setelah mengikuti arahan dari GPS, tibalah kami pada loket tiket Wisata Alam Posong. Dan perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai dari sana. Kami harus melewati jalanan berbatu yang terus menanjak, dengan kemiringan beraneka rupa. Saya serasa mengalami penderitaan ganda dalam perjalanan itu. Pergelangan tangan, bahu, dan pantat rasanya pegal sekali karena terus menerus berguncang mengikuti kondisi jalan. Hiburan kami hanyalah pemandangan tanaman tembakau yang tersebar di pinggir-pinggir jalan.
Ladang Tembakau berlatarkan Gunung Sumbing yang tertutup awan tebal. |
Hampir setengah jam yang terasa begitu menyiksa, sampailah kami di Posong. Rugi dan beruntung. Itulah dua hal yang kami rasakan begitu sampai disana. Posong, selama ini dikenal karena pemandangan Gunung Sumbingnya yang mempesona. Sayangnya, kedatangan kami siang itu tidak direstui oleh cuaca, awan tebal menggelayut dan menutupi hampir setengah gunung tersebut.
Namun, kami juga merasa beruntung. Kedatangan kami tepat satu hari sebelum destinasi wisata ini ditutup untuk umum dengan alasan konservasi. Waktu penutupannya pun lumayan lama, yakni hampir dua bulan. Lokasi Posong memang masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Sindoro-Sumbing sehingga penutupan semacam itu memang sering dilakukan secara berkala.
Untungnya, ada lahan tanaman tembakau yang bisa dieksplorasi tepat di bawah area parkir Posong. Kami hanya harus berjalan mengikuti jalan setapak yang terasa bagaikan membelah permadani hijau. Saya dan Mbak Sekar langsung terbuai oleh pemandangan yang menyejukkan mata sekaligus menenangkan hati ini.
Hijaunya cantik banget! |
Mbak Sekar berbahagia dengan sepeda motor pinjaman milik Pak Tani. |
Kami juga sempat bercakap sebentar dengan seorang petani tua yang tampak tengah memotongi tunas daun muda dari tanaman-tanaman tembakau miliknya. Katanya, itu adalah upaya untuk memaksimalkan kualitas daun tembakau yang pertama kali muncul.
"Minggu depan ini sudah siap panen kok, mas", katanya menambahkan sembari terus sibuk memetiki tunas-tunas muda dari tanaman satu ke tanaman lainnya. Ah, pasti menyenangkan bisa melihat secara langsung aktivitas panen para petani tembakau itu. Batin saya.
Sebelum pulang, Mbak Sekar mengajak saya untuk menuju warung favoritnya di Posong. Warung sederhana berdinding kayu dan beralas tanah yang menjual makanan dan minuman instan, serta aneka gorengan. Mendoan-nya sungguh juara. Tempenya besar dan tipis, lantas digoreng kering dengan tepung.
Ini mendoan versi Temanggung. Ju to the Ara = Juara! |
Perjumpaan kami dengan tembakau di Temanggung belumlah usai. Masih ada satu lagi, tapi dengan cara yang agak unik: kuliner. Pernah dengar nasi goreng mbako? Iya, kalian tidak salah baca. Nasi goreng tembakau.
Kalau ini 100% adalah ide dari saya. Jauh-jauh hari ketika merencanakan perjalanan ke Temanggung, saya langsung berpesan ke Mbak Sekar kalau ingin mencicipi nasi goreng mbako. Saya pertama kali mengetahui ada masakan nyeleneh tersebut dari tayangan berita di sebuah stasiun televisi swasta, beberapa tahun yang lalu.
Sepanjang pengetahuan saya, hanya ada satu lokasi yang menjual nasi goreng mbako seantero Temanggung. Lokasi itu adalah Rumah Makan Temanggung Bersenyum (Tebers) yang terletak di Jalan MT. Haryono, dekat sekali dengan alun-alun. Kami sempat melewatkan rumah makan ini karena papan namanya tak begitu terlihat. Setelah menyusuri jalan kembali, kami bisa menemukannya setelah melihat sebuah becak yang nongkrong di atap - tanda khas rumah makan tersebut.
Becak yang terdampar di atap rumah makan |
Kami bergegas memilih tempat di lantai dua rumah makan yang suasana interiornya tampak klasik itu. Ada berbagai jenis makanan yang ditawarkan rumah makan ini, tapi memang yang paling terkenal adalah nasi goreng mbako-nya. Ada banyak varian yang bisa kita pilih dari nasi goreng mbako, mulai dari yang biasa, telur, ayam, seafood, hingga srintil. Kami memilih varian yang berbeda: Mbak Sekar dengan nasi goreng mbako seafood, sementara saya memesan nasi goreng mbako srintil. Srintil sendiri adalah jenis tembakau asli Temanggung yang katanya merupakan tembakau kualitas super.
Nasi goreng pesanan saya tampak berwarna merah kehitaman dengan tumpukan daun hijau di atasnya. Porsinya banyak. Buat yang belum tahu, jangan terkecoh. Sesungguhnya, daun hijau yang menumpuk di atas nasi itu bukanlah daun tembakau, melainkan daun triwis atau kubis tua yang sudah dirajang dan digoreng kering.
Nasi goreng mbako srintil. |
Lalu dimana tembakaunya? Tembakau yang dipakai dalam masakan ini adalah biji-bijinya. Biji itu ditumbuk halus kemudian dicampurkan dengan bumbu nasi goreng. Soal rasa, kami sempat saling icip pesanan masing-masing. Kalau punya Mbak Sekar, potongan cumi dan udang sukses menutup aroma dan rasa tembakau. Sedangkan kalau nasi goreng mbako srintil, aroma dan rasa tembakaunya masih kuat - menghasilkan perpaduan antara rasa manis, pahit dan pedas. Unik.
***
Temanggung dan Tembakau. Dua kata itu sepertinya memang susah untuk dipisahkan. Terlepas dari fakta bahwa banyak petani tembakau yang mulai beralih menanam kopi dan sayur mayur karena lebih menguntungkan, tapi imej "Negeri Tembakau" rasanya masih akan menempel lama pada kabupaten tersebut.
Bagi yang bukan seorang perokok seperti saya, perkenalan dengan Tembakau mungkin bisa dilakukan dengan cara lain lewat melakukan kunjungan ke Temanggung. Keindahan ladang tembakau itu tak terbantahkan, belum nasi goreng mbako yang rasanya sungguh nano-nano. Perjalanan kemarin adalah salah satu perjalanan favorit saya.
COST:
1. Tiket masuk Wisata Alam Posong: Rp 10.000,00 per orang.
2. Nasi Goreng Mbako Srintil: Rp 17.500,00 per porsi.
Maaf terlambat posting dan Salam Kupu-Kupu. ^^d
No comments:
Post a Comment