Monday, June 4, 2012

Kisah Seekor Burung Layang-Layang Penyendiri

Source: swift

Seekor burung tengah terbang berkeliling pada malam hari di atas suatu kampung nan sepi. Well yah, itu kampung saya. Kampung yang ketika malam menjelang langsung berubah sunyi seakan-akan seluruh penghuninya telah terlelap dikarenakan aktivitas mereka yang teramat sangat melelahkan. Sesekali bapak-bapak maupun para anak muda terlihat tengah berkumpul di salah satu rumah atau di poskamling. Terlihat seru mendiskusikan sesuatu ataupun terlihat ramai ketika tiba-tiba suara riuh tumpukan balok Uno Stacko yang jatuh bergelimpangan memecahkan keheningan malam. Namun kondisi seperti itu bisa dihitung dengan jari di dalam satu minggu. Selebihnya kampung saya hanyalah kampung yang sunyi. Kampung yang kini ketambahan seorang penghuni baru yakni si burung yang ketika senja datang selalu berkeliling di atas kampung sambil meneriakkan bunyi tinggi melengking sendirian. Sekali lagi sendirian. 


Seketika pikiran ini memainkan adegan puluhan tahun ke belakang. Adegan yang mungkin nyaris saja terlupakan. Saat itu saya hanyalah seorang anak kecil yang tertawa riang manakala diajak nenek saya mencari makan malam dengan naik becak. Mengelilingi kota kediaman nenek yang lebih ramai dibandingkan kampung halaman saya dan tentu saja lebih besar. Saat berada di tengah jalan tiba-tiba pandangan saya tertuju ke atas, ke arah langit dimana puluhan burung dengan bentuk dan warna yang sama menghiasi langit senja. Saling berkejaran dan berkeliling di atas masjid kota sambil meneriakkan bunyi tinggi melengking. Saya pun bertanya kepada nenek saya pada saat itu, kawanan burung apakah itu? Nenek saya menjawab dengan lembutnya, "itu burung layang-layang le, mereka selalu berkumpul dan berterbangan ketika petang menjelang". Jawaban nenek saya pun diamini abang tukang becak yang menyebutkan burung-burung itu selalu muncul saat maghrib tiba, datang entah darimana dan tiba-tiba saja sudah berkumpul di atas kota seolah-olah ingin ikut meramaikan kota kediaman nenek saya dengan kicauannya yang tinggi melengking. Hey, kicauan mereka sama bunyinya dengan kicauan yang saya dengar akhir-akhir ini di atas kampung saya. Hal yang membedakannya hanyalah puluhan tahun lalu saya mendengarkan bunyi yang dinyanyikan sekawanan burung layang-layang sedangkan yang saya dengarkan akhir-akhir ini adalah bunyi yang dinyanyikan seekor burung layang-layang seorang diri. Catat seorang diri.

Setidaknya sudah hampir dua bulan berlalu sejak pertama kali saya mendengarnya. Waktu pertama kali saya mendengar jujur hal pertama yang saya rasakan adalah ketakutan. Saya masih ingat saat itu saya tengah di atas tempat tidur, bersiap untuk menutup mata saya di saat malam yang dingin dan sunyi. Tiba-tiba terdengarlah nada itu, nada yang melengking tinggi dan seakan-akan berputar-putar di atas rumah saya. Saya pun jadi tidak berhasrat untuk memejamkan mata. Saya lebih memilih untuk merapalkan doa-doa yang selama ini diajarkan kedua orang tua saya sambil berharap sang burung segera pergi. Pikiran saya pun langsung lari ke arah negatif, berasumsi jangan-jangan sesuatu yang buruk akan terjadi. Syukurlah asumsi saya tidak berubah menjadi kenyataan dan saya pun entah bagaimana ceritanya sukses terlelap lalu bangun keesokan paginya. 2 minggu berlalu semenjak kejadian pertama dan nampaknya otak waras saya sudah bisa menerima curacauan burung itu. Mungkin ini yang disebut dengan para ahli biologi sebagai proses adaptasi. Menerima hal yang awalnya tidak biasa kemudian menjadi hal yang biasa. Tak ubahnya saat pertama kali saya mendengar koar-koar suara burung gagak yang bersarang di sekolah tua dekat rumah saya atau gemeletuk suara burung hantu yang mengintai mangsa di atas antena rumah tetangga saya. Oh, apakah saya lupa menceritakan tentang kampung saya yang sebelumnya sudah memiliki burung gagak dan burung hantu? Well, mereka sudah ada jauh sejak si burung layang-layang penyendiri itu datang. Dan mereka pun hidup berkelompok. Tidak sendirian.

Source: anneahira.com
Dua bulan berlalu, otak saya sepertinya mulai memikirkan hal lain terkait keberadaan si burung layang-layang itu. Saya mulai berpikir tak ubahnya bagai seorang ahli ornitologi terkemuka memikirkan sebab penyebab kehadiran burung itu di kampung saya. Memasukkan berbagai kemungkinan dengan segala kondisi yang memiliki tingkat posibilitas paling tinggi. Oke, mungkin saya berlebihan dan sangat kurang kerjaan. Toh, memang sepertinya saat ini saya merupakan makhluk paling kurang kerjaan di muka bumi ini. Kembali ke pemikiran-pemikiran saya yang tengah berpikir secara rasional...pada awalnya...hingga selebihnya perasaan saya sepertinya mengalahkan rangsang-rangsang rasional dari otak dan mendominasi pemikiran saya selanjutnya hingga kemudian memunculkan suatu gambaran kesedihan di dalam hati saya manakala mendengar si burung layang-layang bernyanyi. Mari kita berpikir sejenak dengan menggunakan setitik otak dan selusin hati. Pernahkah kita berpikir bahwa si burung layang-layang mungkin tengah merasakan kerinduan yang teramat sangat? Kerinduan kepada keluarganya, sahabatnya atau mungkin kekasihnya yang meninggalkan dia seorang diri di atas kampung saya. Setahu saya burung layang-layang adalah burung yang senang bermigrasi secara berkelompok dari satu daerah ke daerah lainnya. Dari daerah sub tropis ke daerah tropis yang bermil-mil jauhnya dan melewati berbagai kondisi alam yang menghadang selama perjalanan mereka. Menakjubkan bukan? Lalu bagaimana nasib si burung layang-layang penyendiri itu? Apakah dia telat bangun saat sekawanan burung itu tengah beristirahat? Atau apakah dia kelelahan yang kemudian membuatnya tersesat seorang diri? Apapun alasannya, nampaknya kawanan si burung layang-layang itu telah melupakan dia seorang diri. Sendirian di suatu daerah yang mungkin sama sekali baru baginya.

Mungkin itu yang menjadi penyebabnya setiap malam dia selalu terbang mengelilingi kampung saya. Terbang rutin setiap malam dengan harapan kawan-kawannya akan kembali untuk menjemputnya. Mungkin berharap ada kawanan lain yang masih beristirahat di kampung saya yang kemudian bersedia menerima dia untuk masuk ke kawanan dan terbang bersama menuju horison. Ataukah mungkin tingkahnya merupakan sarana menghibur diri dari rasa kesepian dan kesedihan yang melandanya. Ataukah mungkin suara tinggi melengking tinggi menyayat hati itu merupakan alat untuk memberitahukan kepada para manusia yang tengah terlelap akan kesenduannya. Pikiran-pikiran irasional inipun terus meracuni otak ini. Apapun alasannya yang jelas sepertinya sekarang saya bisa merasakan apa yang dirasakan si burung layang-layang yang tersesat itu. Terbang melayang menembus kegelapan yang pekat seorang diri.

Samar-samar di kejauhan terdengarlah suara pekikan melengking tinggi dari atas rumah saya. Tidak salah lagi itu pasti si burung layang-layang yang tersesat. Terbang seorang diri tanpa kenal lelah sembari berharap keajaiban akan segera menjumpainya di ujung malam. Puluhan meter di bawahnya nampaklah seorang manusia yang tengah menggerakan jari-jarinya di atas laptopnya menuliskan sesuatu yang tidak jelas ujungnya. Itulah saya. Seorang diri terkurung malam. Hey, bukankah ini suatu kebetulan?



Salam Kupu-Kupu. 

6 comments:

  1. Ada kalanya aku juga mengalami hal seperti itu.
    Yang aku lakukan biasanya, memejamkan mata dan berbisik, dan percaya bahwa di dekat kita, dekat sekali, ada Tuhan yang mendengar bisikan itu.

    ReplyDelete
  2. Kaya si burung layang-layang penyendiri fin? :o
    Yah, semua orang pasti pernah merasakan apa itu namanya kesepian.

    ReplyDelete
  3. Hiks Hiks cerita yang menyedihkan.

    ReplyDelete