Pages

Monday, April 4, 2016

Pura Pakualaman: Istana Kecil Dari Orang Nomer Dua Di Yogyakarta



Nama Pura Pakualaman mungkin terdengar lebih asing di telinga apabila dibandingkan dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Padahal, jarak antara keduanya tak seberapa jauh. Hanya terpisah sejauh sekitar 3 kilometer, Pura Pakualaman tampak menempati salah satu ruas di sisi Jalan Sultan Agung. Siang itu, setelah mengelarkan beberapa urusan di Kota Yogyakarta - saya dan Papa berkesempatan mengunjungi istana yang dihuni oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam dan seluruh keluarganya ini.

Kedatangan kami langsung disambut ramah oleh beberapa abdi dalem yang berjaga di balik gerbang masuk kawasan istana. Saya diminta mereka menuliskan identitas diri dan maksud kunjungan di buku pengunjung berwarna merah. Selanjutnya, salah seorang abdi dalem berdiri dan mengantar kami untuk berkeliling.

Gerbang Pura Pakualaman

Sekilas, Pura Pakualaman terlihat jauh lebih kecil dan sederhana dibanding Keraton Yogyakarta. Area istana berbentuk persegi panjang dimana struktur bangunannya berdiri mengitari area - menyisakan ruang kosong di tengah area yang digunakan sebagai taman. Tak ayal, banyak orang lantas menjuluki Pura Pakualaman sebagai sebuah istana kecil.

Bangunan di ujung depan itu digunakan sebagai perpustakaan,
museum (buka hanya pada waktu tertentu) dan area
perkantoran.

Kolam kecil di depan taman. Ada bunga
teratai warna putih yang mulai mekar.

Sayangnya, abdi dalem yang bertugas mengantar kami kemarin entah kenapa pendiam sekali. Kami langsung diajak mengunjungi pendapa besar yang merupakan bagian paling mencolok seantero istana. Bayangan saya, dia akan menjelaskan sejarah atau apapun yang berkaitan dengan Pura Pakualaman disana. Namun, dia justru terdiam memaku dan menciptakan keheningan super tak nyaman di antara kami semua.

Pendapa Pura Pakualaman


Perangkat gamelan ini hanya dimainkan pada Sabtu Pon dari
jam 8-11 malam.


Papa kemudian mencoba mencairkan suasana dengan bertanya soal usia pendapa di depan kami. Bukannya mendapat jawaban, sang abdi dalem malah meminta maaf dan mengatakan ketidaktahuannya akan usia atau sejak kapan pendapa ini dibangun, apa yang dia tahu hanya sebatas pendapa ini digunakan sebagai tempat menerima tamu penting.

Saya mengernyitkan dahi. Beberapa pertanyaan yang muncul di kepala, saya urung tanyakan kepadanya. Selera bertanya saya telah menguap ke udara, menyisakan harapan semoga ada banyak informasi tentang Pura Pakualaman yang bisa saya dapatkan dari internet. Saya pun meminta ijin untuk mengeksplorasi Pura Pakualaman secara mandiri, meninggalkan Papa dan abdi dalem pendamping kami terlibat dalam obrolan sendiri.

Papa dan abdi dalem 

Saya pun bergerak ke sisi kanan pendapa, mengamati lekat-lekat apa yang terlihat di sekeliling saya. Pada bagian kanan pendapa, terdapat pintu kecil menuju ke area dalam istana, sementara persis di sebelahnya sebuah sudut yang disulap menjadi ruang santai berdiri disana.

Pintu menuju area tertutup Pura Pakualaman.

Ruang santai

Burung koleksi Paku Alam ke - X

Sebuah bangunan unik bergaya Eropa tepat mengisi ruang di samping pendapa. Bangunan itu dipenuhi oleh ukiran di bagian dinding serta atapnya. Lubang-lubang pada ukiran kemudian ditutup dengan kaca beraneka warna dan menyajikan suatu pemandangan yang tak biasa. Ada pula empat kursi dan satu meja besi yang terdapat pada bagian tengah taman bangunan itu.

Bangunan cantik di sebelah pendapa. Katanya sih,
diperuntukkan sebagai wisma tamu.

Manakala tengah asyik menikmati sisi kanan pendapa, sebuah mobil bak terbuka melaju masuk dan berhenti di sisi seberang. Seorang pria berkemeja batik tampak turun dan berjalan menuju ke salah satu pintu di sisi kiri.

