Pages

Saturday, January 24, 2015

Penampilan Menawan Grenjengan Kembar Di Musim Penghujan



Masalah klasik sebagian besar orang Indonesia manakala musim hujan telah tiba adalah jadi malas berpergian kemana-mana. Apalagi bagi para pecinta wisata alam, membayangkan hujan yang turun sepanjang hari saja sudah bikin hilang selera berpetualang. Kalaupun nekat, paling nanti saat pulang mendapatkan bonus badan meriang. Malas banget, ndak sih? Err, saya sebenarnya juga memiliki masalah yang sama namun bukan berarti tiap musim hujan datang, saya cuma duduk manis di rumah. Biasanya, saya alihkan tujuan wisata saya menjadi ke wisata budaya, sejarah ataupun kuliner. Bagaimana dengan obyek wisata alam? Jangan salah, ada obyek wisata alam yang menurut saya justru terlihat lebih menawan kala musim hujan tiba. Yap! Air terjun selalu jadi obyek wisata alam favorit saya di musim penghujan!

Air terjun yang berhasil saya dan Yanta -salah satu teman jalan paling awet, kunjungi merupakan air terjun yang terletak di Kabupaten Magelang. Grenjengan Kembar namanya. Yanta sudah pernah kesana sebelumnya, sedangkan buat saya ini adalah kali pertama.

Pukul tujuh pagi, saya sudah memacu motor menuju ke rumah Yanta yang berada di sekitar daerah Kopeng. Jalanan masih tampak lenggang dan udara dingin terasa menusuk kulit selama perjalanan. Setelah menjemput Yanta di rumahnya, kami segera bergerak menuju ke arah Kabupaten Magelang. Paling tidak, jarak tempuh dari rumah Yanta menuju Grenjengan Kembar memakan waktu sekitar 30 menit.

Tanpa terasa kami sudah memasuki wilayah Dusun Citran, dusun dimana air terjun ini bisa ditemukan. Mayoritas penduduk dusun mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian mereka. Selain sayur mayur, bunga mawar adalah salah satu komoditas andalannya. Beberapa kali kami berdua melintasi kebun mawar dengan bunga-bunga yang tengah mekar sepanjang perjalanan menuju dusun itu. Cantik sekali.

Bunga mawar putih di kebun penduduk

Mendekati lokasi air terjun, terdapat sebuah lahan kosong yang dialihfungsikan oleh penduduk sekitar sebagai lahan parkir bagi para pengunjung yang hendak menuju ke air terjun. Namun, tak terlihat seorang penduduk pun yang tengah berjaga pagi itu. Mungkin karena kami yang datang kepagian. Yanta kemudian menyuruh saya memarkirkan motor di halaman salah seorang penduduk. Katanya sebelum ada lahan parkir tadi, halaman inilah yang dulu biasa digunakan para pengunjung untuk memarkirkan kendaraan mereka.

Trekking kami menuju Grenjengan Kembar dimulai dari halaman rumah penduduk tersebut. Dari sana kami berjalan sebentar menembus kebun penduduk. Tak lama, kami kemudian dihadapkan pada percabangan jalan. Jalan pertama menembus bukit yang tampak telah dikepras oleh penduduk dengan sangat rapi, sedangkan jalan kedua berupa deretan anak-anak tangga yang naik ke atas bukit. "Jangan naik ke atas", kata Yanta seolah-olah menjawab raut kebingungan di muka saya. "Kecuali kalau memang mau berziarah ke makam", tambahnya lagi. Waks. Saya langsung diam seribu bahasa dan segera berjalan mengikuti kemana Yanta melangkah.

Lihat anak-anak tangga di sisi kanan? Itulah yang menuju
ke arah makam. Jangan salah ya. :D

Dalam perjalanan melewati bukit inilah saya mendapat semacam petaka. Saking terpesonanya oleh bukit yang dikepras dengan begitu rapi, saya segera mengeluarkan kamera digital kesayangan untuk mengabadikan. Begitu memegang kamera, loh kok tumben terasa ringan? Saya pun segera menekan tombol daya, tapi layar kamera tetap hitam pekat. Memencet berulang-ulang kali, hasilnya tetap sama. Ah! Celaka dua belas! Saya lupa membawa baterai isi ulang kamera! Saya langsung mengutuki kelalaian saya. Pergi ke suatu obyek wisata tanpa membawa kamera, bagi saya sudah terasa bagaikan makan nasi tanpa sayur dan lauk pauknya. Aneh. Hiks.

