Friday, July 3, 2015

Salatiga Dan Lelucon Basi Nilai Tujuh

Gunung Merbabu - Gunung Pelindung Kota

Saya tengah menerawang kegelapan malam dari atas kereta Argo Anggrek Malam saat seorang penumpang yang duduk di sebelah mencoba memulai percakapan.

"Turun dimana, mas?" kata seorang pria paruh baya berusia di atas 40 tahun, dengan kumis tipis menghiasi ruang antar hidung dan bibirnya.

"Ah, saya turun di Semarang, bapak sendiri?" jawab saya mencoba beramah-ramah. Kebetulan saya sedang bosan, dan butuh teman mengobrol. Nyaris 3 jam di atas kereta tanpa kesibukan apapun, bisa membuat siapa saja menjadi mati gaya. Termasuk saya yang sudah berulang kali mencoba melelapkan diri namun terus saja terbangun. Padahal stasiun tujuan saya - Stasiun Tawang, bakalan terlihat setelah menempuh tiga sampai empat jam perjalanan lagi. Mengobrol dengan bapak ini setidaknya akan menyingkirkan sedikit jatah dari waktu mati gaya saya.

"Tujuan terakhir, Surabaya. Mas asli Semarang? Saya sering kesana." tanya si bapak kembali.

Saya menggeleng, "Bukan pak, Saya asli Salatiga.", saya mengakhiri kalimat disana, merasakan kecanggungan masih sedikit merajai diri.

"Wah, Salatiga!", tiba-tiba bapak itu berujar dengan nada keras. Mengagetkan saya, dan dua penumpang di kursi seberang. Mereka menoleh ke arah kami berdua dengan sorotan mata yang mengisyaratkan rasa terganggu. Mereka memang tengah terkantuk-kantuk saat si bapak mendadak berujar lantang, seakan telah menemukan seonggok harta karun di padang gurun. Saya jadi bertanya-tanya, ada apa dengan kampung halaman saya yang membuat bapak ini mengubah nada bicara.

"Nilainya pasti cuma dapat tujuh! Hahahaha", tambahnya diiringi tawa membahana. Membuat dua orang penumpang di kursi seberang, salah satunya segera memasang earphone di telinga. Saya? Saya cuma diam membeku untuk beberapa saat. Prasangka saya sebelumnya yang mengatakan ada kenangan khusus antara bapak ini dengan Kota Salatiga buram sudah. Terhapus oleh lelucon garing yang entah darimana ia bermula. Hih, basi!

Sejujurnya, ini bukanlah kali pertama saya menerima lelucon semacam itu dari lawan bicara saya di berbagai kesempatan dan waktu. Saking seringnya, urat yang bertugas menggerakkan garis bibir saya ke bentuk lengkung telah berubah menjadi kaku. Pula halnya dengan telinga, ia sudah menganggap lelucon tersebut bak mantra penyihir jahat yang tak ingin lagi masuk ke dalam ruang-ruang telinga.

Saya tak pernah menyalahkan bapak penumpang di sebelah saya ini dan beberapa orang yang mengeluarkan lelucon senada. Saya menyadari kalau Salatiga mungkin adalah kota yang asing bagi mereka. Kota yang tak pernah terdengar kabar beritanya, selain lelucon basi nilai tujuh yang kebanyakan pasti ia dengar dari media atau mulut ke mulut.

****

Ada banyak hal yang bisa dilakukan supaya nama suatu daerah bisa terangkat dan diketahui oleh banyak orang. Menurut saya, salah satunya adalah lewat pariwisata. Sayang, dunia pariwisata di Kota Salatiga bak putri salju yang tengah menanti dibangunkan oleh sang pangeran. Menanti "orang" yang benar-benar sadar akan potensi wisata kota dan mengemasnya dalam kemasan menarik.

Saya pun mengajak beberapa kawan saya untuk berandai-andai. Mereka ini adalah: Uul, Agam, Meykke dan Vandi.  Kami berlima bukanlah siapa-siapa. Kesamaan dari kami semua hanyalah suka jalan-jalan dan cinta kepada Salatiga.

Dua macam pertanyaan saya lontarkan kepada masing-masing dari mereka. Pertanyaan yang saya yakin sebenarnya sering diperdengungkan di ajang pencarian duta wisata kota, namun tetap saja kontribusi atau bentuk tindakan nyatanya belum begitu terdengar. Kedua pertanyaan itu adalah: "mungkinkah Kota Salatiga mengembangkan sektor pariwisatanya?", dan "jika kalian adalah orang nomer satu di Salatiga dan diberikan tugas untuk mengangkat nama kota melalui pariwisata, apa yang akan kalian jual dan benahi?".

Kedua pertanyaan ini sanggup membuat kami berdiskusi semalaman baik di dunia nyata maupun melalui media sosial. Kami semua sepakat menjawab pertanyaan pertama dengan kata mungkin. Ada peluang kampung halaman kami menjadi sebuah destinasi pariwisata di masa depan, asalkan seluruh komponen masyarakat mengetahui betul potensi kota.

Pertanyaan kedua menelurkan berbagai macam jawaban, yang membuat saya semakin sadar kalau Salatiga punya sesuatu untuk dijual. Beberapa dari kami membandingkan apa yang dimiliki Kota Salatiga dengan apa yang dimiliki oleh daerah atau negara lain, dan sukses mereka jual. Kalau mereka bisa, kenapa kami tidak?

Menurut kami, setidaknya ada empat modal utama yang bisa digunakan Kota Salatiga untuk menjaring wisatawan. Keempat hal ini muncul didasarkan atas apa yang kami lihat, dengar, raba dan rasakan ketika sekedar menjelajah kota. Iya, menikmati dan menyadari keindahan Salatiga tak bisa hanya dengan menggunakan satu indera saja.

1. Nilai Sejarah
Sebagai kota tertua kedua di Indonesia setelah Palembang, sebenarnya ada banyak cerita yang bisa didengar dari Salatiga. Prasasti Plumpungan menyebutkan kalau Kota Salatiga dahulu adalah wilayah perdikan - suatu daerah yang karena keistimewaannya diberikan status bebas pajak oleh raja. Berdasarkan prasasti itu pulalah tanggal kelahiran kota diambil, yakni pada 24 Juli 750 Masehi. Membuatnya pada tahun ini genap berusia 1265 tahun.

Prasasti Plumpungan.

Pada era kolonial, Kota Salatiga juga memainkan peran yang penting. 1 Juli 1917, Pemerintah Kolonial Hinda Belanda mengubah Salatiga yang saat itu masih berupa desa menjadi stads gementee atau kota kecil. Banyak kemudian orang Belanda yang memutuskan tetap tinggal, tersihir oleh kesejukan dan keasrian yang ditawarkan oleh Salatiga. Julukan "de schoonste stad van Midden Java" pun sempat dijabat. Kota paling indah seantero Jawa Tengah, katanya.

Kini, Salatiga tergabung ke dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Jaringan antar kota yang didirikan sebagai upaya melindungi kelestarian bangunan bersejarah yang ada di daerah-daerah. Masih ada banyak bangunan kuno dari jaman kolonial yang bisa dilihat disini, meski beberapa di antara mereka kondisinya mulai tampak memprihatinkan, dan terancam digantikan oleh rumah toko atau bangunan modern.

Salah satu bangunan peninggalan jaman kolonial yang kini
digunakan sebagai SMPN 1 Salatiga. Konon, menara itu
dulu menyimpan lonceng besar yang digunakan untuk
memanggil masyarakat.

Sempat terbersit keinginan saya untuk membuat free walking tour - tour mengelilingi benda atau bangunan bersejarah di Salatiga dengan menggunakan kaki. Saya bahkan sudah membuat peta kasar rute pendeknya, dimulai dari Patung Ganesha di pertengahan Jalan Osamaliki, kemudian berakhir pada Rumah Dinas Walikota yang berada di pusat kota.

Namun jujur, saya agak ngeri juga. Kebanyakan bangunan kuno yang ada di Salatiga kini dipakai sebagai tempat peribadahan, rumah pribadi, dan pusat militer. Saya jadi teringat cerita dari salah seorang teman lain yang sempat ketakutan karena dicecar berbagai macam pertanyaan oleh penjaga berseragam, gara-gara iseng mengabadikan salah satu arsitektur bangunan bergaya art deco melalui kamera. Andai tempat-tempat itu boleh dimasuki oleh masyarakat umum, tak usah terlalu ke dalam -hanya sebatas di halaman saja, pasti kami semua sudah merasa senang.

2. Kemajemukan Penduduk
Saya hendak berterima kasih kepada siapa pun yang menggagas mengubah stigma Kota Salatiga menjadi Kota Bhinneka Tunggal Ika baru-baru ini. Itu brilian! Kami berlima juga sepakat dengan ide tersebut. Bagi kami, kemajemukan penduduk adalah salah satu yang bisa dijual oleh Salatiga.

