Berulangkali mengunjungi suatu daerah belum tentu membuat seseorang menjadi ahli akan daerah tersebut. Yah, mungkin sih akan lebih memahami karakteristik daerah tersebut baik itu masalah jalanannya, alat transportasinya, masyarakatnya, makanannya atau segala tetek bengek khas lainnya. Tapi saya berani jamin itu hanya beberapa persen dari seratus persen. Sebutlah saya. Sudah tak tercatat telah beberapa kali saya menyambangi Kota Solo (Surakarta) baik itu dikarenakan mengunjungi saudara-saudara saya, ataupun memang sengaja menjelajah kota yang terkenal dengan slogan "The Spirit of Java" itu bersama keluarga saya, ataupun teman-teman. Tapi saya berani bersumpah, saya merasa belum bisa berdamai dengan kota itu. Ada saja alasan yang membuat saya berasa semakin nothing setiap kali menemui hal-hal baru ketika berjalan-jalan di kota ini. Alasan paling mendasar adalah saya masih belum bisa beradaptasi dengan jalan searah yang saking banyaknya di Kota Solo selalu sukses membuat saya pusing dan bertanya-tanya "ini saya lagi ada dimana?" berulang-ulang kali. Terus seperti itu dan sukses membuat saya lemas. Lemas tenaga, lemas pikiran, dan terkadang lemas di kantong hahah.
Kunjungan saya ke Kota Solo bersama kedua teman SMA saya yakni si Uul dan Yanta minggu kemarin benar-benar menorehkan catatan tersendiri di dalam catatan perjalanan saya ketika menyambangi kota ini. Setelah tertampar cukup keras karena niatan kami untuk menaiki Railbus Batara Kresna harus tertunda karena jadwal keberangkatannya yang dicancel gegara tengah dalam proses perbaikan. Kamipun sedikit belingsatan. Apalagi niatan kami hari itu memang hanya untuk mencoba mode transportasi wisata di Kota Solo yakni Bus Werkudara dan Railbus Batara Kresna. Lah kalau Railbus Batara Kresnanya dicancel, apa yang harus kami lakukan dong? Tapi bukan seorang traveler sejati kalau tidak siap oleh tantangan-tantangan seperti itu. Sesungguhnya seorang traveler dituntut memiliki rasa fleksibel selama perjalanannya. Fleksibel ini bisa dalam segala hal, uang, waktu atau perubahan-perubahan lain yang bisa datang sewaktu-waktu. Kalau prinsip saya sih, jangan pernah mengeluh, buka mata lebar-lebar dan nikmati saja segalanya. Saya percaya semua yang serba berantakan justru akan membawa pengalaman dan pelajaran baru kepada kita. Harap dicatat, pengalaman baru itu bisa saja berupa pengalaman kurang menyenangkan. Seperti kami saat itu, kami bertiga tidak akan pernah menyangka, kami yang notabenenya sering jalan-jalan eh bisa-bisanya kena scam dalam perjalanan kami. Tidak tanggung-tanggung kami kena dua kali scam dalam satu hari. Mengenaskan?
Silahkan tertawakan kebodohan kami. Kami juga tidak peduli apabila kalian menyebut kami tiga orang pelancong yang bodoh, amatiran, kurang pengalaman, atau tolol sekalipun. Sekali lagi kami tidak perduli. Toh, segalanya telah terjadi dan tidak ada gunanya menyesali berulang kali kan? Kerugian yang kami dapatkan pun tidak akan bisa dikembalikan plus kami merasa kerugian tersebut masih bisa ditolelir dan tidak sebesar kerugian korban para scammer lain yang lebih kejam dari yang kami temui hari itu. Sebelumnya, ada yang masih bingung maksud scam disini? Gampangnya, scam adalah aksi tipu-tipu yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Untuk lebih jelasnya, kami kena tipu-tipu sebanyak dua kali dalam satu harian perjalanan kami menjelajah Kota Solo. Paham kan sekarang? Dan yah, aksi scammer ini seringkali dapat kita temui di tempat-tempat wisata yang manakala seorang traveler kurang awas sedikit saja bisa mengalami kerugian mulai dari yang kecil sampai ke skala yang besar dan membuat semaput. Oleh karena itu, kami merasa bersyukur karena kami masih terkena scam yang skala kecil dan semoga itu merupakan pengalaman terakhir kami terkena scam dalam sejarah per-traveling-an kami. Amin. Semoga.
Pengalaman kami terkena tipu-tipu pertama hari itu adalah (sayangnya) saat kami mengunjungi tempat wisata wajib kunjung di Kota Solo yakni di Keraton Kasunanan Surakarta. Kejadian ini bermula saat kami bertiga melihat beberapa pengunjung sukses berfoto di depan kereta kencana nan megah yang dikelilingi oleh pagar terbuat dari kain berwarna merah dan dijaga oleh seorang petugas berpakaian adat Jawa. Para pengunjung beruntung tersebut sukses bisa berfoto di area dalam kereta kencana bahkan sang bapak penjaga kereta kencana juga ikutan berfoto bersama mereka. Tanpa dipungut bayaran sepeser pun. Ya, gratis. Kamipun merasa tertarik dan pengen ikut-ikutan seperti para pengunjung beruntung tersebut. Salah seorang teman saya, si Uul pun maju ke depan dan bertanya kepada si bapak penjaga yang entah beneran atau pura-pura ternyata semacam mengalami masalah dengan pendengaran dan pengucapan. Saya juga tidak tahu apakah si Bapak yang tidak memahami maksud pertanyaan standar si Uul atau memang si Uul yang salah mengutarakan pertanyaan, tapi yang jelas setelah itu si Uul dipersilahkan masuk ke area dalam sambil si Bapak berkata "saya fotokan...saya fotokan..." dengan terbata-bata. Wah baik banget nih si Bapak pikir kami pertama kali hingga saya kemudian merasa aneh dan janggal dengan si Bapak. Jadi ceritanya setelah itu, Uul pun disuruh duduk di sebuah bangku kayu di samping kereta kencana dan si Bapak terlihat tengah berkomat-kamit di depan kereta kencana. Seusai itu, saya yang sebenarnya mau kabur akhirnya tidak bisa mengelak ketika si Bapak menarik tangan saya, mendudukan saya di kursi sebelah Uul dan kemudian si Bapak komat-kamit lagi. Si Yanta yang posisinya agak jauhan dari kamipun bernasib sama, dipanggil si Bapak dan didudukan di sebelah kami berdua yang mulai merasa sedikit ketakutan. Si Bapak pun komat-kamit lagi. Seolah tengah meminta ijin kepada sesuatu yang tidak terlihat oleh mata kami.
Kami yang Tertipu |
Sayapun mulai pasrah ketika kami bertiga secara bergantian dipakaikan selempang dan blangkon. Fix sudah ini pasti kami kena scam pikir saya. Beberapa pengunjung lain yang melihat kami hanya bisa menertawai kami bahkan salah seorang di antara mereka berkata "wah mas dan mbaknya seperti mau diwisuda". Heheh saya hanya bisa tersenyum getir. Saya pasrah saja karena memang sudah kepalang basah. Lagipula kami bertiga ketakutan, si Bapak terus saja berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat itu. Sebenarnya sih kami bertiga bisa saja kabur pada waktu itu tapi niat tersebut kami urungkan daripada takut kenapa-kenapa. Err, saya pribadi sih paling males kalau sudah berurusan dengan hal-hal yang berbau mistis dan klenik semacam itu. Ampun dah. Dari gerak-geriknya si Bapak memang sepertinya sudah biasa melakukan tipu-tipu dengan modus seperti ini. Kelihatan tuh dari gayanya yang cekatan banget memfoto kami sebanyak empat kali dengan berbagai pose yang berbeda. Hebatnya lagi, si Bapak yang baru pertama kali memegang kamera poket saya langsung tahu posisi buat menge-zoom dan mengambil gambar. Kelar mengambil gambar, si Bapak pun lagi-lagi berkomat-kamit seolah-olah mengucapkan terima kasih dan segera menghampiri kami. Semua atribut yang kami kenakan pun diminta. Dan inilah akhirnya, si Bapak menyalami kami satu per satu dengan gaya modern dan setelah itu dia berkata dengan tidak jelas "ma las libu aja" sambil menyodorkan kedua tangannya ke arah saya. Saya tahu apa yang dia maksud. Uang Rp 15.000,00 pun mengalir ke tangannya. Kamipun segera angkat kaki meninggalkan si Bapak yang tengah mencari mangsa baru, sambil tersenyum entah kepada siapa. Sayangnya, saat kami cek hasil jepretan si Bapak di kamera saya semua hasil jepretannya ngeblur! Ciss!
Tipu-tipu yang kedua kami dapatkan dari tukang becak yang mangkal di sekitaran Galabo. Hari sudah menjelang petang, ketika kami berjalan kaki gontai ke arah Jalan Slamet Riyadi dari kawasan Pasar Gede. Saat sampai di sekitar Galabo, salah seorang tukang becak pun menghampiri kami. Dengan getolnya dia menawarkan untuk mengantarkan kami ke Kampung Batik paling terkenal seantero Kota Solo. Awalnya dia menawarkan Rp 6.000,00 lalu turun ke Rp 5.000,00. Saya yang sudah agak capek sebenarnya telah berniat menolak. Tapi si Bapak kemudian menurunkan ongkos becaknya menjadi sebesar Rp 3.000,00. Kamipun dilema. Di suatu sisi perasaan saya berkata ada yang tidak beres nih pasti, sedangkan di sisi lain saya dan kedua teman saya penasaran dengan kampung batik yang begitu dibanggakan si bapak. Untuk lebih meyakinkan kami, si Bapak yang mengetahui kalau kami setelah ini akan pulang siap mengantarkan ke Kerten. Diapun memanggil temannya dan me-nego-kan harga yang sama untuk becak temannya itu. Ah ya sudahlah, surprising us lah Pak. To be honest, si Bapak Tukang Becak ini dan temannya ramah banget. Sepanjang perjalanan menuju ke kampung batik itu si Bapak terus saja mengajak kami ngobrol bahkan kami diceritakan beberapa hal unik seputaran Keraton Kasunanan Surakarta. Kampung batik yang dimaksud si Bapak ternyata adalah Kampung Batik Kauman. Letaknya tak jauh dari area Keraton. Bentuknya adalah gang-gang sempit dengan toko-toko batik di sepanjang jalan. Kamipun sempat cuci mata sejenak di area itu.