Saya merasa beruntung pergi dengan Yanta. Selain karena dia selalu membawa kamera SLR kemanapun dia pergi, Yanta yang sebelumnya pernah ke Grenjengan Kembar tentu saja dengan sigap berjalan laksana seorang pemandu. Sepanjang jalan dia juga terus bercerita tentang pengalaman pertamanya ke tempat ini. Dia sedikit terkejut ketika melihat beberapa perubahan yang terjadi, salah satunya adalah tentang jalur menuju air terjun yang kini ada dua: dari atas air terjun atau dari bawah dengan berjalan menyusuri sungai.

Yanta mengajak saya menelusuri jalur atas, jalur yang sama sekali baru bagi dirinya. Jalur atas membawa kami berjalan menembus rimbunnya hutan pinus sejauh mata memandang. Jangan khawatir, ada banyak sekali papan penunjuk arah yang menjelaskan letak Grenjengan Kembar kepada para pengunjung. Jadi, tak usah takut tersesat bagi siapa saja yang baru pertama kali berkunjung kesana.

Salah satu penunjuk arah. 

Kalau memilih jalur atas bakalan ketemu jembatan bambu


Pagi itu tampaknya kami berdua adalah pengunjung pertama dari air terjun ini. Bau tanah basah dan kelembapan hutan pinus terus menemani kami. Sayup-sayup bunyi beberapa serangga kayu juga terdengar dari kejauhan. Semua hal tadi membuat suasana menjadi terasa begitu syahdu sekaligus menenangkan.

Hutan pinus! Menyegarkan!


Dalam perjalanan, kami melewati bangunan permanen berdinding semi-terbuka yang bisa digunakan oleh para pengunjung untuk sekedar beristirahat. Bangunannya tampak masih baru. Sayang, coretan tangan-tangan jahil telah mememenuhi pilar-pilarnya. Coretan-coretan ini juga bisa kami temui di beberapa batu, bahkan papan informasi dan larangan. Gemas sekali rasanya.

Gemes ndak sih? -___-

Setelah berjalan kaki sekitar seperempat jam, kami mulai bisa mendengar suara gemericik air ala air terjun di depan sana. Langkah kaki pun kami percepat, dan dua air terjun semakin lama semakin jelas terlihat. Saya riang sekaligus sedih. Riang karena akhirnya bisa melihat Grenjengan Kembar dengan mata kepala sendiri, sedih karena masih teringat baterai kamera yang tertinggal di rumah. :(

Ketika Yanta sibuk mengabadikan air terjun dari berbagai sudut dengan kamera SLR-nya, saya mencoba melihat ke sekeliling kami. Ada bekas longsoran di beberapa tempat yang membuat saya sedikit khawatir, namun saya segera mengalihkan perhatian ke pesona yang ditawarkan oleh Grenjengan Kembar. Ini adalah kali pertama saya bisa melihat air terjun yang benar-benar pantas mendapat julukan kembar. Air terjun ini mengalir dari muara yang sama, sebelum kemudian alirannya pecah menjadi dua dengan tepat bersebelahan.

Ini hasil jepretan Grenjengan Kembar dengan
kamera smartphone


Yanta tengah asyik dalam
dunianya sendiri

Hah? Tunggu! Satu, dua, tiga. Loh? Kok ada tiga?
Saya menghitung lagi dengan tangan. Eh, kok jadi ada tiga? Padahal, berbagai informasi yang sudah saya baca menyebutkan hanya ada dua air terjun saja. Setengah berteriak, saya segera menanyakan hal ini kepada Yanta yang masih disibukkan dengan kameranya. Kita beruntung, sahutnya. Grenjengan Kembar adalah air terjun musiman. Di saat musim kemarau, debit kedua air terjun bisa dibilang sangat kecil. Sedangkan kalau tengah musim penghujan seperti sekarang, selain disuguhi dua air terjun dengan debit yang lumayan kencang, kami juga disuguhi oleh air terjun tambahan yang mengalir agak jauh dari Grenjengan Kembar. Air terjun tambahan ini berada di sisi kiri Grenjengan, dan terletak pada satu tebing yang sama. Saya manggut-manggut. Benar kan, penampilan air terjun paling menawan justru terjadi di musim hujan!

Foto Grenjengan Kembar yang diambil
Yanta saat musim kemarau

Bandingkan dengan saat kami
mengunjunginya di musim hujan

Air terjun tambahan

Sesekali saya mencoba mengabadikan keindahan air terjun yang berketinggian sekitar 12-15 meter ini melalui smartphone. Meski hasilnya tak begitu memuaskan, tapi sudah bisa sedikit menghibur hati. Berhubung masih sepi, kami berdua segera memanfaatkan waktu untuk berfoto ria di bawah air terjun. Berbagai pose kami keluarkan, mulai dari yang biasa saja hingga pose nan absurd, seperti yoga atau karate. Kalau bukan karena air yang kian lama terasa semakin dingin, kami berdua pasti betah berlama-lama bermain di bawah Grenjengan Kembar.

Yanta dan pose yoga andalan


Percayalah, jika kalian mencari obyek wisata alam yang paling pantas dikunjungi ketika musim penghujan tiba maka air terjunlah jawabannya. Grenjengan Kembar telah memberikan bukti kepada kami pagi itu. Selain debit air yang lebih besar, tanaman-tanaman di sekitar air terjun juga pasti sedang hijau-hijaunya. Perpaduan alam yang menawan, bukan? Hidup air terjun!

How To Get There:
1. Cara menuju ke Grenjengan Kembar sangat mudah. Jalan masuk menuju air terjun ini terletak di sepanjang jalan raya penghubung Kabupaten Magelang dengan Kota Salatiga, tepatnya di Kecamatan Pakis. Ada banyak papan penunjuk arah yang mengarahkan kesana. Paling mudah adalah mengikuti papan penunjuk arah ke Makam Panembahan Ngabehi Noto - seorang tokoh yang begitu dikenal oleh masyarakat sekitar. Anak-anak tangga yang saya jumpai dalam perjalanan menuju air terjun, tentu saja menuju ke makam beliau. :)
2. Belum ada tiket masuk ke air terjun, hanya biaya parkir motor sebesar Rp 2.000,00 dan mobil sekitar Rp 5.000,00

TIPS!
Meskipun air terjun merupakan obyek wisata alam yang sangat cocok dikunjungi ketika musim penghujan, namun kita semua harus tetap waspada. Ada banyak kasus kecelakaan yang terjadi saat mengunjungi air terjun di musim hujan, baik berhubungan dengan hujan deras, tanah longsor atau air bah. Berikut ini adalah beberapa tips ketika mengunjungi air terjun di kala musim hujan:
1. Bawa selalu jas hujan atau mantel, saya menyarankan yang ringan dan bisa dimasukkan ke dalam tas sehingga anda bisa membawanya kemana saja. Payung tidak begitu saya sarankan karena tidak begitu berguna ketika hujan deras melanda.
2. Kenali tanda-tanda dari bencana alam. Dalam kasus air bah atau banjir, biasanya saya selalu waspada kepada tiga hal ini: awan mendung di area atas air terjun, air yang semula jernih mendadak berubah keruh, dan kepala air (Bahasa Malaysia-saya belum menemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia). Singkatnya, kepala air adalah gelombang air kejutan yang mendadak muncul dari muara atau air terjun menuju ke sungai yang dilewati. Kalau sudah melihat kepala air di kejauhan, kita harus segera lari karena apa yang mengikutinya adalah aliran air super deras dengan kekuatan penghanyut yang menakutkan. Seram! Dalam kasus tanah longsor, apa yang saya perhatikan adalah: awan mendung, guguran tanah, dan kondisi tanah serta pepohonan di sekitar. Tanah longsor biasanya terjadi secara berkelanjutan, kita bisa melihat bekas tanah longsor pertama dengan mudah dari jejaknya. Hal ini biasanya terjadi di tanah yang basah sehabis hujan lebat, dengan vegetasi pepohonan yang minim. Tetap waspada ya!
3. Tanyakan kondisi air terjun yang akan kita kunjungi kepada petugas tiket atau penduduk setempat. Mereka jelas lebih tahu kondisi aman atau tidaknya suatu obyek wisata alam untuk dikunjungi pada suatu waktu. Perhatikan juga papan larangan yang ada di obyek wisata alam manapun, makanya saya gemas sekali sama orang yang mencoret-coret papan larangan di Grenjengan Kembar. Hih! :(

Terima kasih sudah mengikuti
perjalanan kami dan tetap waspada!


P.S.
Tulisan ini saya ikut sertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah Periode I. Serius, sejujurnya Provinsi Jawa Tengah itu tidak kalah dengan provinsi-provinsi lain soal obyek wisata. Semua foto yang saya ambil (ber-watermark) diambil dengan smartphone Sony Ericsson Live With Walkman, jadi maaf kalau kurang sempurna. Sedang, foto tanpa watermark diambil oleh teman saya-Yanta. Terima kasih sudah menemani jalan-jalan dalam kepulanganmu sejenak dari tanah rantau, kawan!


Salam Kupu-Kupu ^^d

6 comments: