Wednesday, December 23, 2015

A Blessing In Disguise Story - Candi Asu Dan Candi Pendem



Saya yakin jika hampir semua pejalan pernah merasakan rasanya tersesat atau salah jalan ketika berpergian. Beberapa mengutuk, sedang yang lain mensyukurinya. Mereka yang bersyukur adalah orang-orang yang menyadari kalau tersesat tak selamanya menjengkelkan. Terkadang kesialan itu malah membuka petualangan baru - sesuatu yang justru lebih awet untuk terkenang. 

Contohnya kemarin, ketika saya, Agam dan Ancha yang sebenarnya hendak menuju ke Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali sepulangnya dari Top Selfie namun justru salah jalan hingga Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Di tengah rasa ketidakpercayaan, ketersesatan itu akhirnya malah membawa kami menemukan dua candi yang tak begitu dikenal orang.

***

Semua bermula dari salah komunikasi dan jalan yang sedang diperbaiki. Ancha mengira saya yang mengusulkan ke Cepogo, tahu betul dengan rute menuju kesana. Sesampainya di daerah Ketep, laju kendaraan kami terhambat karena ada perbaikan jalan dimana agar tidak terjadi kemacetan yang cukup parah, penduduk sekitar memberlakukan sistem buka-tutup.

Kami bertiga pun entah kenapa ikut mengantri di jalan yang dibuka-tutup itu. Padahal, firasat saya mengatakan kalau sepertinya ada yang aneh. Saya pun menengok Ancha dan Agam, keduanya tampak tenang-tenang saja. 

"Gam ini beneran jalan ke Cepogo kan?" tanya saya yang disambut anggukan. Agam kemudian bercerita dulu ketika ia dari Ketep dan hendak pulang via Cepogo juga menemui perbaikan jalan. Saya hanya terdiam.

Ada sekitar 10-15 menitan menunggu akhirnya ruas jalan dibuka bagi para pengendara yang berjalan searah dengan kami. Tak mau terjebak kemacetan lagi, saya langsung bergegas memacu motor melewati jalan yang diperbaiki itu. Jalan itu lurus dan menurun saja, tak ada belok-belok sebagaimana jalan ke Cepogo yang pernah saya lewati dulu.

Deg! Saya seketika kaget manakala melihat papan petunjuk jalan yang terpampang di depan kami setelah jauh berkendara melewati kawasan perbaikan jalan tadi. Tak ada tulisan arah ke Cepogo, yang ada hanya tulisan Borobudur, Muntilan dan lain sebagainya.

Semakin kaget ketika kami memutuskan berbelok dan justru menemui jembatan gantung yang melintas di atas sungai besar. Fix, kami salah jalan. Kami pun berhenti dan berdiskusi, ini kami sudah terlalu jauh salah jalannya. Kalau nekat lurus kami justru bakal sampai ke Magelang, bukannya Boyolali. Mau balik melewati kawasan perbaikan jalan kok malas, akhirnya saya mengusulkan agar tanya dahulu ke penduduk yang kami temui - siapa tahu ada jalan alternatif dari tempat kami berada menuju ke Cepogo.

***

Setelah bertanya kepada seorang ibu penjual di salah satu pojok pertigaan, katanya ada jalan alternatif menuju Cepogo tanpa harus kembali melewati jalan yang telah kami lalui. Ibu itu kemudian menunjukkan jalan kecil tepat di depan kami, dan memberikan arahan arah yang terdengar cukup membingungkan. Ah, tak apalah. Nanti kami bisa bertanya kepada orang lain lagi.

Saat melewati jalan sesuai arahan sang ibu inilah mata saya tanpa sengaja menangkap sebuah papan yang terdengar begitu mengundang. Papan itu bertuliskan candi dengan nama yang begitu asing di telinga.

Saya pun mengajak kedua teman untuk berhenti dan melihat-lihat. Begitu memarkirkan kendaraan, kami langsung terkejut karena ternyata ada dua candi di area itu, dan letaknya cukup berdekatan.

Candi Asu adalah candi pertama yang kami singgahi sehubungan dengan letaknya yang berada di pinggir jalan. Kami bertiga langsung terkekeh begitu melihat nama candi itu. Asu dalam Bahasa Jawa berarti anjing, dan sebagaimana kebiasaan masyarakat kita - kata tersebut sering digunakan sebagai kata sumpah serapah.

Ini candi apa namanyaa? *teriak pakai toa*

Tak banyak informasi yang bisa kami dapatkan dari situs candi ini, sehingga kami bertiga sempat berdebat asal-asalan mengenai asal usul penamaan candi. Rupanya, kata asu ini bisa merajuk ke dua hal: pertama, ketika pertama kali ditemukan, warga salah mengira patung Nandi yang ada disana sebagai anjing. Kedua, kata asu juga bisa dikatakan berasal dari kata ngaso dimana candi ini dipercaya sebagai tempat beristirahat para pandita.

Secara ukuran, Candi Asu bisa dikatakan kecil, kurang lebih hanya selebar 8 meter dan setinggi 6 meter dari kaki hingga tubuh candi. Candi ini tak memiliki atap sebab bagian penyusun atapnya sudah banyak yang hilang.




Candi Asu juga tak memiliki banyak relief. Ada beberapa bentuk pahatan yang saya tak paham itu berbentuk apa. Relief paling mencolok mungkin adalah ornamen berbingkai dengan garis-garis di dalamnya. Kalau berdasar informasi pada papan biru di halaman candi, ornamen berbingkai tersebut berupa sulur-suluran untaian mutiara.