Ketika hendak pulang, si Bapak Tukang Becak ternyata masih di depan toko pertama yang kami masuki. Dia pun langsung menunjukkan tangannya ke arah depan, "kesana lo mas kalau mau pulang ke arah Kerten, jalan kaki dekat ntar tinggal naik angkutan dari sana". Kamipun menurut dengan perkataan si Bapak. Benar sih jalan raya yang dimaksud Bapak yang letaknya di ujung gang tidak jauh. Paling cuma 300-an meter. Tapi, sesuatu yang lupa dikatakan oleh dia adalah...tidak ada angkutan menuju Purwosari setelah jam 5 sore! Bus Damri sudah tidak ada, pula halnya dengan angkutan nomer 01 yang tidak segera muncul sepanjang jalan itu. Saya lupa nama jalan tersebut tapi yang pasti di jalan itu berderet-deret isinya adalah toko emas semua. Untunglah, setelah berjalan ke ujung jalan ada taksi kosong yang lewat. Tanpa ba-bi-bu kamipun menyetopnya dan segera menaiki. Saya tak mau repot lagi. Si Uul harus segera sampai Stasiun Purwosari demi menaiki Kereta Prambanan Ekspress terakhir menuju Jogja hari itu sedangkan saya dan Yanta harus segera sampai Kerten untuk mencari bus arah Semarang yang masih beroperasi petang itu. Tiket taksi pun tak terasa begitu berat karena kami bagi bertiga. Fyuh.
Red Pedicab |
Saya Pasrah! |
Kami tidak pernah menyesal. Sungguh. Justru kami bersyukur karena telah kena tipu-tipu disana. Rasa syukur pertama karena kami tidak terkena scam yang berat dan dikarenakan kami pergi bertiga sehingga dampaknya tidak begitu terasa. Rasa syukur kedua karena kena tipu-tipu di Kota Solo justru menyadarkan kami untuk tidak pernah lengah dimanapun kami berada. Percaya saja intuisimu ketika merasakan ada suatu kejanggalan. Lekas pergi dan tinggalkan bila tidak ingin terlibat keadaan-keadaan yang memperkeruh perjalanan kita. Inilah pelajaran baru yang kami dapatkan hari itu. Lagipula, bukankah traveling itu terkadang tentang mendapatkan pengalaman ataupun pelajaran baru dari daerah yang kita kunjungi? Pengalaman baru kena tipu-tipu termasuk dong ya? Apalagi kalau pengalaman itu bisa jadi lucu-lucuan buat orang yang menjalaninya heheh.
Keep on Traveling dan Salam Kupu-Kupu ^^d
P.S. Saya tidak menulis postingan ini untuk membuat semua orang takut untuk menjelajah Kota Solo (Surakarta). Kesialan bisa menimpa siapa saja dan dimana saja. Percayalah, Kota Solo (Surakarta) merupakan salah satu destinasi yang menarik untuk dikunjungi apalagi untuk merasakan suasana Jawa yang masih kental disana. Hmm, meskipun jalan utamanya banyak yang searah dan cukup membingungkan bagi yang pertama kali kesana sih. :p
Yeaaah Solo emang keren (҂'̀⌣'́)9
ReplyDeleteCouldn't agree more! ^^d
DeleteYg penting bisa pulang dgn predikat wisudawan terpasrah..... ^(oo)^
ReplyDeleteHahahahah LOL LOL. Asik udah wisudaaaaaa. :p
DeleteSaya pikir ini hanyalah dinamika wisata di solo ya. Tapi kan yang penting semua senang dan punya kenangan indah.
ReplyDeleteBener banget. Ketika wisatawan mulai banyak berkunjung dan masyarakat lokal memanfaatkan segala celah yang ada. And you got the point, yang penting semua senang. Kami senang sekali. :D
Deletesalam kenal.., folbek ya thx.. *smile
ReplyDeletesetuju deh sama kamu :p
ReplyDeletekota solo memang keren dan indah. tapi saya kalu kesana agak risih sama pengamen pengamen jalananya.
ReplyDeleteiya, saya juga.:(
Delete