Pages

Sunday, May 17, 2015

Wit Nganten: Antara Cinta Dan Kesepian


"Unless we love and are loved, each of us is alone, each of us is deeply lonely"
-Mortimer Adler-

Alkisah di suatu kota kecil bernama Salatiga, terdapat sebuah pohon yang dijadikan simbol akan cinta. Warga kami biasa menjulukinya dengan sebutan Wit Nganten. Julukan itu disematkan bukannya tanpa alasan. Dahulu, banyak sekali orang yang tersihir akan kecantikan pohon ini dan menjadikannya sebagai latar foto pra-pernikahan mereka. Menciptakan kenangan manis di bawah naungan sang pohon pengantin.

Berpuluh-puluh tahun kemudian, saya justru baru pertama kali melihat dengan mata kepala sendiri pohon yang begitu melegenda tadi. Ini saja berkat kawan lama saya, Aik, yang memutuskan berkunjung ke Salatiga demi menghilangkan kepenatan mengerjakan tugas akhir. Saya pun mengajak dia berkeliling, salah satunya adalah dengan mengunjungi Wit Nganten.

Awalnya saya sempat takut bakalan tersesat saat mencari pohon itu. Demi Tuhan, orang Salatiga asli dan tersesat di kota sendiri, masih ditambah ketahuan sama sahabat, bukankah akan menjadi hal yang sangat memalukan? Untungnya, Wit Nganten mudah sekali ditemukan. Jaraknya juga dekat dengan rumah. Saya hanya harus mengendarai motor menuju SMP Al Azhar, melewati sawah yang ada di sebelahnya, dan voila...pohon pengantin telah ditemukan.

Siang itu, selain kami berdua yang mengunjunginya, empat remaja laki-laki telah tiba disana jauh lebih dulu. Kami pun bergantian dengan mereka agar bisa menikmati dan berfoto bersama pohon pengantin dari dekat. Sembari menunggu, Saya dan Ai memutuskan berjalan ke tengah-tengah sawah.

Keempat remaja laki-laki yang datang lebih dulu dari kami


Sebenarnya agak kasihan sama Aik.
Sudah dandan cantik-cantik,
 eh diajak main ke sawah.

Kami datang ketika para petani telah selesai panen, membuat sawah yang semula lebat berubah menjadi daratan becek yang mulai kosong. Sejumlah patahan tanaman padi sisa panen masih terserak di beberapa tempat.

Sesekali terdengar teriakan wanita petani mengusir gerombolan burung pipit yang mencari makan di lahan sawah belum dipanen. Wanita itu berteriak sambil menarik tali yang dikaitkan dengan kaleng-kaleng, membuat para burung pipit semakin takut untuk mencuri bulir padi.

SMP Al Azhar dan sawah yang belum dipanen

"Uh...Aik, melihat Wit Nganten secara langsung kok aku malah merasa kasihan. ya? Dia terlihat kesepian sekali", ketus saya ketika melihat pohon di depan kami.

"Iya ngga, aku juga merasakan hal yang sama kok", Aik menjawab perkataan saya sambil menganggukan kepalanya.

Do you feel the loneliness? 
Kami berdua sepakat, berkebalikan dengan statusnya yang sering dijadikan simbol cinta - Wit Nganten justru terlihat begitu kesepian. Berdiri sendirian, di tengah sawah yang begitu luas. Pohon semarga dengan Pohon Trembesi ini terlihat berbeda sekali dibandingkan tanaman padi di sekitarnya. Mereka selalu bergerombol, bahkan saat panen pun akan diambil bersama-sama. Tak ada yang akan ditinggalkan sendirian.

Setelah keempat remaja laki-laki pergi menyingkir, kami segera berjalan mendekat ke arah pohon. Batangnya yang meliuk-liuk kami panjat, meski tak bisa jauh karena batang itu terasa licin. Kaki saya sempat bergetar, apalagi otak saya semacam enggan berdamai. Membayangkan diri saya terpeleset kemudian langsung jatuh menuju kubangan lumpur sawah di bawah kami, pasti akan terasa mengerikan.

Liukan batang pohon pengantin

Abaikan penampakan saya di foto ini yak.

Tak lama kami berada di sekitar Wit Nganten. Selain karena panas, memang sudah tak ada lagi yang bisa kami nikmati dan lakukan disana. Saya pun mengajak Ai untuk pergi, meninggalkan pohon itu kembali sendirian. Sebelum benar-benar pergi saya sempat menoleh ke belakang, dan perasaan kesepian menjalar kembali ke diri ini manakala melihat pohon tersebut.

Ah tunggu, saya tak sedang menyaksikan cerminan diri saya di pohon itu, bukan?


Dear Aik, terima kasih sudah berkunjung ke Salatiga.
Semoga persahabatan kita bisa bertahan sampai tua.

Salam Kupu-Kupu ^^d

No comments:

Post a Comment