Sulur-suluran untaian mutiara. Jujur, saya ndak ada bayangan
sama sekali sulur-suluran untaian mutiara itu semacam apa
dalam kehidupan nyata.

Ancha berfoto di depan sulur-suluran untaian mutiara.
Oh, what a name.


Ada pula relung yang berada di salah satu sisi tubuh candi. Biasanya, relung yang ada di candi merupakan tempat arca namun relung itu terlihat kosong, tanpa arca apapun.

Relung kosong

Hal yang paling menarik dari Candi Asu menurut saya adalah adanya lubang sedalam kira-kira 3 meter yang terdapat di tengah candi. Itu adalah kali pertama saya menyaksikan candi yang memiliki lubang di tengahnya. Konon, lubang ini dulunya dipakai sebagai wadah air suci sebelum melakukan pemujaan.

Lubang sedalam tiga meteran yang ada di tengah Candi Asu

Selanjutnya, kami pun berjalan mengikuti papan arah candi kedua yang bernama Candi Pendem. Kami sempat kebingungan karena papan arah itu justru mengarah ke perkampungan penduduk. Beruntung, kami kemudian berjumpa dengan seorang wanita tua yang hendak pulang setelah mencari rumput.

"Candi Pendem lewat sini loh, mas. Naik saja ke kebun, terus nanti jalan sampai pohon kelapa.", tutur wanita itu dalam Bahasa Jawa Krama.

Ancha dan Agam berjalan menuju kebun.
Jembatan yang harus kami lalui untuk menuju kebun.
Entah kenapa saya suka bentuknya. :D


Kami bertiga mengikuti arahan wanita tersebut. Berjalan sejauh kurang lebih 200 meter-an, dan menembus area kebun penduduk yang ditanami oleh beraneka macam tanaman, seperti: cabai, daun bawang, hingga beberapa sayuran. Dan memang benar, ketika sampai di dekat pohon kelapa, kami akhirnya bisa melihat Candi Pendem.

Kebun cabai yang di-tumpang sari dengan kacang panjang.

Serupa namanya, candi ini memang tampak terbenam (pendem dalam Bahasa Jawa bisa diartikan sebagai terbenam atau terkubur) dibandingkan dengan kontur tanah di sekelilingnya. Ada perbedaan sekitar tiga meter antara halaman candi dengan kebun penduduk yang tadi kami lewati.

Perbedaan kontur antara pelataran candi dengan kebun di
sekelilingnya. Pasca hujan, air pun terlihat menggenang.


Kondisi Candi Pendem lebih parah dibandingkan Candi Asu dimana hanya bagian kaki dan sedikit tubuh candi saja yang terlihat. Namun secara ukuran, sepertinya jika dalam kondisi utuh candi ini akan lebih luas dan lebih tinggi dari Candi Asu.

Awalnya, kami bertiga hendak naik ke atas candi mengikuti empat perempuan muda yang asyik duduk-duduk di tangga candi. Niatan tersebut akhirnya kami urungkan setelah melihat tulisan peringatan dilarang naik yang tertempel di dekat sana.

Hayoo adeknya, kan ndak boleh naik. :p

Bunga cantik yang ada di sekeliling candi

Berbagai relief terpahat di beberapa bagian candi, dengan kebanyakan merupakan relief dari Gana. Ada pula relief sebuah burung yang saya penasaran sekali jenis burung apa itu. Kalau dilihat sekilas sih mirip dengan burung phoenix, tapi memangnya ada burung tersebut dalam ajaran Agama Hindu?

Gana, sang pelayan Dewa Siwa

Kalau menurut kalian ini burung apa?


Gerimis tiba-tiba datang mengguyur, membuat kami segera melarikan diri dari area Candi Pendem. Bukan kenapa-kenapa, kami hanya merasa ngeri mengingat rute perjalanan kesini tadi melewati kebun penduduk. Kalau telat menyingkir dari sana, rasanya tanah di sekeliling kebun itu akan berubah menjadi genangan lumpur.

***

See? Tidak selamanya salah jalan atau tersesat bakalan merugikan, kan? Kami bertiga bahkan sepakat kesialan kami kemarin semacam a blessing in disguise. Tersesat atau salah jalan adalah hal biasa, tetap menjadi tenang dan menemukan petualangan baru dari sana, itulah hal yang luar biasa. Jadi, jangan pernah panik saat tersesat, ya - siapa tahu Tuhan justru akan membuka kejutan-Nya untukmu. :)


Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggung jawab. 

2 comments:

  1. Jadi inget pengalaman ke Candi Asu dan Candi Pendem tahun 2009 silam. Sebelum Candi Lumbung dipindah lokasi, itu candi Asu, candi Pendem, dan Candi Lumbung sepaket perjalanan karena lokasinya berdekatan. Unik juga ya di candi ada sumber airnya, biasanya untuk mengambil airnya kan dari kali.

    Eh, kalau menurutku itu burung bangau.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, iya pernah baca - Trilogi Candi Senggi, kan ya mas?
      Bener mas, aku langsung ngebayangin kolam-kolam air kaya di Peradaban Mesir Kuno atau Inca. Ahahahah.

      Bangau? Bisa jadi, bisa jadi walau kaki dan paruhnya kurang panjang sih buat dikatakan bangau. :p

      Delete