Saat berada di Salatiga, peluang setiap orang untuk berpapasan dengan orang yang berbeda suku atau bahkan ras bangsa bisa dikatakan besar. Dengan wilayah yang hanya seluas 56,78 kilometer persegi, penduduk Salatiga sangatlah berwarna. Data dari Pengembangan Sistem Informasi Kota Salatiga saja menyebutkan kalau penduduk dari 20 etnis besar di Indonesia bisa dijumpai disini. Angka itu belum termasuk ke sejumlah sub-etnis lain maupun Warga Negara Asing yang juga akan mudah kalian temukan saat sekedar cuci mata di kota.

Salah satu yang menjadi penyebab keberagaman penduduk tak lain adalah peran Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) - universitas terbesar seantero kota - yang menyumbang mahasiswa dari berbagai suku bangsa. Setiap tahunnya, UKSW akan menghelat dua agenda besar dalam menyambut mahasiswa baru yakni karnaval budaya dan pekan kuliner mahasiswa. Dua agenda tersebut bakal menampilkan kekayaan budaya maupun kuliner dari masing-masing suku asal mahasiswa.

Para mahasiswa asal Maluku tengah menampilkan Tarian
Cakalele - tarian perang suku mereka.

Sudah sepantasnya, Pemerintah Kota Salatiga mendukung penuh agenda tersebut. Karnaval budaya dan festival kuliner besar-besaran yang diadakan rutin setiap tahun bisa dijadikan sebagai senjata ampuh mengundang wisatawan untuk berkunjung ke kota. Kedua acara tersebut juga bisa menjadi cara bagus untuk memupuk kerukunan antar penduduk dan sense of belonging terhadap kota


Dua ksatria berkuda asal Bima

Ketika banyak daerah mencoba menjual kekhasan mereka, kenapa kita tak menjadi berbeda dengan menjual keanekaragaman yang kita miliki?

Keanggunan mahasiswi Sumatera Utara

"You don't need to travel around Indonesia. You just stop by here, Salatiga. One Stop Indonesia.", tungkas Agam menutup obrolan kami berdua malam itu.

3. Letak Strategis Dan Wilayah Kecil
"Bul, kau tahu apa yang hal paling menguntungkan yang dimiliki Salatiga? Letaknya yang strategis dan dikelilingi sabuk luar biasa", kata teman saya Vandi saat kami tengah berburu foto matahari terbit dari suatu desa.

Saya mengernyitkan dahi saat Vandi mengucapkan kata sabuk. Sabuk? Sabuk macam apa? Vandi pun menjelaskan dengan lebih terperinci. Salatiga itu beruntung. Berada di tengah jalur yang menghubungkan dua kota besar di Jawa Tengah - Solo dan Semarang. Salatiga juga dekat dengan Kota Jogjakarta, hanya sekitar dua jam perjalanan menggunakan kendaraan pribadi. Ketiga kota besar ini tentu saja geliat nadinya jauh lebih terdengar dibandingkan kota kecil kami. Membuat kami diberikan banyak pilihan ketika hendak mencari suasana yang tak mungkin ditemukan di Salatiga, gedung bioskop misalnya.

Pemandangan tiga gunung (Gunung Merbabu - Andong - Telomoyo)
dari suatu desa. Kami punya sabuk yang luar biasa, bukan?

Wilayah Salatiga dikelilingi pula oleh Kabupaten Semarang serta gunung-gunung di berbagai macam penjuru. Inilah yang dikatakan Vandi sebagai sabuk luar biasa. Kota Salatiga memang miskin wisata alam, tapi daerah di sekeliling kami menyuguhkan kekayaan alam itu dengan jarak yang hanya sepelemparan batu.

Eksotisme Desa Sumurup dan Rawa Pening. Jaraknya?
Hanya 10 menit berkendara dari Kota Salatiga!

Kami warga Salatiga juga sudah terbiasa dengan jarak yang dekat, kemana-mana. Semuanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau bersepeda, bila mau. Ketika teman saya memutuskan berkunjung ke Salatiga dengan memakai bus antar kota, saya selalu mewanti-wanti mereka supaya jangan sampai ketiduran ketika telah memasuki gerbang selamat datang. Kalian tahu kenapa? Tak sampai seperempat jam, gerbang selamat tinggal pasti bakal terlihat di depan mata kalian. Iya, sekecil itulah kota kami.

