Pages

Sunday, May 18, 2014

Cerita Bersama Tetangga Part X: Trekking Heboh Demi Curug Lawe Dan Benowo



Satu, dua, tiga, empat...sepuluh.
Wah, saya tidak menyangka kalau cerita bersama tetangga atau travel story antara saya dan para tetangga di kampung telah memasuki bagian ke-sepuluh. Itu artinya kami sudah traveling bareng sebanyak sepuluh kali sejak pertama kali agenda jalan-jalan ini dilakukan. Yah, meski jumlah orang yang ikut selalu mengalami fluktuasi tapi kami semua selalu menyempatkan waktu untuk bisa pergi ke suatu tempat. Cerita kali ini, personelnya cuma ada tiga, saya, kakak saya dan Decky. Kami bertiga memutuskan untuk mengunjungi duo curug (air terjun) yang ada di lereng Gunung Ungaran. Bukan hal yang mudah untuk menuju ke dua curug itu, masing-masing membutuhkan trekking yang super melelahkan. Belum lagi kesialan terus menimpa kami satu-satu, mulai dari Mbak Vica yang kakinya terkena paku, Decky yang merelakan jam tangannya tercebur ke sungai, hingga saya yang jatuh terpelanting ke rawa-rawa. Argh!

Kami berangkat dari rumah sekitar jam sembilan pagi. Sengaja kami berangkat agak siangan karena enggan terjebak kemacetan yang disebabkan oleh arus masuk para pekerja pabrik di daerah Bawen. Apalagi, kemacetan itu masih diperparah dengan proyek pengecoran jalan yang tak kunjung usai. Wah, bisa mendidih isi kepala kalau berangkat pas jam sibuk seperti itu.

Sengaja pula kami berangkat pada hari kerja atau weekday yakni Selasa, 6 Mei 2014 yang lalu agar bisa menikmati keindahan dua air terjun itu dengan lebih leluasa serta terbebas dari gangguan keramaian pengunjung lain. Perjalanan dari kampung kami di Salatiga menuju ke Desa Kalisidi, Kabupaten Semarang-desa lokasi Curug Lawe dan Benowo membutuhkan waktu kurang lebih sekitar satu setengah jam. Disebabkan lokasi kedua air terjun ini berada di area perkebunan cengkeh milik PT. Zanzibar maka loket tiketnya dijaga semacam oleh petugas keamanan perusahaan. Jangan takut, petugasnya ramah dan membantu sekali kok. Setiap pengunjung yang hendak melihat air terjun dikenakan biaya masuk yang sangat murah, hanya sebesar dua ribu rupiah per orang. Pengunjung juga harus menuliskan identitasnya dengang jelas di buku tamu yang disediakan.

Dari pos penjagaan, kami harus memacu motor kembali ke area parkir motor. Jaraknya sekitar 10 menitan dengan melewati semacam bukit penuh tanaman perdu di kanan kiri jalan. Jalannya menanjak terus dimana pemandangan Kota Semarang dan Ungaran terlihat di belakang kami. Hari itu kami sangat beruntung. Langit tampak bersih dari riak-riak awan dan hanya meninggalkan warna biru cerah di atas kami. Saya tak henti-hentinya mengajak Mbak Vica dan Decky untuk menengok langit. Baru setengah jalan menuju area parkir saja saya sudah dibuat terkesima, semoga kedua air terjun yang akan kami sambangi juga mampu membuat kami terkesima. Harapan saya dalam hati.

Lihat langit di belakang kami, biru banget!

Petualangan sebenarnya baru dimulai begitu motor telah kami parkir di area yang disediakan. Saatnya menggunakan kedua kaki ini untuk menjelajahi setiap jalan setapak demi Curug Lawe dan Benowo. Awalnya, kami harus berjalan kaki di atas paving block dengan ditemani tanaman cengkeh sepanjang mata memandang. Selanjutnya, kami harus berjalan kaki di pinggir sungai kecil buatan yang airnya sangat jernih. Sungai kecil buatan ini mengalir di antara hutan belantara dengan jurang. Berbagai macam serangga cantik seperti kupu-kupu beraneka warna dan ukuran, belalang bahkan capung jarum dengan sayap biru kehitamannya setia menemani perjalanan kami melintasi jalan setapak di pinggir sungai itu.

Jalan setapak awal membelah kebun cengkeh


Rute menyusuri sungai buatan

This is what they called with crystal clear water, right?

Bunga cantik di tepi sungai

Di pertengahan jalan, kami dihadapkan pada jembatan panjang dengan alas terbuat dari potongan-potongan kayu. Jembatannya cantik, dan fotogenik. Dari atas jembatan bisa melihat pemandangan jurang yang menganga di samping kami sekaligus pemandangan hutan rimbun dengan sulur-sulur pohonnya. Sayang, alas jembatannya sudah banyak yang berlubang. Bahkan, ada alas kayu yang terangkat saat kami menginjak ujungnya. Agak ngeri memang.

