Pages

Wednesday, May 14, 2014

Menikmati Rawa Pening Dari Atas Gunung Rong



Tanpa ada maksud promosi, saya sangat menggemari aplikasi berbagi foto-instagram. Alasannya sederhana, selain saya jadi tahu kabar teman-teman melalui foto yang mereka unggah, saya juga dapat rekomendasi tempat menarik yang bisa dikunjungi selanjutnya. Contohnya sore itu, salah seorang teman mengunggah foto dirinya di suatu tempat dengan berlatar belakang Rawa Pening. Tempat itu terlihat asing sekaligus menarik hati saya. Saya pun memberondong beberapa pertanyaan ke teman tadi, dan sejurus kemudian nama "Gunung Rong" telah berubah menjadi target jalan-jalan berikutnya. Googling kesana-kemari ternyata letaknya dekat dengan Kota Salatiga, wah makin penasaran.

Seminggu kemudian, saya berhasil menyeret serta dua teman untuk menggunjungi Gunung Rong. Dari informasi yang saya dapat, letaknya ada di sekitar Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Kami pun menyusuri jalanan menuju Gunung Rong. Minimnya petunjuk arah sempat membuat kami kebablasan, untung ada beberapa blogger yang sudah pernah kesana dan menjelaskan rute dengan jelas lewat tulisan mereka.

Kami memasuki jalan kecil tepat di atas Perkebunan Kopi Tlogo. Jalan ini membawa kami memasuki kampung penduduk yang tersembunyi di balik tanaman-tanaman kopi sepanjang jalan. Kami masih mengandalkan naluri ketika menemukan percabangan jalan, papan informasi ke Gunung Rong memang belum tersedia. Saya bersyukur kami tak salah jalan, gerbang bambu bertuliskan nama Gunung Rong tampak ada di depan kami setelah melewati jalan kecil tadi. Jarak gerbang bambu dengan ujung jalan kecil tidak terlampau jauh, hanya membutuhkan waktu 5 menit dengan menggunakan motor.

Gerbang Bambu

Sebelum naik sampai ke Puncak Gunung Rong, kami terlebih dahulu harus melaporkan diri di pos penjagaan. Pos penjagaan ini sekaligus berfungsi sebagai loket pembayaran tiket masuk. Saya kurang tahu bagaimana menghitungnya, tapi tiga orang ditambah dua motor dikenai biaya sebanyak Rp 15.000,00. Mungkin per orang kena Rp 3.000,00 sedangkan per motor Rp 2.000,00. 

Pos penjagaan

Untuk menuju puncak, kami harus melewati jalanan seukuran dua mobil yang terus menanjak. Sudut kemiringannya bervariasi, dan di beberapa tempat ada yang menikung tajam. Syukurlah, jalan aspal yang kami lewati untuk sampai puncak dalam kondisi yang bagus. Saya tak menemukan lubang sama sekali sepanjang jalan. Ini langka, biasanya jalan menuju ke gunung dalam kondisi rusak bukan? Jalanan yang mulus ini pulalah yang membuat waktu tempuh menjadi singkat. Hanya butuh sekitar 10 menitan dari pos penjagaan untuk sampai di puncak. Jalan ini menembus hutan pohon karet, dan Rawa Pening terus mengintip dari kejauhan.

Hutan karet dan jalan yang kami lewati

Saya pikir gara-gara petunjuk jalan yang masih minim membuat Gunung Rong bakal sepi pengunjung. Saya salah. Sebelum kami tiba telah tampak berbagai macam pengunjung lain yang ada di puncak, kebanyakan pasangan muda-mudi yang sibuk memadu kasih di beberapa gazebo. Pasangan-pasangan ini bahkan menguasai nyaris semua gazebo yang tersedia. Kami beruntung, salah satu pasangan pergi meninggalkan gazebo yang mereka tempati. Tak mau keduluan pengunjung lain, gazebo itupun segera kami jajah.

Salah satu gazebo

Semua gazebo tepat menghadap ke arah Rawa Pening. Beberapa gumpalan awan putih besar tampak menggelayut di atas rawa seluas 2.670 hektar ini. Saya bisa melihat dengan jelas beberapa kapal warga yang tengah beraktivitas di rawa itu. Penyusutan luas rawa dikarenakan tanaman eceng gondok yang berkembang pesat juga bisa dilihat dengan jelas. Tanaman eceng gondok ini menutupi beberapa sudut rawa dan terlihat bagaikan lapangan hijau. Pemandangan berbagai macam gunung (Telomoyo, Andong dan Merbabu), kota sampai Ruas Tol Bawen juga bisa kita nikmati dari atas puncak. Melihat semua hal tersebut benar-benar membuat pikiran menjadi tenang.

View Rawa Pening dari sebelah restoran

Tiada yang lebih nikmat dari melihat
pemandangan di atas batang pohon

Terdapat kesan tempat ini dikelola demi memanjakan para pengunjung, khususnya bagi pengunjung yang telah berkeluarga dan memiliki anak. Berbagai macam permainan anak disediakan oleh pengelola beserta kandang-kandang yang berisikan aneka hewan seperti burung parkit dan kelinci. Ada restoran besar pula yang tersedia di atas puncak dengan bentuk menyerupai gazebo besar sehingga pengunjung bisa beristirahat sambil menikmati pemandangan. Harga makanan dan minumannya bervariasi dengan banderol sekitar lima sampai lima puluh ribuan.

Beberapa mainan anak

Dua burung parkit cantik

Salah satu speciality dari restoran: Mie Goreng Goa Rong

Saya kurang tahu apakah nama Gunung Rong diambil dari nama goa bernama senada yang terletak tepat di bawah restoran. Sayang karena letaknya yang lumayan jauh dan harus menuruni anak-anak tangga, kami bertiga memutuskan berhenti di tengah jalan. Teriknya sinar matahari juga membuat semakin malas untuk melanjutkan perjalanan menuju ke goa. Beberapa orang ada yang menyebut lokasi wisata setinggi 998 mdpl ini dengan sebutan Goa Rong atau Bukit Rong.

Bunga yang saya temui sepanjang
anak tangga menuju Goa Rong

Sebelum pulang ke rumah, terlebih dahulu kami berhenti sejenak di Stasiun Tuntang. Stasiun yang dibangun pada tahun 1871 ini tampak sunyi karena tak lagi digunakan. Hanya ada anak-anak kecil yang tengah sibuk bermain layang-layang di bantaran rel. Dahulu, stasiun ini melayani trayek ke Yogyakarta dan Kedungjati namun semenjak kedua trayek itu ditutup maka Stasiun Tuntang juga ikut ditutup. Stasiun Tuntang kemudian dijadikan museum dan hanya melayani trayek wisata lori dan kereta uap dari Stasiun Ambarawa.

Stasiun Tuntang dari depan

Saat tengah sibuk memotret stasiun tiba-tiba kami bertiga dikagetkan dengan teriakan lelaki paruh baya. Dari seragam yang dikenakan tampaknya ia merupakan petugas penjaga disini. Dengan lantang, ia melarang kami untuk memotret stasiun menggunakan kamera digital yang saya bawa. Kalau mau memotret harus pakai surat ijin terlebih dahulu, tambahnya. Saya bingung. Semakin bingung saat bapak itu mengecualikan penggunaan kamera handphone untuk memotret. As long as using phone camera, it's okay to take a picture. 


Lori yang tak lagi digunakan

Stasiun Tuntang dari belakang

Kami bertiga pun mematuhi perintah si bapak meski saya tak memahami jalan pikirnya. Entah kenapa saya juga enggan menanyakan lebih lanjut terkait alasan pelarangan ini. Mungkin ada kaitannya dengan rencana pengoperasian kembali stasiun ini di tahun 2015 atau mungkin gara-gara ada pengalaman buruk di masa lalu. Ah, entahlah.

Note:
1. How to get there:
a. Gunung Rong: Terletak persis di Desa Delik, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Kalau anda dari Semarang, ambil jalan masuk setelah Jembatan Tuntang dan terus berjalan menuju Perkebunan Kopi Tlogo. Ada gapura kecil di kanan jalan tepat setelah perkebunan itu dan ikuti jalan kecil menuju desa. Ketika menemukan pertigaan ambil arah kanan dan sekitar 500 meteran anda akan menemukan gapura bambu obyek wisata ini.
b. Stasiun Tuntang: Jaraknya lebih dekat dari Jembatan Tuntang, tinggal ikuti jalan masuk setelah jembatan itu dan terus ikuti jalan maka anda akan menemukan stasiun ini di sisi kiri jalan.

Salam Kupu-Kupu ^^d

2 comments:

  1. wah ngga, aku baru aja mau nulis soal goa rong dan cari info di google, eh kamu ternyata udah ke sana duluan mana udah lamaaa...tapi emang baguss sih goa Rong, I just wanna see thereeeee...dua temannya siapa kok nggak ditulis?? dan aku nggak ke stasiun Tuntangnya sih...behehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahah puk-puk Meykke.
      Iya, lumayan buat nyegerin pikiran meyk. Deket pula sama Salatiga.
      Dua temen? Mereka minta dirahasiain sih meyk. I think you may know them. :)

      Delete