"Transportasi publiknya perlu dibenahi", Meykke terlihat bersemangat. Saya sependapat dengan dirinya. Angkutan kota (angkot) yang sering diandalkan oleh masyarakat untuk menjelajahi kota rasanya perlu dibenahi baik soal kejelasan rute, tarif, dan tempat pemberhentian. Jalanan di dalam kota itu lebarnya tak seberapa, sebal 'kan kalau harus terganggu dengan angkot yang suka ngetem dan berhenti sembarangan?

Saya juga membayangkan ada angkutan publik di terminal kota yang siap mengantar ke tempat-tempat wisata. Bayangkan saja, kalau ada angkutan publik yang siap mengantar jemput menuju Basecamp Gunung Merbabu misalnya, bukankah Salatiga kemudian bakal berubah menjadi kota transit yang begitu menyenangkan bagi para pendaki?

4. Kuliner
"Ah bul, jangan lupa soal kuliner", itu bunyi pesan terakhir dari Uul melalui blackberry messenger sebelum kami mengakhiri obrolan yang jauh melebihi jam tidur. Saya hanya tersenyum membaca pesannya. Tentu saja saya tak akan lupa. Bagaimana mungkin saya bisa lupa akan hal yang selalu membuat rindu ketika saya tengah merantau?

Dengan suhu udara kota yang sejuk, kebanyakan kuliner khas disini adalah kuliner yang diciptakan untuk memberikan rasa hangat di dalam tubuh. Rasa hangat ini bisa muncul baik dari bahan baku, cara pengolahan maupun penyajian.

Salatiga adalah surganya sate kambing dan bakso. Kata salah seorang teman kuliah saya dulu ketika ia datang berkunjung ke rumah. Benar kata dia, ada banyak penjual sate kambing dan bakso seantero kota. Pergi saja ke daerah Blotongan, maka kalian akan menemukan lusinan penjual sate berderet-deret sepanjang jalan. Mencari bakso? Duh, saya sendiri sampai bingung mau beli dimana saking banyaknya pilihan yang ditawarkan.

Jangan melupakan nasi tumpang koyor. Nasi yang dipenuhi oleh berbagai macam lauk yang menumpang di atasnya. Koyor sendiri adalah bagian dari sapi yang terasa kenyal ketika dimakan, ada yang bilang itu adalah bagian dari urat, ada pula yang bilang bagian dari jeroan. Sajian yang biasa dijual saat pagi hari ini semakin istimewa dengan kuahnya yang menggunakan campuran dari tempe busuk atau tempe semangit.

Namun, kalau berbicara soal kuliner khas yang melegenda maka gecok kikil-lah jawabannya. Saat masih kecil dulu, penjual makanan tersebut mudah sekali ditemukan ketika malam tiba. Kini? Bak mencari jarum di tumpukan jerami. Saya hanya menemukan satu penjual yang tersisa setelah berkeliling kesana kemari. Sebagaimana namanya, kuliner ini berbahan utama kikil - bagian dari kaki kambing yang teksturnya kenyal - dan dimasak dengan kuah pekat serta pedas.


Gecok Kikil - si makanan legendaris. Semoga ada yang
sanggup melestarikan makanan ini di masa depan.

Masih kurang hangat? Berjalan-jalan malam ke sekitaran kota, maka kalian akan menemukan banyak penjual wedang ronde. Minuman yang aslinya berasal dari Tiongkok ini terbuat dari bulatan tepung ketan berisi tumbukan kacang dan gula jawa yang kemudian disiram dengan kuah jahe hangat.

Wedang Ronde Mak Pari - salah satu penjual
ronde dari tahun 1947 yang masih
bertahan hingga kini.

Dan, kuliner Salatiga tak terbatas kepada itu. Masih ada banyak kuliner khas lain yang rasanya bakal menghabiskan banyak tempat kalau dituliskan dalam satu artikel. Andai saja, pemerintah kota bisa menciptakan satu area khusus untuk menampung para penjual kuliner tersebut di kala malam menjelang. 

****

Sebagaimana rasa cinta yang tak harus diungkapkan dalam pujian, seikat bunga maupun sekotak cokelat. Rasa cinta saya dan keempat kawan - kami ungkapkan melalui tulisan ini. Tulisan yang sebenarnya merupakan gabungan antara harapan, saran dan kritikan dari dalam lubuk hati kami - tentang sektor pariwisata kota yang tak juga terbangun dari tidur lelapnya. Tak usah muluk-muluk. Bisa ikut berlari bersama kota atau kabupaten lain di Jawa Tengah saja, rasanya sudah menyenangkan.

