Suasana salah satu kedai makanan take away di Mekkah |
Meski pihak hotel selama kami menjalani ibadah umrah telah menyajikan berbagai masakan ala Timur Tengah yang bertumpah ruah, tapi saya tetap merasa makanan-makanan itu kurang autentik. Saya menginginkan makanan yang istilahnya: "Arab Saudi banget", bukan makanan dengan rasa tanggung ala-ala hotel.
Setiap memasuki kota baru dan bus rombongan mulai melaju menuju hotel kami menginap, saya sebisa mungkin menjaga agar mata ini tetap terbuka lebar. Pandangan saya awas mencari restauran-restauran berbau Arab yang sekiranya dekat dengan kami menginap.
Sayangnya, seluruh hotel tempat kami menginap sama sekali tak ada yang dekat dengan restauran-restauran semacam itu. Hotel kami di Madinah persis berada di seberang Masjid Nabawi, Hotel di Mekkah berada di depan Masjidil Haram, sedang Hotel di Jeddah malah berada persis di pinggir jalan bebas hambatan. Mana ada restauran di dekat area semacam ini?
Untung saja, kesempatan untuk menjajal panganan ala Arab Saudi tiba dalam wujud street food. Penjual street food di negara kerajaan ini jumlahnya tak banyak, paling hanya ada satu-dua penjual dalam satu blok.
Dan inilah dua makanan jalanan yang berhasil saya coba selama berada disana:
1. Mouttabaq
Pengalaman pertama saya mencoba Saudi Arabian street food terjadi manakala kami berada di Mekkah. Ceritanya, malam itu keluarga kami iseng mengambil jalan lain untuk kembali ke hotel tempat kami menginap.
Meski tindakan itu membuat kami nyaris tersesat, tapi kami kemudian berjumpa dengan deretan kios penjual cinderamata berjejer di pinggir suatu jalan dengan lampu penerangan yang remang-remang. Jalan itu tampaknya bukan jalan yang diperuntukkan bagi jemaah dari Indonesia, terlihat dari rompi, tas selempang atau kain pengenal para jemaah yang memakai atribut bendera Turki atau Malaysia.
Saat kedua orang tua sibuk melihat-lihat ke salah satu toko, mata saya justru tertuju kepada salah satu penjual makanan yang tengah dikelilingi pembeli. Ketika mendekat, saya langsung kaget. Makanan itu terlihat familiar sekali dengan makanan yang mudah ditemukan di Indonesia: martabak telur!
Kalau kalian pikir martabak adalah makanan khas Indonesia, kalian salah besar. Martabak pertama kali dikenal di negara Yaman dan Arab Saudi (khususnya wilayah Hejaz dan Tihamah). Makanan ini awal mulanya diperkenalkan oleh para pedagang dari India di masa lampau, dan diterima dengan baik oleh penduduk di kedua negara. Penduduk Arab Saudi kemudian menamai makanan itu dengan sebutan mouttabaq.
Seorang tukang masak tampak lihai memainkan adonan mouttabaq menjadi begitu tipis, sebelum menaruhnya di atas papan penggorengan datar besar. Beberapa topping yang dimasukkan sepenglihatan saya: potongan daun bawang, cacahan tomat, dan sejumput cacahan daging.
Kedai mouttabaq |
Tidak seperti martabak di negara kita, mouttabaq tidak dipotong-potong lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Satu potong mouttabaq dihargai sebesar 5 SAR, dan tak ada tambahan item macam acar atau lombok seperti di negara kita.
Porsi jumbo mouttabaq. Harganya mirip-mirip dengan martabak telur di negara kita, Indonesia. Dari atas sudah kelihatan oily banget kan, ya? |
Bagaimana rasanya? Err, saya jauh lebih suka martabak dari Indonesia. Serius. Menurut saya, mouttabaq ini terlalu berminyak dan berbumbu. Bumbu? Iya, jadi kalau di negara kita martabak telur akan terasa telurnya, bukan? Nah, kalau mouttabaq yang terasa justru bumbu khas Arab (saya kurang tahu apa) yang bersembunyi di lapisan kulitnya.
Aloot pisaan, euy! |
Selain itu, kulit mouttabaq terasa begitu alot. Teksturnya hampir serupa dengan chapati, namun lebih ulet. Duh, gigi saya sampai capek buat mengunyah dan pada akhirnya saya terpaksa menyerah - menyisakan setengah potong yang tak tersentuh bahkan sampai keesokan hari. Hiks. Maafkan saya.
2. Shawarma
Shawarma adalah makanan khas Arab Saudi yang hampir menyerupai kebab. Sejujurnya, saya sendiri sukar membedakan antara kebab dan shawarma karena benar-benar mirip. Saya baru tahu itu bernama shawarma setelah diberitahu sendiri oleh petugas kasirnya.
Makanan ini saya coba saat kami sekeluarga tengah berbelanja di Corniche Commercial Center, Jeddah. Sementara anggota lain rombongan bus kami memenuhi restauran dengan menu Indonesia dan fastfood, keluarga kami masih berpegang teguh pada prinsip: "percuma jauh-jauh ke luar negeri, kalau makannya tetap makanan Indonesia".
Setelah berkeliling disana, mendadak perut kami terasa lapar luar biasa. Efek belum makan siang terasa sekali ketika berpergian seperti ini. Dalam perjalanan pulang menuju area parkir, langkah mama saya mendadak berhenti di salah satu kedai makanan pinggir jalan yang tampak ramai pembeli.
"Mau coba?", tanya mama yang langsung disambut anggukan kami semua.
Saya yang kebagian memesan ke bagian kasir langsung bingung. Bagaimana saya bisa memesan kalau nama makanannya saja tidak tahu? Setelah mengumpulkan keberanian dan rasa (sok) percaya diri saya pun mendekati meja kasir.
"Excuse me, two of-uhm-that food over there please", kata saya sembari menunjuk ke dua orang tukang masak yang tengah sibuk melayani pesanan pembeli.
Sang kasir menoleh sebentar, "Ah, shawarma? 5 SAR each", jawabnya sambil mengetikkan sesuatu di mesin kasir.
Uang sebesar 10 SAR saya berikan kepadanya dan digantikan oleh secarik kertas yang nanti harus saya berikan kepada tukang masak agar shawarma pesanan kami segera dibuat.
Saat melihat file foto di rumah, saya baru ngeh kalau ada tulisan Arab berbunyi shaawarmaa besar-besar di dekat tukang masaknya. -_- |
"Spicy or not spicy?", tanya salah satu tukang masak kepada saya saat menyerahkan kertas kepadanya.
Saya meminta masing-masing satu: satu pedas, sedang satunya tidak. Pembuatan shawarma sendiri tak memakan waktu lama sebenarnya. Namun, jumlah pesanan pembeli mempengaruhi lama tidaknya shawarma dibuat. Kami sedang sial, seorang pria Filipino muda tepat di depan kami membeli 8 buah shawarma.
Sembari menunggu, saya pun berdiri di dekat tukang masak dan melihat proses pembuatan satu buah shawarma. Daging dibakar sebentar sebelum diiris tipis-tipis, irisan daging itu kemudian diletakkan di atas lapisan tipis penutup shawarma bersama isian-isian lain, seperti: kentang goreng, potongan timun, butiran kacang kapri, dan selada. Ada cairan saus kental entah apa yang sedikit dituang di atas isian, sebelum seluruhnya digulung memakai lapisan penutup tadi.
Tukang masak beraksi membuat satu buah shawarma |
Perbedaan antara yang pedas dan tidak terletak pada irisan paprika dan saus sambal cair yang ditambahkan ke dalam isian shawarma. Percayalah, shawarma pedas buat lidah Indonesia itu biasa saja, bahkan cenderung tidak pedas sama sekali.
Tapi, shawarma ini menurut saya enak sekali! Rasanya bahkan jauh lebih enak dibandingkan seluruh makanan ala-ala Arab yang saya coba di hotel. Highlight-nya terdapat pada daging dan saus kental yang berada di dalam satu porsi shawarma, membuat setiap gigitan terasa seperti lumer di dalam mulut.
After a single bite and my mouth went crazy. |
Argh! Saya langsung terbayang kembali kenikmatannya saat menuliskan tulisan ini coba. -__-
****
Sebenarnya terdengar agak ironis, sembilan hari berada di Arab Saudi tapi cuma berhasil mencicipi dua street food-nya. Sumpah, letak hotel kami yang dekat dengan tempat ibadah justru membuatnya jauh dengan tempat penjual makanan semacam ini.
Bisa mencicipi dua saja saya sudah bersyukur. Setidaknya, ada kenangan tentang makanan Arab Saudi "betulan" yang terekam di memori otak kami. Bagaimanapun, tak ada yang lebih menyenangkan ketimbang menuntaskan rasa penasaran akan hal baru di sekitar kita, bukan?
Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggungjawab. ^^d
Bisa mencicipi dua saja saya sudah bersyukur. Setidaknya, ada kenangan tentang makanan Arab Saudi "betulan" yang terekam di memori otak kami. Bagaimanapun, tak ada yang lebih menyenangkan ketimbang menuntaskan rasa penasaran akan hal baru di sekitar kita, bukan?
Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggungjawab. ^^d
No comments:
Post a Comment