Saya amati ia sekilas. Namun, saya kemudian tak mengacuhkan dan lebih memilih melanjutkan berkeliling dan mengamati apa yang Pura Pakualaman coba tawarkan. Setelah puas, saya pun berjalan mendekat ke Papa dan abdi dalem pendamping kami. Mereka berdua hanya tersenyum-senyum.

"Mas, tahu siapa yang lewat barusan tadi?" tanya sang abdi dalem.

Saya menggeleng tapi firasat saya mendadak berubah sedikit tidak enak.

"Ya itu tadi mas, Gusti Pangeran Adipati Paku Alam ke-X" jawabnya kembali.

Saya melongo. Serius? Saya sungguh tak percaya. Di mata saya, pria tadi tampak sama dengan -maaf - abdi dalem pendamping kami. Apalagi, beliau tadi menyetir mobil bak terbuka, seorang diri, dan tanpa pengawalan keamanan apapun.

"Wajar mas, bagi orang awam Gusti Adipati sering dikira hanya karyawan biasa di tempat ini. Beliau memang orang yang begitu sederhana. Selama bisa dikerjakan sendiri, beliau lebih memilih melakukan segalanya tanpa bantuan orang lain.", tambah sang abdi dalem sambil setengah tertawa melihat raut keterkejutan yang masih tersisa di wajah saya.

Demi apa saya malah bergeming ketika melihat orang yang sebentar lagi bakal diangkat menjadi orang nomer dua atau wakil gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta itu? Untung, saya tidak diusir dari Pura Pakualaman karena bagaimanapun beliaulah tuan rumah dari istana kecil ini.

Kunjungan siang itu ditutup dengan foto bersama dengan abdi dalem pendamping kami. Walau pendiam, ternyata ia begitu ramah untuk diajak foto-foto.

"Sudah berapa lama bertugas jadi abdi dalem, pak?" tanya saya penasaran.

"Wah, kalau saya masih terbilang baru, mas. Ada sekitar lima tahunan mungkin." tandasnya.

Oalah, pantas pendiam dan banyak menjawab kurang tahu kalau ditanya soal sejarah bangunan disini. Saya manggut-manggut. Katanya, bapak abdi dalem ini dulu pernah bekerja di salah satu perusahaan minuman bersoda selama puluhan tahun sebelum kemudian memilih mengabdi kepada lingkungan keraton. Suatu pilihan hidup yang luar biasa, kalau boleh saya katakan.

*) Untuk masuk ke dalam Pura Pakualaman, pengunjung tidak dikenakan biaya apapun alias gratis. Namun, kalau mau ada rejeki berlebih tidak ada salahnya berbagi sedikit dengan para abdi dalem.

Ngaso Di Warung Gudeg Yu Djum 

Sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Kota Salatiga, kami ngaso sejenak di Warung Gudeg Yu Djum. Papa yang mendadak kepingin makan gudeg, akhirnya membuat saya memberhentikan mobil pada salah satu cabang dari warung gudeg itu yakni yang berada di Jalan Laksda Adisucipto KM 9 Yogyakarta.

Meski hanya cabang, tapi warung tersebut juga tak kalah ramai. Parkiran mobil sampai penuh. Kedatangan kami bebarengan dengan hujan deras, membuat kami langsung lari secepat kilat begitu keluar dari mobil.

Jujur, ini adalah kunjungan pertama saya setelah sekian lama, mungkin sekitar 15-20 tahunan. Warung Gudeg Yu Djum sendiri merupakan salah satu warung penjual gudeg (sayur dari nangka muda) legendaris di Jogja. Kabarnya, Yu Djum sudah mulai berjualan semenjak tahun 1942 dimana waktu itu ia hanya menggelar lapak sederhana di pinggir Jalan Wijilan.

Salah satu sudut warung gudeg.

Siang itu, saya memasan satu porsi nasi gudeg dengan lauk kepala, sementara papa memesan nasi gudeg lauk paha atas. Nasi gudeg dihidangkan di atas piring yang telah dilapisi dengan daun pisang. Selain gudeg, sambal krecek merupakan item yang tersedia di tiap porsi nasi.


Nasi Gudeg Krecek Kepala Ayam

Bagaimana rasanya? Ugh, speak frankly - I'm not a fans of Yogyakarta's gudeg. Bagi saya, Gudeg Yu Djum ini rasa manisnya kelewatan. Satu, dua sendok  sih masih terasa oke. Namun lama kelamaan, rasa mblenger merajai diri -  menghabiskan satu porsi nasi gudeg berubah menjadi semacam perjuangan berat.