Jembatan kayu yang fotogenik 

Sehabis trekking menyusuri pematang sungai buatan, saatnya memasuki track menanjak. Kami memulai berjalan menapaki jalan menuju Gunung Ungaran. Dua orang pengunjung yang berjalan duluan sebelum kami menyerah dan memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami tetap semangat, meski saya tak berani bilang kepada kakak dan tetangga saya kalau perjalanan masih jauh. Selain jalan yang terus menanjak dan menerobos hutan, berulang kali kami juga harus menyeberangi sungai-sungai kecil. Saya lupa berapa kali kami menyeberang, banyak yang pasti. Alas kaki yang basah membuat langkah-langkah kami terasa lebih berat. Semakin ke dalam, rute terasa semakin membingungkan. Kami hanya modal nekat mengikuti jalan setapak yang terlihat sering dilewati orang. Papan penunjuk arah? Ah, jangan terlalu berharap. Jumlahnya tak begitu banyak.

Mendaki anak-anak tangga

Lalu membelah hutan

Melewati jembatan

Bahkan menyeberangi sungai.
Duh, posenya deck. Hahahah.

Ketika menemui percabangan jalur dimana kami harus memilih untuk menuju Curug Lawe atau Benowo, kami bertiga sepakat memilih ke Curug Lawe terlebih dahulu karena jalan kesana tampak masih menanjak. Untung saja pepohonan dengan daunnya yang lebat senantiasa menaungi sehingga kami tak begitu merasakan panas matahari. Lama kami berjalan tapi tanda-tanda Curug Lawe belum kelihatan sama sekali. Saya juga tak mendengar suara deburan air yang menghantam tanah sebagaimana yang biasanya saya dengar manakala telah berada dekat dengan air terjun. Kami terus berjalan dan akhirnya menemukan papan penujuk Curug Lawe. Tapi tunggu. Huh? Ini benar jalan yang harus kami lewati?

Percabangan jalur. Pilih yang mana dulu, hayo?

Rasa takut mulai menyergap. Bagaimana tidak, kami harus berjalan di antara celah dua daratan dengan sungai mengalir di bawahnya. Ketinggiannya sekitar satu meteran dan kami hanya dibantu oleh dua potong batang pohon yang ditidurkan. Saya meminta Decky untuk menyeberang terlebih dahulu, dilanjutkan oleh Mbak Vica. Biarkan saya jadi yang terakhir. Di saat inilah kesialan menimpa kakak saya, gara-gara takut kepleset ia pun mencopot sepatu yang dikenakan. Sayang, matanya tak begitu awas. Ada ujung paku besar yang nongol di sela-sela batang pohon, dan ia menginjaknya. Kakinya berdarah, meski tak banyak. Gawat, tak ada pula di antara kami bertiga yang membawa penutup luka atau obat merah. Syal penutup hidung ketika berkendara akhirnya saya relakan untuk dipakai sebagai penutup luka sementara.

Entah kenapa Mbak Vica malah girang
saat di atas jembatan dua batang pohon nan horor

Karena luka di kakinya, kakak saya memutuskan untuk rehat. Dasarnya saya tak bisa diam, saya kemudian meminta kakak dan Decky untuk beristirahat sejenak sedang saya mencoba mengecek keadaan. Saya berjalan menyeberangi sungai dan melewati batu-batuan serta batang pohon yang licin. Di ujung jalan, saya menemukan air terjun kecil tapi saya ragu apakah ini Curug Lawe yang digembor-gemborkan itu. Sepertinya sih, bukan. Saat meragu inilah saya berpapasan dengan mas-mas pengunjung lain, katanya, Curug Lawe masih di atas sana. Apa, atas? Saya pun melihatnya mengacungkan jari ke pinggir air terjun kecil, ada anak-anak tangga tergurat di tebing-tebingnya menuju ke arah atas. Saya langsung lemas.

Air terjun kecil si pembuat terkecoh

Jalan masih nanjak lagi, bung!

Saya memutuskan untuk kembali ke kakak dan tetangga saya terlebih dahulu. Mengatakan apa yang saya lihat dan menanyakan ke Mbak Vica apakah ia masih sanggup berjalan. Si Decky memutuskan untuk mengecek sendiri apa yang telah saya lihat. Lalu lalang pengunjung mulai berseliweran di depan kami. Kebanyakan merupakan rombongan dari mas-mas yang saya temui tadi. Raut muka kelelahan begitu tampak di muka mereka, khususnya bagi para perempuannya. Ini memang berat, apalagi kalau tak terbiasa jalan jauh.

