Pages

Friday, August 21, 2015

Mengintip Festival Lima Gunung 2015



"Berangkat...tidak...berangkat...tidak...berangkat...."

Kira-kira semacam itulah pergolakan yang melanda hati saya pada Sabtu pagi kemarin. Alasannya sangat sederhana: ingin menyaksikan Festival Lima Gunung XIV, tapi tidak berhasil menggebet orang lain sebagai partner jalan barang satu orang pun. Sejak bangun tidur saya terus mencoba menyemangati diri, usia segini sudah bukan lagi jaman memusingkan diri gara-gara hal sepele. Worrying only gets me nowhere, doesn't it? Saya berhasil! Tepat ketika waktu menunjukkan pukul 10, saya telah bersiap menuju ke Desa Mantran Wetan - tempat dihelatnya festival tersebut pada tahun ini - meski seorang diri.

Dari informasi yang saya dapat lewat internet, Desa Mantran Wetan ini terletak di kaki Gunung Andong. Saya sudah pernah mendaki gunung tersebut sekitar dua tahun lalu. Saya pun mencoba meraba-raba kembali jalanan menuju kesana. Syukurlah, papan penunjuk arah terdapat di beberapa tempat sehingga begitu memudahkan saya menemukan desa itu.

Penunjuk jalan Festival Lima Gunung

Segerombolan pemuda dan pria tampak berjaga di jalan masuk menuju Desa Mantran Wetan. Saya menyebutkan maksud kedatangan, lalu dipersilahkan masuk usai membayar uang sebesar Rp 2.000,00 sebagai biaya parkir.

Tak ada seorang pun yang mengarahkan dimana saya bisa memarkirkan motor, sehingga saya sempat berputar-putar desa. Seorang bapak yang melihat saya kebingungan kemudian menyuruh parkir di halaman rumahnya.

Berbagai hiasan janur kuning terlihat menghiasi beberapa titik di sepanjang jalan, menandakan kalau desa asri ini tengah menghelat suatu hajat besar. Kata bapak yang mengijinkan halaman rumahnya dialihfungsikan sebagai lahan parkir, Festival Lima Gunung dihelat di Mantran Wetan karena bertepatan dengan peresmian masjid baru desa tersebut.

Gunungan janur

Hiasan janur tampak ada dimana-mana

Masjid baru desa

Festival Lima Gunung sendiri sejatinya adalah festival seni tahunan yang dihelat oleh Komunitas/Paguyuban Lima Gunung. Bagaikan prinsip demokrasi: kegiatan ini dilakukan oleh, untuk dan dari masyarakat petani yang menghuni desa-desa di lereng Gunung Andong, Merbabu, Merapi, Menoreh dan Sumbing.

Ini adalah kali ke-14 Festival Lima Gunung diadakan, semenjak pertama kali dimulai pada tahun 2002 silam. Setiap tahun tema yang diusung berbeda, dan pada tahun 2015 temanya adalah Mantra Gunung. Kebanyakan seniman atau seniwati yang tampil merupakan anggota kelompok seni di masing-masing desa, walau terkadang beberapa seniman dari daerah maupun negara lain ikut meramaikan acara.

Ada sebuah panggung terbuka sederhana yang berdiri di salah satu pelataran rumah warga. Di panggung itulah seluruh kegiatan festival terpusat. Saat saya sampai disana, acara sarasehan tengah berlangsung.

Panggung festival

Sembari menunggu acara tari-tarian dimulai, saya memutuskan berkeliling desa terlebih dahulu. Tujuan pertama saya adalah menuju rumah warga lain yang disulap menjadi area pameran. Berbagai macam hasil seni seperti: lukisan, patung, topeng, wayang hingga mainan - menandakan Festival Lima Gunung berusaha merangkul seniman dari berbagai bidang dan latar belakang.

Area pameran

Lucu-lucu! Jadi pengen koleksi. 

Kamu pakai topeng yang mana?

Teringat sama simbah waktu lihat lukisan ini.

Sehabis dari area pameran, saya berkeliling kembali. Kali ini, saya melihat rumah-rumah warga desa. Saya pun mengambil salah satu jalan kecil dan membiarkan jalan tersebut menuntun saya entah kemana.

Jalanan desa yang saya ikuti.
Jalan ini menanjak.

Deretan rumah warga menyambut saya. Kebanyakan rumah disini pendek-pendek dan berdinding kayu. Saya tertarik mendekati rumah warga yang di depannya terdapat bangunan kayu tua sederhana. Pada dinding bangunan kayu tua itu tergantung ikatan daun tembakau yang mulai mengering.

Tembakau yang dikeringkan

Salah seorang bapak menjelaskan kepada saya kalau bangunan kayu tua itu merupakan tempat penyimpanan tembakau sekaligus gudang. Usia bangunan kayu tua ini setidaknya sudah sekitar 40 tahunan lebih.

Katanya butuh satu minggu penuh untuk proses pengeringan
tembakau ini.

Kembali ke jalanan utama, semakin banyak pengunjung yang berdatangan ke lokasi acara. Beberapa orang juga memanfaatkan momen ini sebagai ajang mengais rejeki dengan berjualan. Ada yang berjualan makanan, batu akik, mainan, pakaian, hingga burung-burung kecil.

Seorang nenek mengantarkan cucunya membeli
burung pipit. Kalau tak salah dengar dua burung
dan satu sangkar kecil dijual seharga 10 ribu.

Acara tari-tarian baru dimulai selepas Sholat Dzuhur. Saya segera berjalan ke halaman belakang mushola yang tepat berada di sisi kiri panggung. Letaknya yang berada di atas, membuat saya begitu leluasa menikmati acara. Belum lagi, di sekitaran panggung telah dipenuhi anggota komunitas fotografi dengan senjata mereka masing-masing. Apalah saya ini yang hanya mengandalkan kamera pocket.


Teman saya menonton dari atas

Kumpulan penonton dan fotografer di bawah

Dari atas, bisa melihat Gunung Andong juga

Kesenian yang pertama kali tampil adalah grup jaran kepang dari Desa Mantran. Empat orang pria menari mengikuti alunan musik dengan menunggangi kuda bambu masing-masing. Dari gerakannya, sekilas mereka tampak tengah memperagakan adegan perang.

Saya agak kurang paham sama peran tiga orang di atas.
Semacam untuk lucu-lucuan kah?
Tak lama, beberapa warga yang semula menonton tiba-tiba berjaga di sekitaran panggung. Dan, lihat saja. Seiring dengan musik yang semakin rancak bertalu-talu, satu persatu penari jaran kepang kerasukan dan mengamuk.

Dan mereka mulai berduel, salah satunya sudah kerasukan.
Para warga yang berjaga pun langsung bergerak cepat dan memisahkan penari satu dengan yang lainnya. Sorak sorai riuhan terdengar dari barisan penonton begitu melihat ada penari yang kerasukan. Meninggalkan saya yang hanya bisa diam terpaku karena ngeri. Bagaimana tidak, salah seorang penari hidungnya sampai berdarah-darah. Namun, dia tetap menari dengan khidmatnya karena tengah kerasukan.

Warga memisahkan pemain yang kerasukan.

Kesenian selanjutnya masih dari Desa Mantran Wetan yakni tarian topeng ireng. Sekitar 10 orang pemuda-pemudi memasuki panggung dengan kostum yang luar biasa meriah, terutama bagian kaki yang dihiasi oleh puluhan lonceng kecil.

Para penari topeng ireng

Tarian yang terkadang bagai gerak pencak silat dengan fokus di kaki ini langsung membuat panggung menjadi begitu ramai. Semakin lincah para penari bergerak, semakin keras suara lonceng yang terdengar.

Krincing-krincing.

Satu kesenian lagi yang sempat saya lihat adalah grup warok bocah dari Ngablak. Sebagaimana namanya, kesenian itu menampilkan para bocah yang berdandan ala warok dan menari dengan pola tertentu.

Seorang warok bocah tengah menari. Bukan,
dia tidak sedang bersiap goyang bang jali kok.


Bukan hal yang umum manakala melihat warok diperankan oleh para anak laki-laki. Biasanya, warok diperankan oleh seorang pria dewasa sehingga kesan gahar begitu terasa. Begitu warok ini dimainkan oleh anak-anak, saya dan penonton hanya bisa tertawa. Apalagi, ketika melihat beberapa di antara mereka masih malu-malu atau salah gerakan.

WBC48 - Warok Bocah 48. Aitakata aitakata! *dicambuk*

Dansa ala para warok bocah - pakai kepala.

Tepat seusai para warok bocah selesai mementaskan tarian mereka. Saya beringsut meninggalkan tempat. Berat sebenarnya, tapi saya kadung memiliki acara lain. Berdasarkan jadwal, Festival Lima Gunung sendiri masih bakal berlanjut sampai nanti malam dan keesokan harinya.

Saya tak menyesal datang sendirian ke festival luar biasa ini. Meski hanya sebentar dan bagai mengintip, tapi saya bisa merasakan suasana kebersamaan yang besar dari seluruh warga desa. Hajat ini benar-benar  terasa untuk, oleh dan dari masyarakat.

Indonesia, berkacalah dari Festival Lima Gunung. Bukankah akan lebih baik jika saling mendukung kemudian bergerak ke arah yang sama, ketimbang saling sikut dan berjalan sendiri-sendiri? Ayo kerja!*

Mari menyatukan kekuatan! Anyway, terima kasih sudah mampir.


Salam Kupu-Kupu ^^d

*) Ayo kerja - slogan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-70. Kerja disini bukan merajuk hanya sebatas kerja mencari nafkah, melainkan lebih kepada keinsyafan akan kekuatan dari persatuan Indonesia. Kerja yang dilakukan dengan bergotong royong. Gotong royong dari seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. 

4 comments:

  1. kalo tujuannya sama2 baik kenapa tidak mencapai kebaikan itu bersama-sama ya kan mas "ayo kerja" hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, benar sekali Mbak Mai. Daripada saling serang dan bikin proses tercapainya tujuan jadi lebih lama, kan mending menyatukan tangan terus berjuang bersama. :)

      Delete
  2. hebat juga desa mengadakan festival lima gunung ... meskipun sudah ada para fotographer yang datang ... kayaknya masih kurang promosi ya ... padahal menarik acaranya ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa mas, menarik sekali. promosi sudah kok mas, orang saya tahu juga dari beberapa akun berita online.

      tapi saya justru suka kalau suasananya ndak begitu ramai gitu, mas. soalnya menurutku yang punya hajat, ya warga desa di kaki lima gunung itu. orang dari luar hanya tamu. takutnya kalau kemudian terlalu ramai, kesan acara rakyatnya jadi hilang. :)

      Delete