Pages

Monday, February 2, 2015

Suatu Pagi Dari Bukit Cinta



Saya sudah pernah menuliskan pengalaman menikmati keindahan Rawa Pening dari Sumurup - sebuah desa kecil yang berada persis di pinggir rawa sebelumnya. Kali ini, saya akan mengajak anda untuk menikmati keindahan danau seluas 2.670 hektar itu dari tempat yang paling terkenal bagi banyak orang - baik itu pemancing, fotografer maupun pengunjung biasa. Tebakan anda tepat. Mana lagi kalau bukan dari Bukit Cinta?

Berawal dari sms di suatu pagi dari seorang teman, Vandi, yang menanyakan apakah saya tengah berada di rumah. Hah? Tentu saja. Saya tengah berada di atas kasur paling nikmat seantero dunia - kasur kamar yang selalu terlihat bagaikan kapal pecah setiap saya tertidur di atasnya. Setelah saya membalas pesan singkat tadi, pesan lain masuk darinya. Intinya, dia mengajak saya untuk berburu foto sekarang juga. Saya langsung mengucek-ngucek mata. Ini tidak salah? Jam masih menunjukkan setengah enam pagi saat itu.

Vandi memang saya kenal memiliki kegemaran dengan dunia fotografi. Beberapa kali dia memenangkan perlombaan fotografi karena keahlian dan kegemarannya memotret. Namun, kalau ada yang bertanya pada saya - pernahkah ada yang sebelumnya mengajak saya photo hunting sepagi itu dengan kondisi nyawa masih berkumpul separuh dan belum mandi? Err, sepertinya dialah yang pertama.

Awalnya, kami masih bingung mau berburu foto dimana. Apalagi, pagi itu semburat mendung sudah menghiasi langit. Saya mengusulkan mengunjungi Jalan Baru (JB) - jalan dimana setiap minggu pagi selalu ramai dengan pasar tumpahnya, namun Vandi tampak bergeming. "Bagaimana kalau ke Bukit Cinta?", tanyanya. Saya yang bingung, akhirnya tak bisa berbuat banyak selain menganggukkan kepala tanda setuju.

Astaga, sepanjang jalan dari rumah saya menuju ke Bukit Cinta pagi itu terasa dingin sekali. Beberapa kali saya berteriak karena menahan hawa dingin yang sukses menembus jaket tipis saya. Untunglah jalanan masih sangat sepi sehingga tak perlu waktu lama, kami berdua sudah tiba di Bukit Cinta.

Gerbang selamat datang

Serupa dengan kondisi jalanan menuju kemari, Bukit Cinta juga masih sepi sepagi itu. Loket tiket masuk saja belum dibuka oleh petugas. Kami memutuskan segera memarkirkan motor dan melenggang masuk ke area dalam. Saya berjalan pelan-pelan sembari mengingat kenangan mengunjungi tempat ini ketika saya kecil dulu. Tak banyak yang berubah tampaknya.

Belum mandi? Biarin. :p

Dengan insting fotografernya, Vandi segera berjalan menuju ke arah dermaga. Dari sana, pemandangan Rawa Pening memang lebih jelas terlihat mata. Selain kami, ternyata sudah ada empat orang remaja yang tengah sibuk berfoto ria di dermaga tadi. Melihat kedatangan kami, mereka segera berberes dan mencari tempat lain untuk foto-foto. Hmm, sepertinya mereka terintimidasi dengan keseriusan Vandi dalam membidikkan kameranya ke arah rawa.

Dermaga

Vandi in his photographer mode.
Who won't get intimidate
by his seriousness?

But, even photograper is once a human.
He has his craziness too. :p *kabur*

Tarif perahu motor. A little bit expensive,
though.

Kabut tipis masih menyelimuti permukaan rawa, membawa suasana damai sekaligus misterius di sekelilingnya. Sesekali, para pemancing atau nelayan lewat dengan perahu mereka dan bergerak menuju ke arah tengah rawa. Ah, inilah yang paling saya suka saat berkunjung ke rawa, danau ataupun laut. Melihat para nelayan beraksi secara langsung, tak pernah membuat saya kecewa. Mereka terlihat sempurna sekaligus berdedikasi sekali di atas perahu.

Rawa Pening

A fisherman in his duty

Another fisherman passing by. So tell me again,
he looks so cool, right?

Eceng gondok yang kesepian

"Bul, berkebalikan dengan namanya. Ada mitos yang mengatakan kalau orang yang berpasangan datang kemari justru berakhir dengan perpisahan loh.", perkataan Vandi tiba-tiba mengagetkan saya. Saya kembali bingung mau menjawab apa. Err, bukannya saya tidak percaya dengan mitos, tapi pada dasarnya saya adalah tipe orang yang selalu mencoba berpikiran positif dan rasional. Kalau memang takdir sudah menggariskan untuk berpisah, ya bukan salah tempat ini, toh? Akhirnya saya hanya bisa tertawa ringan untuk menanggapi pernyataan teman saya itu.

Puas mengambil foto di area dermaga, kami memutuskan berkeliling. Tanpa terasa, perlahan kabut telah menghilang dan membuat deretan gunung yang berada di sekeliling Rawa Pening samar-samar mulai kelihatan. Berbeda dengan Desa Sumurup dimana Gunung Telomoyo dan Merbabu bisa jelas terlihat, dari Bukit Cinta gunung yang terlihat jelas adalah Gunung Ungaran dan entah gunung apa yang berdiri di kejauhan. Tidak ada yang lebih memanjakan mata selain melihat air dan gunung bersatu dalam satu frame,

Gunung Ungaran dari Bukit Cinta

Manakala Vandi tengah sibuk dengan dunianya, saya berjalan mengelilingi Bukit Cinta. Saya menemukan tiga perempuan kecil yang tengah asyik bermain dan bercakap-cakap di taman bermain anak. Mereka sepertinya adalah anak-anak dari kampung di sekitar Bukit Cinta. Saat melihat mereka, saya jadi teringat kenangan bersama tetangga. Dulu ketika masih seumuran mereka, setiap Minggu pagi kami juga sering bermain di taman kanak-kanak dekat rumah. Ah. Saya jadi merindukan mereka.

I bet, they are really happy.


Bulat-bulat 

Ada bangunan yang sedang dibangun tepat di tengah-tengah bukit. Saya kurang tahu hendak diperuntukkan sebagai apa bangunan itu nanti. Di sekeliling bangunan, terdapat berbagai macam lapak yang mendagangkan cinderamata dan makanan ringan. Saya agak kurang sreg, menurut saya justru membuat Bukit Cinta jadi terlihat kumuh. Beberapa kursi juga disediakan pengelola di pinggir-pinggirnya, kursi yang sering diisi pasangan muda-mudi ketika hari sudah mulai siang.

Bangunan yang belum jadi

Another lonely-chair level

Dalam perjalanan keluar, ternyata loket tiket masuk sudah dibuka. Seorang petugas pun meminta kami untuk membayar tiket masuk. Oleh karena hari itu adalah Hari Minggu, kami dikenakan biaya sebesar Rp 7.500,00 per orang dan Rp 2.000,00 per motor. Saya agak kaget ketika mengetahui harga tersebut. Buat saya pribadi, harga segitu bisa dikatakan relatif mahal untuk obyek wisata yang sesederhana ini. Belum lagi, kebersihan tempat ini tidak begitu terjaga sehingga memberikan kesan kumuh dan tak terawat. Pantas saja tadi empat orang remaja yang masuk sebelum kami entah kenapa mendadak segera kabur dari tempat. Menghindar dari membayar tiket rupanya.

Loket tiket masuk. Ndak mau bayar?
Entar dicaplok loh. :p

Ah ya sudahlah, sekalian membantu perekonomian daerah - pikir kami berdua. Lagipula, saya dan Vandi sama-sama sudah mendapatkan foto Rawa Pening yang begitu indah dilihat pagi itu. Hmm, impaslah~


Salam Kupu-Kupu ^^d

P.S.
All photos without watermark were captured by Vandi.

3 comments:

  1. Waaaah skrng ush bagus mn rawany kyk cermin gtuuuu mauuuuuuk nggaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pulanglah lagi, kak.
      Nanti kita kesana. Menurutku pas musim ujan gini yang paling oke.
      Gak begitu banyak eceng gondok di permukaan air rawa, meyk.

      Delete
  2. Waaaah skrng ush bagus mn rawany kyk cermin gtuuuu mauuuuuuk nggaaaa

    ReplyDelete