Tak lama, Decky kembali lagi menemui kami berdua. Mengatakan kalau Curug Lawe sudah sangat dekat dengan air terjun kecil yang saya lihat tadi. Memang sih harus menaiki anak-anak tangga, tapi cuma lima menit katanya. Saya manggut-manggut kemudian menengok Mbak Vica. Syukurlah, ia sanggup untuk meneruskan perjalanan ini. Kami bertiga kembali menyusuri batu-batuan licin sepanjang sungai dan selanjutnya menaiki anak-anak tangga yang juga licin. Tapi benar, naiknya tidak terlalu jauh dan akhirnya saya mulai mendengar deburan suara air khas air terjun.

Apa yang saya lihat benar-benar di luar perkiraan, Curug Lawe indah banget! Bayangkan saja, saya melihat semacam tebing setengah lingkaran dan di tengahnya mengalir deras air terjun besar dengan ketinggian sekitar 15 meteran. Bayangkan juga, masih ada air terjun-air terjun kecil dengan jumlah banyak yang mengalir di sekeliling air terjun besar. Entah berapa jumlah pasti air terjun kecil yang ada, mungkin berjumlah selawe (dua puluh lima dalam Bahasa Jawa), jumlah yang menjadi cikal bakal penamaan Curug Lawe itu sendiri. Tempiasan air dari seluruh air terjun baik yang besar maupun kecil bahkan sampai membumbung tinggi dan menyebar kemana-mana. Pakaian yang kami kenakan menjadi basah ringan dan rasa dingin langsung menjalar ke seluruh tubuh.

Karena tebing terlalu luas, susah untuk
mendapatkan foto Curug Lawe secara keseluruhan.

Air terjun besar dan air terjun kecil-kecil

Sumpah, rasanya reffrain lagu Paradise-nya Coldplay langsung mengalun di kepala. Ini surga tuan! Ini surga nyonya! Ini surga di bumi bagian lereng Gunung Ungaran! Mbak Vica saja sampai terlupa kakinya yang luka saking takjub melihat Curug Lawe. Begitu pula saya, Decky dan rombongan mas pengunjung tadi. Kami semua gembira. Seolah-olah cucuran keringat selama trekking panjang kami untuk sampai kesini ikut terbawa hanyut curahan-curahan air. Saya melihat jam, total waktu yang kami butuhkan dari area parkir sampai ke Curug Lawe hampir selama dua jam. Dahsyat! Malang bagi Decky, kesialannya terjadi disini. Saat asyik memotret-motret, ia terpeleset batuan yang licin dan jam tangannya sukses masuk ke dalam air. Kasihan ya, jamnya. Iya, cuma jamnya. :p

Kami semua berlatar Curug Lawe

Kami tidak lama-lama di Curug Lawe, masih ada Curug Benowo yang juga harus kami temukan. Kakak saya nyaris menyerah sebenarnya, namun berkat rayuan dan ajakan dari saya dan Decky akhirnya ia mau melanjutkan perjalanan ke Curug Benowo. Kami bertiga memutuskan ambil jalan tembus dari Curug Lawe, bukan kembali ke rute trekking sebelumnya. Jalan tembus ini mengharuskan kami menaiki gunung kecil, naik sampai puncak, lalu turun kembali menuju ke arah Curug Benowo di sisi lain gunung. Tracknya? Allahuakbar, buat pendaki kelas abal-abal macam saya, lumayan berat. Tanjakan yang tersedia kemiringannya bervariasi, ada yang miring sekali sampai-sampai bikin lutut gemetaran. Belum lagi, vegetasi masih lebat, plus, waspada ada banyak hewan penghisap darah semacam pacet di daun-daun atau batang pohon. Hiiy!

Kakak saya di salah satu turunan

Turunan-turunannya juga ngeri-ngeri sedap. Tanahnya banyak yang tidak stabil sehingga kadang ikut melorot ketika kami melewatinya. Bekas-bekas tanah longsor bisa kami temui di sepanjang jalan tembus ini. Duh, rasanya pengen segera jalan cepat meninggalkan gunung kecil nan sunyi ini. Ada pula batang pohon-pohon besar yang malang melintang di tengah jalan sehingga kami harus merunduk atau melompat agar bisa lewat. Perjalanan naik-turun gunung ini memakan waktu sekitar 45 menit, saya berhenti menghitung waktu manakala telah melihat Curug Benowo di kejauhan. Dari kaki gunung kecil tempat kami menginjak, air terjun ini bagaikan garis putih raksasa yang membelah hutan hijau. Kami bergegas menuju ke arahnya karena ingin segera melihat keindahan yang ditawarkan dari dekat.

Curug Benowo dari kaki gunung kecil

Setelah sampai di dekat air terjun, whoa, kami langsung disambut oleh pelangi yang berada tepat di titik limbahan air. Tidak hanya satu pelangi, tapi dua sekaligus. Berbeda dengan Curug Lawe yang jumlahnya banyak, Curug Benowo cuma ada satu. Tapi meski hanya satu, tingginya jauh lebih tinggi dari Curug Lawe. Begitu pula dengan debit air dan kekuatan tempiasan airnya. Untuk turun menuju ke bawah air terjun ini, kami lagi-lagi melewati batu-batuan yang bahkan lebih licin dari batu-batuan di sekitar Curug Lawe.

View dari dekat, lihat kan ada dua pelangi?
Satu di atas (samar), satu di bawah (jelas banget)


Ini nih kalau masih belum jelas. Pelangi yang di bawah.


Selain kami bertiga, telah ada satu rombongan pengunjung yang tengah mainan air sekaligus mandi disana. Kami juga ikut mainan air, sekedar melegakan otot kaki yang tadi telah dipakai untuk naik-turun gunung. Derasnya debit air yang mengalir ke bawah lagi-lagi melontarkan uap air kemana-mana. Kembali, bahkan lebih dahsyat dari Curug Lawe. Cuma beberapa menit di bawah air terjun, telah sukses membuat pakaian kami benar-benar basah kuyup. Ini seru banget!

Debit airnya kenceng

Decky dan Mbak Vica

Saya basah kuyup. Tapi seru :D


Sayangnya, waktu kami tak banyak. Saat tengah berada di Curug Benowo, jam telah menunjukkan pukul dua siang. Saya teringat kalau pengumuman di dekat area parkir tadi mengatakan bahwa setiap pengunjung harus sudah kembali paling lambat jam empat sore. Mengingat waktu trekking kami menuju Curug Lawe yang hampir dua jam, tentunya perkiraan saya, kami bisa sampai di area parkir tepat jam empat.

Track dari Curug Benowo menuju ke area parkir kebanyakan didominasi oleh batu-batu berukuran besar dan juga melewati hutan lebat. Sesekali ada sih, menyeberangi sungai dan rawa-rawa. Nah, saat perjalanan pulang inilah kesialan menyambangi saya. Seakan-akan agar kompak dengan dua kesialan sebelumnya, saya yang saat itu tengah berjalan santai dan berada di urutan paling belakang mendadak terhenyak. Entah kenapa, pandangan saya yang sebelumnya bisa melihat punggung Mbak Vica dan Decky tiba-tiba telah berubah menjadi akar-akar pohon, tanah, dan kubangan air. Saya sempat bingung dengan apa yang tengah terjadi hingga kesadaran akhirnya muncul dan membuat saya menyadari kalau diri ini telah jatuh terjerembab di rawa-rawa. Pakaian dari atas ke bawah, sampai ke tas langsung kotor seketika.

Bodohnya, insiden yang saya alami tidak disadari oleh dua manusia di depan saya. Barulah ketika saya merintih lirih dan meminta tolong, mereka segera berlari menghampiri saya. Niat awal sih hendak menolong, eh ujung-ujungnya kakak dan tetangga saya justru mentertawai habis-habisan. Bah, sampai jengah telinga saya mendengar tawa puas tak berkesudahan yang bahkan terus menemani sepanjang sisa perjalanan menuju area parkir. Ya nasib. *elus dada*


Salam dari kami bertiga! ^^d


Note:
1. How to get there: Kalau anda dari Kota Semarang atau Salatiga, jalanlah ke arah Gunung Pati (bisa lewat depan rumah sakit atau lewat alun-alun Ungaran), kemudian jalan terus sampai ke arah kampus UNNES Sekaran Gunung Pati. Saat menemukan percabangan jalan, satu lurus, satu belok kanan. Ambil yang lurus atau ambil arah Boja, Kabupaten Kendal. Jalan sekitar 700 meteran akan menemukan gapura Desa Sumur Gunung di kiri jalan, selanjutnya jalan terus lurus dan ikuti petunjuk arahnya dengan baik. Ada banyak penunjuk arah kok, tenang saja.
2. How much to enter: Rp 2.000,00 per orang dan Rp 2.000,00 per motor.
3. Waktu trekking yang ada di blog ini disesuaikan dengan kondisi kami waktu itu. Tempo jalan kami bertiga adalah tempo sedang. Well, kami kebanyakan berhenti untuk foto-foto di awal perjalanan sih. :p
4. Batas waktu berkunjung adalah sampai pukul empat sore. Katanya, untuk mencegah kontak dengan hewan-hewan liar dan berbahaya. Beware!
5. Bawa bekal makanan dan minuman sendiri, tidak ada penjual sepanjang jalan. Jangan lupa sampahnya dibawa pulang kembali. Mari jaga lingkungan dan tempat wisata bersama-sama kakak. :)

Salam Kupu-Kupu ^^d

2 comments: