Pernah? Dimana? Hahah, iya. Para ibu dan kalangan penggila masak memasak pasti sudah sering mengakrabi api biru ketika menggunakan kompor gas. Pula halnya para penggila kartun. Banyak karakter kartun atau anime yang menggunakan ataupun memiliki kemampuan mengendalikan si api biru. Sebut saja Azula, kakak Zuko dalam Avatar: The Last Airbender terlihat menggunakan api biru (blue flame/blue fire) selain juga memiliki kemampuan mengendalikan petir. Tapi tahukah kalian, kalau jauh sebelum inovasi manusia dalam menggunakan blue flame dalam kehidupan sehari-hari, Indonesia sendiri memiliki suatu tempat yang menghasilkan api biru secara alami. Yup, benar! Tempat itu adalah Kawah Ijen. Berbanggalah menjadi orang Indonesia. Tuhan nampaknya tengah bergembira ketika menciptakan surga di khatulistiwa ini. Semua-semua ada. Semua-semuanya juga serba indah. Termasuk fenomena api biru itu sendiri. Konon kabarnya api biru alami ini hanya ada dua di seluruh dunia. Selain di Kawah Ijen, tempat itu terletak jauh di Islandia sana. Still not proud with your country, huh?
Perjalanan kami menuju Kawah Ijen terjadi setelah puas memandangi sabana di Taman Nasional Baluran. Setelah berpikir masak-masak, kami memutuskan untuk menyewa mobil seharian penuh agar bisa lebih leluasa dalam menikmati Kawah Ijen. Keputusan menyewa mobil juga diambil saat mengacu dari itinerary teman yang sudah duluan ke Ijen, eh kok ribetnya minta ampun yak. Dari Baluran harus ke Terminal Banyuwangi dulu kemudian oper-oper angkutan beberapa kali bahkan sampai mencarter segala. Haduh, jatuhnya pasti gak jauh-jauh amat dibandingkan menyewa mobil. Kami menyewa mobil melalui jasa dari salah satu pengelola Taman Nasional Baluran. Nego berkali-kali hingga akhirnya harga yang disepakati bersama adalah sebesar enam ratus ribu rupiah untuk mobil plus supir selama 24 jam penuh.
Hari Jumat sekitar jam dua siang, kami kembali ke pusat informasi Taman Nasional Baluran. Disana kami sudah ditunggu oleh seorang laki-laki berusia 38 tahunan. Beliau memperkenalkan diri dengan nama Pak Dany. Pak Dany inilah yang nantinya akan menemani dan menjadi sopir selama perjalanan ke Kawah Ijen. Kijang kapsul warna merah yang kami tumpangi pun membelah jalanan Banyuwangi. Ada dua rute yang bisa digunakan kalau hendak menuju Kawah Ijen. Ternyata cara teman saya yang cukup ribet itu adalah rute dari arah Bondowoso yang melewati Sasak Perot menuju Jambu baru ke Paltuding. Sedangkan, Pak Dany memilih mengajak kami menggunakan rute Banyuwangi melewati Kecamatan Licin baru sampai ke Paltuding. Katanya sih selain lebih hemat waktu juga jalanannya lebih halus karena baru saja diperbaiki oleh pemerintah. Pilihan kami menyarter mobil nampaknya memang tepat, ketika sampai di Kota Banyuwangi mendadak hujan deras kembali mengguyur jalanan. Lumayan, bisa istirahat tanpa takut kehujanan. Penting banget itu apalagi besok pagi-pagi buta kami harus mendaki Gunung Ijen.
Apesnya, saat berada di tanjakan menuju Kecamatan Licin tiba-tiba mobil yang kami tumpangi menunjukkan tanda kurang sehat. Bunyi semacam suara besi terseret di jalanan membuat kami semua kaget. Pak Dany, saya dan Dian pun turun dari mobil dan mengecek di bawah dan sekeliling mobil. Darimanakah suara itu berasal? Berkali-kali mengecek tapi kami bertiga tidak menemukan ada yang salah dengan mobil itu. Seusai berdiskusi sejenak, Pak Dany memutar balik mobil ke kota. Rencananya mobil tersebut akan dibawa ke bengkel langganan untuk dicek apa yang salah. Yap, lebih baik mencegah di awal daripada terjadi apa-apa saat kami tengah berada di Ijen. Sembari mobil diperbaiki oleh para teknisi bengkel, kami menghabiskan waktu dengan bersantai di rumah pemilik bengkel yang baik banget. Kami bisa sholat, bisa bersih-bersih diri, main kartu bahkan menemani anak pemilik bengkel nonton televisi. Sesisir pisang asli Banyuwangi disajikan oleh pemilik bengkel kepada kami. Pisangnya unik, masih hijau-hijau tapi sudah manis. Bahkan sisa pisang yang belum termakan dipersilahkan bapak pemilik bengkel untuk kami bawa sebagai bekal ke Ijen. Alhamdulillah, good people do exist everywhere.
Selepas mobil kembali prima, kami melanjutkan perjalanan menuju Paltuding. Malam sudah semakin larut. Para anak perempuan sudah sukses terkapar dalam lautan mimpi mereka. Saya yang kebagian duduk di jok depan, mau tak mau akhirnya menemani Pak Dany mengobrol sepanjang perjalanan. Surprise, selain helpful dan ramah ternyata beliau orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Selain bercerita kehidupan rumah tangga yang berjalan kurang mulus, Pak Dany yang kemudian tinggal bersama dua orang putranya menceritakan usaha wedding organizer dan travel yang tengah digelutinya. Usahanya masih baru. Kalau tidak salah ingat baru berjalan 5 tahunan. Tapi jangan salah, Pak Dany sudah sering mengantar orang kemana-mana termasuk wisatawan asing. Pengetahuannya tentang tempat wisata yang ada di seantero Jawa Timur dan Bali juga bisa diacungi jempol. Obrolan demi obrolan terus mengalir di dalam mobil yang melaju kencang membelah jalanan. Dian dan Nurul terkadang juga ikut menyambungi obrolan. Malam semakin larut dan kami kemudian memasuki wilayah hutan di kanan kiri jalan. Dih, kondisinya benar-benar sepi mirip di settingan film-film horror. Saya berani bersumpah, kalau disuruh tukar posisi menjadi Pak Dany seperti sekarang ini pasti saya sudah angkat tangan. Ngeri aja bawaannya. -_-
Tak terasa kami semua sampai juga di Paltuding setelah menempuh perjalanan hampir satu setengah jam-an dari bengkel tadi. Brrr! Hawa dingin khas pegunungan langsung terasa menusuk tulung. Apalagi suasana sehabis hujan masih tertempel di kawasan itu. Eh tapi sebentar, kok ada palang menutupi pintu masuk ke Gunung Ijen. Pak Dany nampaknya juga melihat dan merasakan keanehan dari hal tersebut. Selanjutnya, beliau turun dari mobil dan memutuskan menuju pos jaga. Katanya sih ada teman lama yang bekerja disitu. Tak berapa lama, Pak Dany kembali masuk ke dalam mobil. Setengah berbisik, beliau mengatakan kabar yang mengejutkan. Kawah Ijen tengah ditutup. WHAT? HOW COME? Terus bagaimana nasib kami? Kami yang sudah terseok-seok menuju kemari. Seakan menangkap raut kerisauan di wajah saya, Pak Dany pun melanjutkan perkataannya. Memang tengah ditutup, tapi petugas memperbolehkan para pengunjung untuk naik demi melihat blue flame dengan satu persyaratan tak terbantahkan. Resiko ditanggung sendiri. Glek! Seakan belum cukup kabar buruk yang kami terima, datanglah kabar buruk lain. Otomatis karena ditutup, semua fasilitas yang disediakan pengelola juga ditutup termasuk adalah kamar kecil. Dih, kalau buat saya, Dian sama Pak Dany mah tidak begitu masalah. Kami cowok, gampang kalau mau pipis. Masalahnya, bagaimana dengan lima wanita tangguh yang satu rombongan dengan kami? Hihihih.
Alasan penutupan Kawah Ijen sendiri masih simpang siur. Saya yang penasaran kemudian memutuskan turun dari mobil dan mencoba mencari tahu kepada beberapa orang. Bapak berkupluk penjaga warung mengatakan kalau penutupan dikarenakan adanya kenaikan aktivitas vulkanologi dari Gunung Ijen. Kemarin sih statusnya masih berada pada level siaga. Adapula orang yang mengatakan kalau penutupan ini dikarenakan klaim dua daerah terhadap kepemilikan Kawah Ijen. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember sama-sama bersikukuh kalau Kawah Ijen berada dalam wilayah mereka. Konflik klaim ini kasusnya masih bergulir hingga sekarang. Mana yang benar, saya juga tidak begitu tahu. Tapi sepertinya saya lebih percaya kepada adanya kenaikan aktivitas vulkanologi deh. Heheh. Semakin lama orang yang berada di dalam mobil semakin sedikit. Jauh sebelum saya keluar, Aik dan Nurul sudah turun duluan dan berjalan menuju salah satu pondokan di dekat pos jaga demi mencari sinyal. Tak berapa lama, Mbak Vica dan Mbak Septi yang kelaparan juga memutuskan turun dari mobil dan pergi mencari makanan di warung sekitaran pos jaga. Sebenarnya saya juga kelaparan, tapi rasanya malas banget harus berdingin-dinginan demi mencari makan.
Hawa dingin yang terus terasa menusuk tulang akhirnya membuat saya masuk kembali ke dalam mobil. Di dalam mobil, obrolan kembali terjalin di antara saya, Dian dan Pak Dany. Mbak Lukit masih terbuai oleh mimpi. Secara bergantian Nurul, Aik, Mbak Vica dan Mbak Septi juga kembali masuk ke dalam mobil. Obrolan malam itu pun berubah menyerempet ke cerita horror. Pak Dany menceritakan kisah-kisah mistis dari daerah-daerah yang ada di Banyuwangi. Nama Banyuwangi sendiri sudah terkenal di kalangan masyarakat luas sebagai daerah yang kental dengan ilmu hitam dan hal-hal klenik semacamnya. Lama sekali Pak Dany bercerita dan sukses telah membuat bulu kuduk saya berdiri saking merindingnya. Syukurlah, mungkin saking capeknya bercerita beliau mengakhiri obrolan tengah malam itu dan menyuruh kami semua untuk tidur saja. Dua jam lagi kita semua akan memulai pendakian menuju Kawah Ijen. Kami semua pun manut dan memutuskan untuk mencoba memejamkan mata. Sedangkan Pak Dany sendiri justru pamit keluar dari mobil untuk membeli kopi.
Saya tidak bisa tidur. Hawa dingin dari luar merasuk sampai ke dalam mobil. Teman-teman yang duduk di jok tengah sama jok belakang mah enak. Pada empet-empetan sehingga bikin anget. Lah, saya? Masa iya harus empet-empetan sama setir mobil? Huhuh. Saya lalu mengajak Dian untuk menyusul Pak Dany membeli kopi. Hitung-hitung menghangatkan tubuh sambil ngobrol sama pengunjung lain. Beberapa rombongan pengunjung sudah terlihat memulai pendakian mereka. Kami semua sih menunggu, belum waktunya untuk kami naik ke atas. Tak terasa waktu sudah bergerak ke arah jam satu dini hari, waktu yang kami sepakati bersama untuk memulai pendakian. Saya dan Dian langsung bergerak menuju mobil kembali dan membangunkan para anak perempuan. Masing-masing dari kami kemudian sibuk memakai perlengkapan pendakian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tiba-tiba salah seorang pengunjung yang saya temui di warung tadi menghampiri saya. Dia mengajak untuk berangkat bersama ditemani oleh pemandu dari penduduk sekitar. Tentu ada biayanya, seratus lima puluh ribu dan kalau mau nanti dibagi dua. Wah, saya diskusikan sama teman-teman dulu ya kakak. Mengejutkannya setelah mencuri dengar percakapan saya dengan pengunjung itu, Pak Dany tiba-tiba berkata kepada saya untuk berangkat sendiri saja. "Saya akan ikut kalian ke atas", tambahnya. We? Really? Asyik!
Seusai semua persiapan kelar dilaksanakan, kami bertujuh ditambah Pak Dany memulai perburuan dalam mencari si api biru. Perlahan namun pasti, langkah-langkah kami bergerak menyusuri rute pendakian Gunung Ijen. Gunung Ijen sendiri adalah salah satu gunung penyusun dalam kesatuan gunung berapi tipe strato yang dinamakan Kompleks Ijen. Tinggi gunung ini sebesar 2.443 meter dan tercatat sudah pernah empat kali meletus sepanjang sejarah. Menurut Pak Dany, rute pendakian menuju Kawah Ijen sendiri terbagi menjadi tiga yaitu rute mendatar, menanjak selanjutnya menurun. Awal pendakian adalah rute mendatar. Meski tidak bisa dikatakan mendatar seutuhnya karena sedikit demi sedikit mulai menanjak. Jalanan aspal masih terlihat di rute ini dan akhir rute berubah menjadi jalan berpasir. Rute menanjak adalah rute paling berat dan paling panjang sepanjang pendakian. Di beberapa bagian, tanjakannya benar-benar membuat lutut sampai gemetar saking curamnya. Pada rute menanjak ini akan ditemui dua pos. Pos pertama adalah pos timbang dimana para penambang sulfur menimbang sulfur yang dibawa mereka dari Kawah Ijen sekaligus tempat rehat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Paltuding. Sungguh mereka adalah cerminan pekerja keras sejati. Bayangkan, tiap malam harus mempertaruhkan nyawa mereka demi mengangkut pecahan sulfur dari tempat yang sewaktu-waktu bisa mengeluarkan gas beracun. Kalian tahu mereka dibayar berapa? Sekali angkutan mereka hanya dibayar Rp 700 dengan beban angkutan yang bisa mencapai 90 kilogram lebih! Padahal, paling banter mereka hanya kuat mengangkut sebanyak lima kali dalam sehari. Ah, saya langsung merasa nothing. *sedih*
Pos kedua dari rute menanjak dinamakan pos bunder. Saya juga tidak tahu pasti kenapa dinamakan seperti itu. Yang pasti di pos ini saya bisa sedikit bernafas lega karena rutenya yang lumayan landai meski harus ekstra hati-hati karena langsung berbatasan dengan jurang. Apalagi saat itu langit masih gelap gulita. Salah langkah sedikit bisa wassalam. Beberapa kali rombongan kami disalip oleh rombongan bule. Ajegile, fisik mereka tampak kuat banget dengan langkah kaki panjang-panjang. Saya selangkah, mereka sudah tiga langkah kali ya. Kami tidak mau kalah. Meski sedikit-sedikit istirahat, tapi begitu mendengar Kawah Ijen sudah di depan mata langsung gas pol! Stop! Pak Dany tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kita sudah sampai. Hah? Seriusan Pak? Ketemu api biru dong? Hore! Pak Dany menggelengkan kepala. Katanya, kalau melihat api biru secara jelas kita harus melewati rute menurun terlebih dahulu untuk kesana. Pak Dany kemudian mengacungkan tangannya ke satu arah, arah yang terlihat rute menurun dengan batuan-batuan terjal sepanjang mata memandang. Waduh, saya langsung jiper. Turunnya sih mungkin tidak seberapa, naik ke atasnya lagi itu yang pasti bikin ngap-ngapan. Hal itu sudah dibuktikan para pemburu yang sudah turun duluan dari rombongan kami, pas saat naik wajah mereka menunjukkan rasa lelah yang teramat sangat. Waks. By the way, waktu yang kami butuhkan untuk trekking dari Paltuding sampai atas Gunung Ijen hampir sekitar 2,5 jam-an coy!
Di antara kami berdelapan, cuma si Aik dan Nurul yang akhirnya memutuskan untuk turun ke kawah. Sedangkan sisanya memutuskan menunggu matahari terbit di atas, termasuk saya. Eh tapi, blue flame sendiri bisa kok dilihat dari atas meski tidak begitu jelas. Ada beberapa titik yang mengeluarkan api kebiruan. Keren banget! Sayangnya, api biru ini sulit banget untuk diabadikan pakai kamera. Berulang kali saya mencoba memfoto dari atas tapi hasilnya gelap aja gitu. Gumpalan asap besar juga terlihat keluar dari kawah. Hal itulah yang sebenarnya membuat saya mengurungkan niat untuk turun ke bawah. Dari atas saja bau belerangnya menyengat banget apalagi kalau saya nekat turun ke bawah. Brrr, semakin mendekati pagi suhu di atas Gunung Ijen semakin dingin saja. Kami yang menunggu di atas sampai harus duduk merapat agar bisa merasakan kehangatan. Saya cuma bisa berdoa dalam hati, semoga matahari segera terbit dan bisa menghangatkan kami semua dengan sinarnya.
Omong-omong soal blue flame, tahukah kenapa api bisa berubah warna menjadi biru seperti itu? Seperti pada kompor gas, api biru merupakan hasil reaksi dari molekul-molekul alam yang saling bertumbukan dan menghasilkan api. Semakin tinggi konsentrasi molekul tersebut, semakin panas api yang dihasilkan. Di beberapa kejadian, kenaikan panas yang dihasilkan oleh api akan merubah warna api itu sendiri dan api berwarna kebiruan (blue flame) mayoritas lebih panas dibandingkan api berwarna kuning atau merah. Fenomena blue flame di Kawah Ijen sendiri hanya terjadi ketika malam dan waktu paling tepat untuk menyaksikannya adalah saat tengah malam hingga mendekati subuh.
Saat sinar matahari mulai menyinari Gunung Ijen, si Aik dan Nurul baru terlihat sampai ke atas menghampiri kami. Ada untungnya juga saya tidak turun ke bawah karena Aik dan Nurul mengaku kalau blue flame sulit banget untuk difoto. Hasil jepretan mereka juga tidak jelas. Tapi yang pasti, melihat blue flame dari bawah jauh lebih keren daripada melihat dari atas. Hey look! Gunung Ijen ternyata cakep banget kalau sudah terang benderang disinari oleh sang surya. Guratan-guratan di bebatuan nampak jelas terlihat di sekitaran kawah. Tanah berwarna cokelat kekuningan tersebar merata di sekeliling kami termasuk tempat yang tengah kami pijak. Subhanallah, I felt like standing on Mars! Cakep banget! Sayangnya cuma satu, danau dengan air berwarna hijau yang menjadi primadona lain dari Gunung Ijen tidak terlihat karena ditutupi asap tebal dari Kawah Ijen. Huhuh.
Keindahan Gunung Ijen memang tidak terbantahkan. Selain dibuai oleh keindahan blue flame yang termahsyur itu, kami semua juga dibuai oleh pesona dari Gunung Ijen itu sendiri khususnya saat hari sudah terang. Ah, Tuhan memang tengah berbahagia saat menciptakan negeri kami Indonesia. Lihatlah, perpaduan antara kuningnya tanah, birunya langit dan hijaunya pepohonan bersanding mesra di sudut salah satu pulau Indonesia, Jawa. Rasanya kami dapat lebih banyak "harta karun" dari petualangan memburu blue flame di Kawah Ijen hari itu. Fyuh, Thanks God. You're really kind.
How Much I Spent:
Kawah Ijen-Salatiga (7-9 Juni 2013)
1. Carter mobil 24 jam all in : Rp 600.000,00 dibagi 7: Rp 86.000,00
2. Makan siang di Banyuwangi : Rp 11.000,00
3. Beli kopi di Paltuding : Rp 3.000,00
4. Beli teh anget di Paltuding : Rp 2.000,00
5. Sarapan di Banyuwangi : Rp 11.000,00
6. Beli oleh-oleh dibagi dua sama Mbak Vica : Rp 20.000,00/2: Rp 10.000,00
7. Ongkos angkutan Situbondo-Terminal Situbondo : Rp 3.000,00
8. Bus Situbondo-Probolinggo (Ekonomi) : Rp 14.000,00
9. Makan malam di Probolinggo : Rp 15.000,00
10. Bus Probolinggo-Surabaya (AC Patas): Rp 23.000,00
11. Bus Surabaya-Solo (PO EKA) : Rp 58.000,00
12. Peron Terminal Tirtonadi : Rp 500,00
14. Bus Solo-Salatiga (PO Taruna) : Rp 10.000,00
TOTAL = Rp 246.500,00
Total biaya Salatiga-Banyuwangi-Salatiga : Rp 195.500,00 + Rp 246.500,00 = Rp 442.000,00
Salam Kupu-Kupu ^^d
Hari Jumat sekitar jam dua siang, kami kembali ke pusat informasi Taman Nasional Baluran. Disana kami sudah ditunggu oleh seorang laki-laki berusia 38 tahunan. Beliau memperkenalkan diri dengan nama Pak Dany. Pak Dany inilah yang nantinya akan menemani dan menjadi sopir selama perjalanan ke Kawah Ijen. Kijang kapsul warna merah yang kami tumpangi pun membelah jalanan Banyuwangi. Ada dua rute yang bisa digunakan kalau hendak menuju Kawah Ijen. Ternyata cara teman saya yang cukup ribet itu adalah rute dari arah Bondowoso yang melewati Sasak Perot menuju Jambu baru ke Paltuding. Sedangkan, Pak Dany memilih mengajak kami menggunakan rute Banyuwangi melewati Kecamatan Licin baru sampai ke Paltuding. Katanya sih selain lebih hemat waktu juga jalanannya lebih halus karena baru saja diperbaiki oleh pemerintah. Pilihan kami menyarter mobil nampaknya memang tepat, ketika sampai di Kota Banyuwangi mendadak hujan deras kembali mengguyur jalanan. Lumayan, bisa istirahat tanpa takut kehujanan. Penting banget itu apalagi besok pagi-pagi buta kami harus mendaki Gunung Ijen.
Apesnya, saat berada di tanjakan menuju Kecamatan Licin tiba-tiba mobil yang kami tumpangi menunjukkan tanda kurang sehat. Bunyi semacam suara besi terseret di jalanan membuat kami semua kaget. Pak Dany, saya dan Dian pun turun dari mobil dan mengecek di bawah dan sekeliling mobil. Darimanakah suara itu berasal? Berkali-kali mengecek tapi kami bertiga tidak menemukan ada yang salah dengan mobil itu. Seusai berdiskusi sejenak, Pak Dany memutar balik mobil ke kota. Rencananya mobil tersebut akan dibawa ke bengkel langganan untuk dicek apa yang salah. Yap, lebih baik mencegah di awal daripada terjadi apa-apa saat kami tengah berada di Ijen. Sembari mobil diperbaiki oleh para teknisi bengkel, kami menghabiskan waktu dengan bersantai di rumah pemilik bengkel yang baik banget. Kami bisa sholat, bisa bersih-bersih diri, main kartu bahkan menemani anak pemilik bengkel nonton televisi. Sesisir pisang asli Banyuwangi disajikan oleh pemilik bengkel kepada kami. Pisangnya unik, masih hijau-hijau tapi sudah manis. Bahkan sisa pisang yang belum termakan dipersilahkan bapak pemilik bengkel untuk kami bawa sebagai bekal ke Ijen. Alhamdulillah, good people do exist everywhere.
Selepas mobil kembali prima, kami melanjutkan perjalanan menuju Paltuding. Malam sudah semakin larut. Para anak perempuan sudah sukses terkapar dalam lautan mimpi mereka. Saya yang kebagian duduk di jok depan, mau tak mau akhirnya menemani Pak Dany mengobrol sepanjang perjalanan. Surprise, selain helpful dan ramah ternyata beliau orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Selain bercerita kehidupan rumah tangga yang berjalan kurang mulus, Pak Dany yang kemudian tinggal bersama dua orang putranya menceritakan usaha wedding organizer dan travel yang tengah digelutinya. Usahanya masih baru. Kalau tidak salah ingat baru berjalan 5 tahunan. Tapi jangan salah, Pak Dany sudah sering mengantar orang kemana-mana termasuk wisatawan asing. Pengetahuannya tentang tempat wisata yang ada di seantero Jawa Timur dan Bali juga bisa diacungi jempol. Obrolan demi obrolan terus mengalir di dalam mobil yang melaju kencang membelah jalanan. Dian dan Nurul terkadang juga ikut menyambungi obrolan. Malam semakin larut dan kami kemudian memasuki wilayah hutan di kanan kiri jalan. Dih, kondisinya benar-benar sepi mirip di settingan film-film horror. Saya berani bersumpah, kalau disuruh tukar posisi menjadi Pak Dany seperti sekarang ini pasti saya sudah angkat tangan. Ngeri aja bawaannya. -_-
Tak terasa kami semua sampai juga di Paltuding setelah menempuh perjalanan hampir satu setengah jam-an dari bengkel tadi. Brrr! Hawa dingin khas pegunungan langsung terasa menusuk tulung. Apalagi suasana sehabis hujan masih tertempel di kawasan itu. Eh tapi sebentar, kok ada palang menutupi pintu masuk ke Gunung Ijen. Pak Dany nampaknya juga melihat dan merasakan keanehan dari hal tersebut. Selanjutnya, beliau turun dari mobil dan memutuskan menuju pos jaga. Katanya sih ada teman lama yang bekerja disitu. Tak berapa lama, Pak Dany kembali masuk ke dalam mobil. Setengah berbisik, beliau mengatakan kabar yang mengejutkan. Kawah Ijen tengah ditutup. WHAT? HOW COME? Terus bagaimana nasib kami? Kami yang sudah terseok-seok menuju kemari. Seakan menangkap raut kerisauan di wajah saya, Pak Dany pun melanjutkan perkataannya. Memang tengah ditutup, tapi petugas memperbolehkan para pengunjung untuk naik demi melihat blue flame dengan satu persyaratan tak terbantahkan. Resiko ditanggung sendiri. Glek! Seakan belum cukup kabar buruk yang kami terima, datanglah kabar buruk lain. Otomatis karena ditutup, semua fasilitas yang disediakan pengelola juga ditutup termasuk adalah kamar kecil. Dih, kalau buat saya, Dian sama Pak Dany mah tidak begitu masalah. Kami cowok, gampang kalau mau pipis. Masalahnya, bagaimana dengan lima wanita tangguh yang satu rombongan dengan kami? Hihihih.
Alasan penutupan Kawah Ijen sendiri masih simpang siur. Saya yang penasaran kemudian memutuskan turun dari mobil dan mencoba mencari tahu kepada beberapa orang. Bapak berkupluk penjaga warung mengatakan kalau penutupan dikarenakan adanya kenaikan aktivitas vulkanologi dari Gunung Ijen. Kemarin sih statusnya masih berada pada level siaga. Adapula orang yang mengatakan kalau penutupan ini dikarenakan klaim dua daerah terhadap kepemilikan Kawah Ijen. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember sama-sama bersikukuh kalau Kawah Ijen berada dalam wilayah mereka. Konflik klaim ini kasusnya masih bergulir hingga sekarang. Mana yang benar, saya juga tidak begitu tahu. Tapi sepertinya saya lebih percaya kepada adanya kenaikan aktivitas vulkanologi deh. Heheh. Semakin lama orang yang berada di dalam mobil semakin sedikit. Jauh sebelum saya keluar, Aik dan Nurul sudah turun duluan dan berjalan menuju salah satu pondokan di dekat pos jaga demi mencari sinyal. Tak berapa lama, Mbak Vica dan Mbak Septi yang kelaparan juga memutuskan turun dari mobil dan pergi mencari makanan di warung sekitaran pos jaga. Sebenarnya saya juga kelaparan, tapi rasanya malas banget harus berdingin-dinginan demi mencari makan.
Hawa dingin yang terus terasa menusuk tulang akhirnya membuat saya masuk kembali ke dalam mobil. Di dalam mobil, obrolan kembali terjalin di antara saya, Dian dan Pak Dany. Mbak Lukit masih terbuai oleh mimpi. Secara bergantian Nurul, Aik, Mbak Vica dan Mbak Septi juga kembali masuk ke dalam mobil. Obrolan malam itu pun berubah menyerempet ke cerita horror. Pak Dany menceritakan kisah-kisah mistis dari daerah-daerah yang ada di Banyuwangi. Nama Banyuwangi sendiri sudah terkenal di kalangan masyarakat luas sebagai daerah yang kental dengan ilmu hitam dan hal-hal klenik semacamnya. Lama sekali Pak Dany bercerita dan sukses telah membuat bulu kuduk saya berdiri saking merindingnya. Syukurlah, mungkin saking capeknya bercerita beliau mengakhiri obrolan tengah malam itu dan menyuruh kami semua untuk tidur saja. Dua jam lagi kita semua akan memulai pendakian menuju Kawah Ijen. Kami semua pun manut dan memutuskan untuk mencoba memejamkan mata. Sedangkan Pak Dany sendiri justru pamit keluar dari mobil untuk membeli kopi.
Saya tidak bisa tidur. Hawa dingin dari luar merasuk sampai ke dalam mobil. Teman-teman yang duduk di jok tengah sama jok belakang mah enak. Pada empet-empetan sehingga bikin anget. Lah, saya? Masa iya harus empet-empetan sama setir mobil? Huhuh. Saya lalu mengajak Dian untuk menyusul Pak Dany membeli kopi. Hitung-hitung menghangatkan tubuh sambil ngobrol sama pengunjung lain. Beberapa rombongan pengunjung sudah terlihat memulai pendakian mereka. Kami semua sih menunggu, belum waktunya untuk kami naik ke atas. Tak terasa waktu sudah bergerak ke arah jam satu dini hari, waktu yang kami sepakati bersama untuk memulai pendakian. Saya dan Dian langsung bergerak menuju mobil kembali dan membangunkan para anak perempuan. Masing-masing dari kami kemudian sibuk memakai perlengkapan pendakian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tiba-tiba salah seorang pengunjung yang saya temui di warung tadi menghampiri saya. Dia mengajak untuk berangkat bersama ditemani oleh pemandu dari penduduk sekitar. Tentu ada biayanya, seratus lima puluh ribu dan kalau mau nanti dibagi dua. Wah, saya diskusikan sama teman-teman dulu ya kakak. Mengejutkannya setelah mencuri dengar percakapan saya dengan pengunjung itu, Pak Dany tiba-tiba berkata kepada saya untuk berangkat sendiri saja. "Saya akan ikut kalian ke atas", tambahnya. We? Really? Asyik!
Gaya kami untuk mengatasi kedinginan: foto-foto! |
Seusai semua persiapan kelar dilaksanakan, kami bertujuh ditambah Pak Dany memulai perburuan dalam mencari si api biru. Perlahan namun pasti, langkah-langkah kami bergerak menyusuri rute pendakian Gunung Ijen. Gunung Ijen sendiri adalah salah satu gunung penyusun dalam kesatuan gunung berapi tipe strato yang dinamakan Kompleks Ijen. Tinggi gunung ini sebesar 2.443 meter dan tercatat sudah pernah empat kali meletus sepanjang sejarah. Menurut Pak Dany, rute pendakian menuju Kawah Ijen sendiri terbagi menjadi tiga yaitu rute mendatar, menanjak selanjutnya menurun. Awal pendakian adalah rute mendatar. Meski tidak bisa dikatakan mendatar seutuhnya karena sedikit demi sedikit mulai menanjak. Jalanan aspal masih terlihat di rute ini dan akhir rute berubah menjadi jalan berpasir. Rute menanjak adalah rute paling berat dan paling panjang sepanjang pendakian. Di beberapa bagian, tanjakannya benar-benar membuat lutut sampai gemetar saking curamnya. Pada rute menanjak ini akan ditemui dua pos. Pos pertama adalah pos timbang dimana para penambang sulfur menimbang sulfur yang dibawa mereka dari Kawah Ijen sekaligus tempat rehat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Paltuding. Sungguh mereka adalah cerminan pekerja keras sejati. Bayangkan, tiap malam harus mempertaruhkan nyawa mereka demi mengangkut pecahan sulfur dari tempat yang sewaktu-waktu bisa mengeluarkan gas beracun. Kalian tahu mereka dibayar berapa? Sekali angkutan mereka hanya dibayar Rp 700 dengan beban angkutan yang bisa mencapai 90 kilogram lebih! Padahal, paling banter mereka hanya kuat mengangkut sebanyak lima kali dalam sehari. Ah, saya langsung merasa nothing. *sedih*
Salah seorang penambang |
Bongkahan belerang |
Pos kedua dari rute menanjak dinamakan pos bunder. Saya juga tidak tahu pasti kenapa dinamakan seperti itu. Yang pasti di pos ini saya bisa sedikit bernafas lega karena rutenya yang lumayan landai meski harus ekstra hati-hati karena langsung berbatasan dengan jurang. Apalagi saat itu langit masih gelap gulita. Salah langkah sedikit bisa wassalam. Beberapa kali rombongan kami disalip oleh rombongan bule. Ajegile, fisik mereka tampak kuat banget dengan langkah kaki panjang-panjang. Saya selangkah, mereka sudah tiga langkah kali ya. Kami tidak mau kalah. Meski sedikit-sedikit istirahat, tapi begitu mendengar Kawah Ijen sudah di depan mata langsung gas pol! Stop! Pak Dany tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kita sudah sampai. Hah? Seriusan Pak? Ketemu api biru dong? Hore! Pak Dany menggelengkan kepala. Katanya, kalau melihat api biru secara jelas kita harus melewati rute menurun terlebih dahulu untuk kesana. Pak Dany kemudian mengacungkan tangannya ke satu arah, arah yang terlihat rute menurun dengan batuan-batuan terjal sepanjang mata memandang. Waduh, saya langsung jiper. Turunnya sih mungkin tidak seberapa, naik ke atasnya lagi itu yang pasti bikin ngap-ngapan. Hal itu sudah dibuktikan para pemburu yang sudah turun duluan dari rombongan kami, pas saat naik wajah mereka menunjukkan rasa lelah yang teramat sangat. Waks. By the way, waktu yang kami butuhkan untuk trekking dari Paltuding sampai atas Gunung Ijen hampir sekitar 2,5 jam-an coy!
Crowded! |
Batang kayu yang mati akibat letusan |
Di antara kami berdelapan, cuma si Aik dan Nurul yang akhirnya memutuskan untuk turun ke kawah. Sedangkan sisanya memutuskan menunggu matahari terbit di atas, termasuk saya. Eh tapi, blue flame sendiri bisa kok dilihat dari atas meski tidak begitu jelas. Ada beberapa titik yang mengeluarkan api kebiruan. Keren banget! Sayangnya, api biru ini sulit banget untuk diabadikan pakai kamera. Berulang kali saya mencoba memfoto dari atas tapi hasilnya gelap aja gitu. Gumpalan asap besar juga terlihat keluar dari kawah. Hal itulah yang sebenarnya membuat saya mengurungkan niat untuk turun ke bawah. Dari atas saja bau belerangnya menyengat banget apalagi kalau saya nekat turun ke bawah. Brrr, semakin mendekati pagi suhu di atas Gunung Ijen semakin dingin saja. Kami yang menunggu di atas sampai harus duduk merapat agar bisa merasakan kehangatan. Saya cuma bisa berdoa dalam hati, semoga matahari segera terbit dan bisa menghangatkan kami semua dengan sinarnya.
Sunrise dari Gunung Ijen |
Mbak Septi kemarin protes, fotonya gak kece katanya. Ini sebagai ganti dari foto posting Baluran. Kalau masih kurang kece, kesalahan mungkin ada pada model hahahah. :p |
Omong-omong soal blue flame, tahukah kenapa api bisa berubah warna menjadi biru seperti itu? Seperti pada kompor gas, api biru merupakan hasil reaksi dari molekul-molekul alam yang saling bertumbukan dan menghasilkan api. Semakin tinggi konsentrasi molekul tersebut, semakin panas api yang dihasilkan. Di beberapa kejadian, kenaikan panas yang dihasilkan oleh api akan merubah warna api itu sendiri dan api berwarna kebiruan (blue flame) mayoritas lebih panas dibandingkan api berwarna kuning atau merah. Fenomena blue flame di Kawah Ijen sendiri hanya terjadi ketika malam dan waktu paling tepat untuk menyaksikannya adalah saat tengah malam hingga mendekati subuh.
Blue flame yang berhasil saya foto |
Guratan pada daerah kawah, keren ya? |
Pohon yang meranggas |
Gunung lain penyusun Kompleks Ijen |
Saat sinar matahari mulai menyinari Gunung Ijen, si Aik dan Nurul baru terlihat sampai ke atas menghampiri kami. Ada untungnya juga saya tidak turun ke bawah karena Aik dan Nurul mengaku kalau blue flame sulit banget untuk difoto. Hasil jepretan mereka juga tidak jelas. Tapi yang pasti, melihat blue flame dari bawah jauh lebih keren daripada melihat dari atas. Hey look! Gunung Ijen ternyata cakep banget kalau sudah terang benderang disinari oleh sang surya. Guratan-guratan di bebatuan nampak jelas terlihat di sekitaran kawah. Tanah berwarna cokelat kekuningan tersebar merata di sekeliling kami termasuk tempat yang tengah kami pijak. Subhanallah, I felt like standing on Mars! Cakep banget! Sayangnya cuma satu, danau dengan air berwarna hijau yang menjadi primadona lain dari Gunung Ijen tidak terlihat karena ditutupi asap tebal dari Kawah Ijen. Huhuh.
Keindahan Gunung Ijen memang tidak terbantahkan. Selain dibuai oleh keindahan blue flame yang termahsyur itu, kami semua juga dibuai oleh pesona dari Gunung Ijen itu sendiri khususnya saat hari sudah terang. Ah, Tuhan memang tengah berbahagia saat menciptakan negeri kami Indonesia. Lihatlah, perpaduan antara kuningnya tanah, birunya langit dan hijaunya pepohonan bersanding mesra di sudut salah satu pulau Indonesia, Jawa. Rasanya kami dapat lebih banyak "harta karun" dari petualangan memburu blue flame di Kawah Ijen hari itu. Fyuh, Thanks God. You're really kind.
Kami semua dengan Pak Dany |
How Much I Spent:
Kawah Ijen-Salatiga (7-9 Juni 2013)
1. Carter mobil 24 jam all in : Rp 600.000,00 dibagi 7: Rp 86.000,00
2. Makan siang di Banyuwangi : Rp 11.000,00
3. Beli kopi di Paltuding : Rp 3.000,00
4. Beli teh anget di Paltuding : Rp 2.000,00
5. Sarapan di Banyuwangi : Rp 11.000,00
6. Beli oleh-oleh dibagi dua sama Mbak Vica : Rp 20.000,00/2: Rp 10.000,00
7. Ongkos angkutan Situbondo-Terminal Situbondo : Rp 3.000,00
8. Bus Situbondo-Probolinggo (Ekonomi) : Rp 14.000,00
9. Makan malam di Probolinggo : Rp 15.000,00
10. Bus Probolinggo-Surabaya (AC Patas): Rp 23.000,00
11. Bus Surabaya-Solo (PO EKA) : Rp 58.000,00
12. Peron Terminal Tirtonadi : Rp 500,00
14. Bus Solo-Salatiga (PO Taruna) : Rp 10.000,00
TOTAL = Rp 246.500,00
Total biaya Salatiga-Banyuwangi-Salatiga : Rp 195.500,00 + Rp 246.500,00 = Rp 442.000,00
Salam Kupu-Kupu ^^d
terima kasih sudah berkunjung.
ReplyDeletesalam kenal juga. :)
lets go to the beautiful places to get lost agaaiinn someday :D
ReplyDeleteand who is this? nurul kah?
Deletelet's goo!
asik asik.. nyusul aaaaahhhh,,,,
ReplyDeletehahah iya. terima kasih atas kunjungannya. :)
Delete