Pages

Monday, April 13, 2015

Rembang: Permata Tersembunyi Di Pesisir Jawa Tengah



Tanpa bermaksud sombong, dari 35 Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, saya nyaris sudah pernah mengunjungi seluruhnya kecuali: Kabupaten Rembang dan Kabupaten Purworejo. Berkat bantuan dari mama, baru-baru ini saya akhirnya berhasil mencoret salah satu dari dua kabupaten tersisa tadi. Kabupaten Rembang-lah yang kini tercoret. Semua karena mengantarkan mama saya pergi dinas kesana. Jadi ketika mama pergi bekerja, saya memakai waktu untuk berjalan-jalan. 

Kabupaten Rembang merupakan kabupaten yang terletak jauh di ujung timur laut dari Provinsi Jawa Tengah. Sebagian besar daerahnya merupakan daerah pesisir dan berbatasan langsung dengan laut. Dari Kota Salatiga, perjalanan menuju Rembang kami tempuh memakai mobil selama kurang lebih tiga setengah jam. Kabupaten Rembang dilintasi oleh Jalur Pantura sehingga mayoritas kendaraan yang hilir mudik disana adalah kendaraan-kendaraan besar, seperti truk atau bus. Namun jangan khawatir, kondisi jalan rayanya lebar dan mulus.

Saya dan Mama berada di Rembang selama dua hari satu malam. Sebagaimana yang sudah saya sebutkan di atas, saya menyempatkan diri mengunjungi beberapa tempat wisata baik pergi sendiri maupun ditemani mama. Tak banyak tempat yang bisa kami sambangi karena terbatasnya waktu dan jadwal kegiatan mama begitu padat. Inilah ketiga tempat yang berhasil saya kunjungi selama berada di kabupaten yang menjadi tempat peristirahatan terakhir sang pahlawan emansipasi wanita - R.A. Kartini.

Menyaksikan Jejak Tertinggal Sang Emansipator Di Museum R.A. Kartini
Saya harus berjalan kaki selama sepuluh menit dari hotel tempat kami menginap untuk bisa menyambangi museum tersebut. Teriknya sinar matahari dan semerbak aroma amis yang menguar di udara Rembang sudah tak saya pedulikan lagi. Yah, daripada mati kutu di dalam hotel.

Sebuah gerbang besar dengan tulisan "Museum R.A. Kartini" menyambut saya di depan jalan masuk menuju ke museum. Tak ada seorang petugas pun yang berjaga sehingga membuat saya sedikit kebingungan. Untunglah kemudian saya berjumpa dengan seorang bapak- dari seragamnya sih seperti PNS, dan langsung dipersilahkan masuk mendekat ke museum.



Di dekat museum, saya kembali kebingungan. Saya tak melihat pintu masuk sama sekali di bangunan besar berbentuk joglo ini. Saya mencoba berkeliling dan menemukan seorang petugas yang sedang bersih-bersih disana. Setelah mengutarakan maksud kedatangan saya, petugas itu segera membukakan pintu masuk menuju museum yang memiliki nama lengkap Museum Kamar Pengabdian R.A. Kartini tersebut.

Siang itu, saya adalah satu-satunya pengunjung museum. Bapak petugas sempat kaget ketika saya beritahu kalau saya cuma sendirian, dan meminta maaf karena telah menutup pintu museum tadi. Menurutnya, hari itu sebenarnya dia sedang agak tidak enak badan. Namun setelah melihat saya datang berkunjung, dia tidak segan untuk membukakan pintu kembali dan menjadi private guide bagi saya. Saya merasa terharu.

Museum R.A. Kartini menempati bangunan yang dulu digunakan sebagai tempat tinggal oleh beliau bersama suami dan anaknya. Museum ini terbagi ke dalam beberapa ruangan, masing-masing menyimpan kelompok koleksi tertentu.

Ruangan yang menyimpan foto keluarga Kartini

Ruangan belakang sekaligus dapur

Berbagai koleksi yang bisa saya lihat selama berada disana kebanyakan adalah barang-barang pribadi putri dari Sosroningrat, adipati Jepara pada masa kolonial ini. Berbagai koleksi itu di antaranya ranjang, pakaian nikah, meja bayi, meja makan, mainan, perabotan hingga barang pecah belah yang kondisinya masih baik. Silsilah keluarga dari R.A. Kartini termasuk di dalamnya ruangan bagi putra satu-satunya Kartini yakni RM Soesalit, juga terdapat disana. Ingat kan kalau R.A. Kartini kemudian meninggal empat hari setelah melahirkan Soesalit?

Ranjang Ibu Kartini

Meja tamu

Ruang kerja R.A. Kartini, di meja itulah kebanyakan
surat-suratnya ditulis

R.M. Soesalit, putra satu-satunya Ibu Kartini

Ruangan favorit saya di antara semua ruangan adalah ruangan yang menampilkan petikan-petikan surat dari R.A. Kartini yang dikirimkan kepada pemandu spiritual sekaligus sahabat karibnya, Rosa Abendanon. Tulisan-tulisan itu begitu lugas, sederhana namun menimbulkan kesan hidup dan menggetarkan hati. Kebanyakan tulisan R.A. Kartini berisikan cerita tentang kondisi dirinya, kondisi perempuan-perempuan Jawa selama jaman kolonial, perjuangan maupun  cerita tentang keluarga.

Salah satu tulisan Ibu Kartini. Cahaya itu
ada di kami!

Beberapa replika surat yang dikirim Ibu Kartini ke Abendanon

Cetakan pertama
buku Habis Gelap Terbitlah Terang

Saya tak bisa berlama-lama berada di dalam museum, kasihan bapak petugas yang sudah menemani dan menunggui saya sedari tadi. Setelah membayar uang kontribusi sebesar Rp 2.000,00 dan mengucapkan rasa terima kasih, saya pun pergi meninggalkan museum tersebut.

Pantai Dampo Awang: Jangkar Sang Pelaut dan Semerbak Bau Amis
Sore sekitar jam lima, saya ditemani mama memutuskan pergi menikmati suasana matahari tenggelam di Pantai Dampo Awang. Pantai itu berada tepat di depan hotel yang kami inapi. Dua orang petugas yang berjaga di loket tiket memberitahu kepada kami kalau pantai akan ditutup jam enam sore. Ah, tak masalah. Kami cuma sebentar kok. Tiket sebesar Rp 5.000,00 per orang pun kami serahkan kepada mereka.

Baru beberapa langkah masuk melewati loket masuk. Blah! Bau amis langsung menyergap hidung saya dan mama. Entah darimana datangnya bau amis ini, dari air laut ataukah dari tempat pelelangan ikan yang terlihat ada di ujung kiri pantai.

Sekilas, pantai ini terlihat penuh. Penuh oleh aneka macam permainan anak, kios pedagang maupun kolam-kolam air yang berada di halaman dalam pantai. Pantainya tak berpasir, err, maksud saya tak memiliki pasir yang menjorok ke laut seperti pantai-pantai pada umumnya. Sebagai gantinya, terdapat tiga dermaga dengan gardu pandang disana.

Bebek-bebekan

Pohon cantik di halaman pantai

Dermaga-dermaga

Bagi masyarakat Kabupaten Rembang sendiri, Pantai Dampo Awang lebih dikenal dengan sebutan Pantai Kartini. Namun agar tidak tertukar dengan Pantai Kartini yang jauh lebih termasyhur di Jepara sana, pemerintah daerah sepakat mengganti nama dengan sebutan Dampo Awang. Penamaan itu bukan asal-asalan, melainkan karena di pantai ini merupakan tempat penemuan jangkar kapal besar yang dipercaya merupakan jangkar kapal sang pelaut ketika tengah berseteru dengan Sunan Bonang. Jangkar sepanjang 4,22 meter tersebut sekarang ditempatkan pada bangunan semi terbuka di tengah halaman pantai dan kondisinya masih terawat.

Jangkar sang pelaut. Di bawahnya ada kolam berisikan
ikan-ikan lele sepanjang setengah lengan saya. Hiiy!

Sunset di pantai ini tidak terlalu bagus karena matahari ternyata tenggelam bukan di area sekitar pantai. Namun, semburat-semburat senja serta pemandangan beberapa kapal yang tengah bersandar bisa menghibur hati kami. Ah, andai bau amis tidak begitu terasa pasti dengan senang hati saya betah berlama-lama disana.

Senja di Pantai Dampo Awang 1

Senja di Pantai Dampo Awang 2

Senja di Pantai Dampo Awang 3

Pondok Pesantren Kauman Lasem - Salah Satu Peninggalan Etnis Tiongkok di Tanah Rembang
Kunjungan saya dan mama ke Pondok Pesantren ini terjadi secara tak terduga. Berawal dari hari kedua tugas dinas mama yang mengharuskannya untuk melakukan monitoring ke Lasem. Lasem ini sudah menjadi incaran saya sejak lama karena penasaran dengan banyaknya peninggalan-peninggalan orang Tiongkok yang ada disana. Konon, orang Tiongkok pertama kali mendarat sebelum kemudian menyebar ke seluruh Pulau Jawa adalah di Lasem. Lasem pun dijuluki sebagai Tiongkok Kecil-nya Pulau Jawa.

Saat mama saya melakukan monitoring, ternyata salah satu penyambutnya merupakan pengurus dari Pondok Pesantren Kauman Lasem. Bapak itu menawarkan kami berdua untuk mampir sejenak ke pondoknya sebelum meneruskan perjalanan pulang ke Salatiga. Mobil pun saya pacu mengikuti arahan bapak pengurus menuju ke Desa Kauman Karangturi - pusat tempat tinggal etnis Tionghoa di Lasem.

Kami dibawa melewati gang-gang kecil yang langsung membuat saya jatuh cinta. Gang-gang itu dipenuhi oleh bangunan-bangunan tua dengan arsitektur khas negeri tirai bambu. Saya bagaikan tengah menjelajahi waktu saat melewati gang-gang tersebut.

Salah satu gang di Desa Kauman

Seorang pesepeda melintas di salah satu gang

Tak berapa lama, sampailah kami di Pondok Pesantren Kauman. Sebuah poskamling dengan bangunan berbentuk seperti kelenteng kecil menyambut kami di jalan masuk menuju ke pondok. Sepintas, pondok pesantren ini sebenarnya terlihat biasa saja, bahkan bisa dikatakan sederhana. Namun, beberapa bangunan seperti bangunan poskamling dan rumah Kyai merupakan bangunan asli peninggalan etnis Tionghoa.

Bangunan Poskamling

Sentuhan rasa Tionghoa ini paling terasa di rumah sang Kyai, Pintu utamanya dihiasi oleh hanzi. Beberapa ornamen seperti lampion, bejana hingga kain batik yang berhias aksara Tiongkok juga terdapat di rumah itu. Sayangnya, kami tak bisa bertemu langsung dengan KH. Muhammad Zaim karena beliau sedang ada tamu. Namun, kami bisa mengobrol dengan pengurus dan santri di ruang tamunya yang dipenuhi oleh makanan kecil dan minuman.


Ada yang bisa bacanya? Saya mah apa. -_-

Pintunya bisa dibuat narsis :p

Bejana-bejana

Jendela


Kain batik


Menurut bapak pengurus yang mendampingi kami, rumah kyai merupakan rumah asli peninggalan orang Tiongkok. Rumah itu sengaja tidak diubah agar tetap bisa menjadi ciri khas dari daerah Kauman Karangturi. Kabarnya, saat ini mayoritas penduduk di Kauman adalah etnis Tionghoa - hampir sekitar 95 persennya, namun mereka sangat hangat menerima keberadaan pondok pesantren yang dirintis pada tahun 2003 tersebut. Para santri tak segan membantu masyarakat sekitar ketika sedang ada kesusahan, begitu pula masyarakat sekitar sering mengundang pengurus maupun santri pondok ketika sedang ada hajat. Duh, indah sekali toleransi disana.

Kunjungan ke Pondok Pesantren Kauman Lasem sekaligus menjadi penutup perjalanan saya di Kabupaten Rembang. Secara keseluruhan, saya suka sekali dengan kabupaten penghasil garam itu. Menurut saya, Rembang menduduki peringkat kedua setelah kampung halaman - Salatiga - sebagai daerah paling asyik dan nyaman untuk dijelajahi se-antero Provinsi Jawa Tengah.

Dalam kunjungan singkat saya dan mama, saya bertemu banyak sekali orang baik di Rembang. Saya sering sekali dibantu maupun diajak ngobrol oleh orang-orang asing yang saya jumpai ketika berkeliling disana. Entah itu petugas tempat wisata, tukang becak, pedagang hingga masyarakat biasa hampir semuanya ramah-ramah. Saya pasti akan kembali lagi! Banyak tempat wisata dan destinasi kuliner yang belum saya datangi.

Meet: Malka dan Baby Zaff. Malka ini sahabat saya jaman
SMA yang kini telah resmi menjadi penduduk Rembang.
Terima kasih sudah menyempatkan
 ketemu Mal, Mas Zidni, dan Zaff!

Rembang benar-benar kaya tempat wisata. Meskipun demikian, belum banyak orang yang menjadikan kabupaten tersebut sebagai destinasi pariwisata. Potensial dan minim pengunjung. Rasanya, tak salah kan kalau saya menyebut Rembang sebagai permata tersembunyi di Pesisir Jawa Tengah?

Sampai jumpa di postingan selanjutnya! Oh, inilah mama saya,
orang yang membuat keinginan saya  kemarin menjadi nyata. :)


Salam Kupu-Kupu ^^d

2 comments:

  1. wah jadi gak sabar pengen ke rembang, sekalian main ke rumah temen yg kerja disana

    ReplyDelete
    Replies
    1. percayalah mas, kau tak akan menyesal. safe trip! :3

      Delete