Bagian favorit saya justru pada lauknya, terutama daging ayam. Gara-gara melewati proses masak yang relatif lama, ayam kampung yang terkenal alot bisa menjelma menjadi super empuk di warung gudeg ini. Saya yang pesan bagian kepala saja sampai kaget karena daging dan kulit yang menempel pada tulang bisa terlepas dengan begitu mudahnya.

It's a little bit overpriced too. Harga satu porsi nasi gudeg termurah di Warung Gudeg Yu Djum kini dibanderol sebesar Rp 8.000,00. Itupun hanya dengan lauk tempe atau tahu, sementara kalau memakai daging ayam bisa jauh lebih mahal lagi.

Daftar harga Gudeg Yu Djum.

Yah, kalau cuma sesekali memang tak masalah. Dan setidaknya, rasa penasaran Papa akan nasi gudeg telah terpuaskan dalam kunjungan kami kemarin.

***

Terima kasih sudah mampir!

Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggungjawab. ^^d

9 comments:

  1. Aku baru lho ada bangunan seperti villa bergaya Eropa di dalam area Pura Pakualaman. Apa mungkin karena pengunjungnya tidak sebanyak Keraton Yogyakarta ya, jadinya para abdi dalem kurang dibekali dengan kemampuan bercerita yang memadai?

    Eh, aku kira, habis dari Pura Pakualaman ngasonya di es rujak serut dekat parkiran itu. :D

    Kamu orang kesekian yang komentar kalau gudeg Jogja terlalu manis, hahaha. Aku sendiri juga aslinya dari luar Jogja, tapi setelah sekian belas tahun lidah akhirnya kebal juga. :D

    BTW, harga nasi gudeg tahu/tempe yang Rp8.000 itu menurutku normal lho. Harga nasi gudeg tahu/tempe di pinggir jalan sekitar Rp6.000. Lebih mahal Rp2.000 karena ada nama Yu Djum plus kereceknya memang ngangeni. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Mas Wijna! Welcome back!

      Iya mungkin mas, bisa jadi. Aku yang sebelumnya udah keluyuran ke keraton, kemudian masuk Pura Pakualaman berasa zonk. Beda banget guiding skillnya. Ini kita semacam cuma dianter sekalian diawasi agar gak melakukan hal-hal di luar batas.

      It's still pricey, mas kalau aku. Kapan-kapan kalau main ke Salatiga, aku ajak makan gudeg ala Salatiga yang jauh lebih pedes, lebih murah, lebih bikin badan hangat, dan bikin gemuk. Ahahah. :D

      Delete
    2. Hai gibbs. Penasaran bgt dgn Pura Pakualaman, belum pernah kesana dan bangunan yg utk "wisma tamu" nya menarik sekali.

      Utk gudeg nya, Yu Djum memang legendary sekali ya. Tp aku lebih suka Gudeg Mbareg Bu Hj. Amad (dari arah Jln. Kaliurang belok kiri arah Wijilan, nah itu paling belok cuma 50 meter). Manisnya gak semanis Yu Djum dan kering, tempe nya juga enak.

      Kangen Jogja :)

      Delete
    3. Halo kakak yang sebentar lagi mengubah statusnya. :p

      You should go there, lin. Walau ndak sebagus Keraton Yogyakarta, tapi Pura Pakualaman bakal bikin kita tahu sisi lain dari kerajaan yang masih eksis sampai sekarang. Wisma tamunya beneran bagus, sayang pengunjung dilarang masuk area itu.

      Gudeg Mbareg Bu Hj. Amad? Oke, noted. Kapan-kapan kalau ke Jogja lagi tak nyoba, lin.

      Kangen Jalan Munggur. :')

      Delete
  2. emang sepi gitu ya mas/ boleh deh kapan2 mampir

    ReplyDelete
    Replies
    1. kamu comment pake smartphone ya, mas?
      iyaa emang sepi gitu, jarang banget orang berkunjung kesana. mangga kalau mau mampir, tapi jangan dibandingin sama Keraton Yogyakarta ya, mas. Jegleg bangetttt.

      Delete
    2. Iya, Mas dr smartphone. Emg knp Mas?

      Delete
  3. Wah, ternyata puro pakualaman dibuka buat umum ya? Baru tahu, hehee. Boleh nih jadi destinasi kalau ke Jogja lagi :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa dibuka untuk umum dan GRATIS pula, mbak. Sekali lagi, gratis! Ahahahah. :D

      Delete