Pages

Wednesday, April 22, 2015

Masjid Agung Demak: Bertandang Kembali Ke Masjid Tertua Di Pulau Jawa



Masjid Agung Demak merupakan salah satu tempat yang buat saya pribadi terisi penuh oleh berbagai macam kenangan. Dari jaman saya masih kecil dimana keluarga kami sering mampir sejenak kesana dalam perjalanan mudik ke rumah nenek, hingga ketika saya kuliah dimana masjid tersebut menjadi latar tempat nongkrong saya dan teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) setiap malam menjelang. Ah, saya jadi merindukan momen-momen tersebut.

Kini, saya kembali sering berjumpa dengan Masjid Agung Demak. Semenjak beralih profesi menjadi sopir pengantar kerja papa saya ke Kabupaten Demak, saya terkadang menyempatkan waktu yang tersedia untuk bertandang ke masjid tertua di Pulau Jawa ini.

Seperti hari Minggu kemarin, daripada bosan menunggu papa bekerja selama hampir 4 jam-an maka saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian di sekitaran sana. Setelah berputar-putar tak tentu arah, akhirnya mobil pun saya arahkan menuju ke arah Alun-Alun Kabupaten Demak.

Tepat di depan alun-alun itulah masjid agung tampak megah berdiri. Sebelum masuk ke area masjid, saya memilih berkeliling di alun-alun terlebih dahulu. Sudah banyak yang berubah semenjak kedatangan terakhir saya di jaman Kuliah Kerja Nyata pada tahun 2012 lalu. Alun-alun itu kini tampak bersih, dengan lantai marmer yang terlihat baru. Segerombolan anak muda dan beberapa pasang keluarga terlihat tengah bersantai di bawah pohon beringin yang ada disana.

Alun-Alun Kabupaten Demak
Perubahan juga terlihat dari area sekitar masjid itu sendiri. Jalanan menuju hingga ke depan masjid kini telah di-paving block dengan sebegitu rapinya. Area parkir mobil juga tidak sesemrawut dulu. Di sebelah kiri depan masjid bahkan kini terdapat bangunan baru dengan tulisan "Museum Masjid Agung Demak" terpatri di dindingnya.

Masjid agung dari pintu masuk utama


Bangunan museum
Saya pun mampir sebentar ke museum, penasaran dengan apa isi di dalamnya. Meskipun suasana masjid tengah ramai, namun museum itu terlihat sepi. Hanya ada empat orang pengunjung yang berada di dalam ketika saya masuk. Museumnya sendiri tidak begitu luas, hanya terdiri dari dua ruangan dengan luas yang berbeda. Ukuran koleksi museum yang kebanyakan besar-besar, membuat dua ruangan tersebut terlihat penuh.

Sebagaimana namanya, Museum Masjid Agung Demak menampilkan beberapa koleksi yang berkaitan dengan masjid termasuk kepada pendiri utamanya yakni Sunan Kalijaga di era kepemimpinan Raden Patah. Berbagai macam Al-Quran kuno -salah satunya kitab yang disalin dengan tangan oleh Sunan Kalijaga sendiri- menempati sebuah kotak kaca di sisi tengah depan ruangan. Beberapa benda peninggalan lain seperti bejana sumbangan dari Putri Campa, bedug, lampu gantung  juga tersimpan di sudut ruangan dan dibatasi oleh sekat kaca.

Saya cuma bisa kagum. Al Quran? Dan ditulis
dengan tangan? :o

Bejana dari Putri Campa, bedug, dan beberapa koleksi lain

Koleksi paling keren menurut saya adalah empat pilar kayu (saka) masjid asli yang telah rusak dan termakan usia. Keempat saka ini dibuat oleh empat orang wali, yakni Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Sunan Gunungjati. Selanjutnya, pintu utama asli masjid yaitu  pintu bledeg juga menarik perhatian. Pintu yang terbuat dari pohon jati buatan Ki Ageng Selo ini begitu unik, penuh dengan ukiran dimana ukiran paling mencolok adalah dua kepala naga yang tengah menganga. Konon, dua kepala naga itu adalah bukti Ki Ageng Selo pernah menangkap petir dengan kedua tangan kosongnya.

Kok cuma tiga? Iya, yang satu ukurannya
tinggal kecil sekali.

Pintu Bledeg. Can you spot the dragon's
head?

Setelah khatam melihat isi dalam museum, saya keluar lagi. Masjid Agung Demak sangat cantik dipandang hari itu. Birunya langit berhiaskan gumpalan-gumpalan kecil awan putih, menjadi latar sempurna untuk masjid yang katanya dulu sering dijadikan markas berkumpul para Walisanga ini.

Dari luar, Masjid Agung Demak memang unik. Berbeda dengan bentuk kubah masjid di Indonesia yang kebanyakan berbentuk setengah bola, kubah masjid itu justru berbentuk limas dengan tiga tingkatannya. Ketiga tingkatan ini menggambarkan filosofi kepercayaan yang tersebar di Kerajaan Demak jaman dahulu yakni Iman, Islam dan Ihsan. Tiga tingkatan limas itulah yang ditahan langsung oleh empat saka buatan para wali.

Masjid agung dari samping kiri

Di bagian kanan depan masjid berdiri menara setinggi sekitar 8 meter. Usia menara ini sepertinya tidak selama bangunan utama masjid, namun semakin mempercantik keindahan masjid agung. Tepat di dekat museum terdapat pula kolam wudlu yang dipakai Sunan Kalijaga dan murid-muridnya untuk membersihkan diri sebelum memasuki masjid.

Menara masjid

Kolam wudlu

Kolam wudlu itu tak bisa digunakan lagi oleh para pengunjung. Sebagai gantinya, ada bangunan baru yang dibangun pemerintah sebagai tempat untuk melakukan wudlu. Sayangnya, seusai berwudlu saya agak terganggu dengan keberadaan petugas masjid yang berjaga di area wudlu. Penjaga masjid ini terus menerus berteriak "mas, amal mas, atau pak, amal pak" kepada setiap pengunjung laki-laki yang kelar membersihkan diri. Risih aja rasanya. Buat saya, sedekah ataupun amal itu tergantung keikhlasan pemberi. Mau dia memberi, atau tidak. Mau memberi banyak atau sedikit, ya itu urusan masing-masing. Tak perlulah berteriak-teriak. Saru!

Selepas melakukan sholat dhuha, saya tetap berdiam sejenak di dalam masjid. Bukan apa-apa, hanya sekedar menikmati arsitektur dalam masjid yang mulai dibangun pada 1466 Masehi ini. Masjid Agung Demak memang telah mengalami beberapa kali renovasi, namun bentuk dan komposisi bangunannya tetap diupayakan seperti aslinya dahulu. Beberapa bagian masjid mayoritas terbuat dari kayu.

Bagian dalam Masjid Agung Demak terlihat sangat sederhana. Ada mimbar kayu kecil tepat di ujung depan tengah ruangan seluas 31 meter x 31 meter itu. Jendelanya masih menggunakan teralis kayu yang rapat-rapat seperti bangunan-bangunan joglo kuno pada umumnya. Ada gambar maupun kaligrafi di atap dalam masjid, salah satunya adalah gambar piramida dengan aksara Allah berada di puncak tingkat piramida. Sayang, ada tulisan dilarang mengambil gambar sehingga saya tak bisa menunjukkan bukti foto nuansa dalam masjid. Kalau tidak dibatasi waktu, mungkin saya akan sedikit berlama-lama di dalam masjid yang begitu terasa menenangkan ini.

Pecel Kembang Turi - Makanan Legendaris Di Seputar Masjid Agung Demak
Di luar area masjid agung, terdapat penjual makanan yang begitu tenar bagi kalangan peziarah maupun pengunjung. Rasanya ada yang kurang kalau berkunjung ke Masjid Agung Demak, namun tidak mencicipi pecel kembang turi-nya.

Penjaja pecel kembang turi ini biasanya hanya ada satu sampai dua orang, dan mendagangkan makanan mereka di sisi kiri luar masjid. Saya beruntung. Saat kemarin mampir ke masjid, eh masih menemukan salah satu penjualnya. Saya pun kembali bernostalgia. Dulu, pecel tersebut menjadi jajanan favorit keluarga kami kalau tengah mampir ke masjid agung.

Si ibu penjual pecel kembang turi
Saya memesan satu porsi kepada ibu penjual yang begitu ramah. Dengan cekatan, tangannya segera memotong-motong lontong, menakar sayuran rebus, memotong bakwan, dan menaburi dengan saus kacang. Tak lama seporsi pecel kembang turi pun sudah beralih ke tangan saya. Wah, kini pecel itu disajikan di atas kertas minyak. Seingat saya, dulu sih masih menggunakan daun pisang.

Saya pun segera melahap pecel buatan si Ibu. Astaga, rasanya masih sama seperti dahulu. Pecel kembang turi ini memakai saus kacang yang berbeda dengan patokan makanan Jawa Tengah pada umumnya. Bukan rasa manis yang dominan di saus kacangnya, tapi rasa asin dan pedas. Err, seperti rasa pecel di Madiun, Jawa Timur sana. 

Yummy!
Berbagai macam pelengkap juga disediakan oleh ibu penjual bagi pelanggan yang berminat. Pelengkap ini mulai dari tempe atau tahu goreng, biji metir, kerupuk, gorengan, dan lain sebagainya. Saya kemarin memilih memakai setusuk sate keong yang juga ditaburi saus kacang di atasnya. 

Rasa kembang turi? Bagaimana yah, saya bukan perasa yang handal. Buat saya, kembang turi itu kalau dimakan ya semacam sayuran rebus biasa. Terasa lebih sedikit crunchy dan kesat saja. Tapi percayalah, pecel kembang turi itu nikmat banget. Apalagi kalau ditemani segelas teh panas. Duh! 

Harga satu porsi makanan legendaris ini juga bisa dikatakan murah. Kemarin saya membayar sebesar Rp 8.000,00 untuk satu porsi pecel kembang turi, satu tusuk sate keong, dan segelas teh tawar panas. Murah, bukan? You should try it!

Terima kasih sudah mampir dan mengikuti perjalanan saya.
Ini diambil di ruangan lain museum. Ruangan yang isinya
tentang sejarah Walisanga dan Adipati di Demak.


Salam Kupu-Kupu ^^d

No comments:

Post a Comment