Bagaimanapun, tak ada yang bisa mengalahkan perasaan senang ketika nama daerah asalmu dikenali oleh orang asing, dimanapun kami - kita - kalian - berdiri kelak. Benar-benar dikenal, dan bukan hanya sebatas dari lelucon nilai tujuh yang bagi saya sudah berada di titik menjemukkan. Mari Salatiga. Mari bangun dan kejar ketertinggalanmu.

Ah, omong-omong. Nilai tujuh hanya berlaku kalau soal yang diberikan jumlahnya sepuluh. Kalau soalnya ada seratus, bukankah nilai kami akan jadi 97?




Srir Astu Swasti Prajabhyah dan Salam Kupu-Kupu. ^^d


P.S.
- Tulisan ini saya ikutsertakan dalam Lomba Blog Utama Wisata Jawa Tengah 2015. Masih bingung mencari destinasi wisata? Monggo berkunjung provinsi saya tercinta. Kami kaya, dan tentu saja more than friendly. Ah, jangan lupa singgah sejenak ke kampung halaman saya - Salatiga. :)
- Kepada: Uul, Agam, Meykke, dan Vandi yang telah saya paksa untuk berimajinasi meski malam telah larut dan pagi terlalu dini. Terima kasih sekali, teman.

8 comments:

  1. Ah, Salatiga. Aku sendiri pun klo membayangkan tentang Salatiga, yang teringat ya tentang sejarahnya. Bahwasanya bangsa Belanda mencari lokasi untuk "ngadem" mengingat Semarang dan Solo lumayan panas. Karena itu di Salatiga banyak bangunan peninggalan Belanda, banyak komunitas kristen, dan banyak makanan enak mengingat hawanya yang adem, hehehe.

    Tapi jujur, entah kenapa aku nggak punya bayangan tentang bangunan atau tempat yang menjadi daya tarik utama kota Salatiga. Yang benar-benar khas dari Salatiga sehingga membuat orang berpikir kalau ada bangunan/tempat itu ya berarti di Salatiga. Ibaratnya kalau aku nyebut point of interest Jakarta yang terbayang pasti Monas. Semacam itu lah.

    Apa bisa aku diberi tahu wahai penduduk Salatiga? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, setidaknya kamu tahu lebih dari sekedar lelucon nilai tujuh mas. Terima kasih! *terharu*

      Hmm, jujur kalau soal landmark, kami memang gak punya atau "terpaksa" gak punya mas. Padahal, kalau mau sebenarnya kami bisa aja memakai salah satu bangunan kuno yang ada buat dijadikan semacam The Symbol of Salatiga. Pernah dengar dan liat Gedung Papak mas? Gedung itu kini dipakai buat kantor dinas walikota, bentuknya rata dan kecil. Berbeda dengan pakem bangunan peninggalan kolonial yang biasanya megah.

      Kapan-kapan main aja ke Salatiga, mas. I'll show you around.
      Tapi jangan terlalu berekspektasi, karena sekali lagi menurutku harus pakai seluruh indera buat menyadari..."oh, ini toh pesonanya". :)

      Delete
  2. akhir pekan ini Insya Allah bakal mengunjungi Salatiga. Gara-gara baca ini saya langsung membayangkan keseruan yang bisa saya dapati akhir pekan nanti. Nice article :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mbak May! Eh, bener bukan cara manggilnya?
      Akhir pekan ini? Aah, mbak harusnya datang ketika euforia ramadan dan lebaran kelar. Kalau waktu-waktu ini Salatiga tengah jadi jujugan buat mencari "bekal" Idul Fitri. Saya juga lagi ndak bisa nemenin muter-muter.

      Lain kali mampir lagi ya, mbak. I'll show you around too. Ah, tapi kayaknya Mbak May udah terbiasa jalan-jalan off the beaten path ya? Semoga mbak bisa menemukan "pesona" dan keseruan yang ditawarkan kampung halaman saya. Terima kasih sudah berkunjung. :)

      Delete
  3. ADUH MAK! WEDANG RONDENYAAA!
    *kepslok jebol*

    ReplyDelete
  4. Ah aku baru tahu kalau Salatiga itu kota tertua kedua di Indonesia, yah salah satu deh! Haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf anda belum beruntung mendapatkan hadiah! Ahahah.

      Iya nih mas, nama Salatiga kelelep sama kota-kota lain. :(

      Delete