Thursday, December 17, 2015

Salah Jadwal Berkunjung Ke Top Selfie



"Pernahkah kalian memutuskan pergi berjalan-jalan tapi kemudian tak bisa menikmati destinasi yang didatangi?"

Pagi itu sebuah percakapan singkat saya dengan Ancha melalui blackberry messenger mendadak berbelok arah menjadi rencana dadakan jalan-jalan. Saya yang kebetulan tengah tak ada kegiatan akhirnya mengiyakan ajakan tersebut dan segera menghubungi teman saya yang lain, Agam, untuk ikut serta. Serba mendadak dan kilat, kami langsung menentukan tempat: Top Selfie - sebuah obyek wisata alam di sekitar Salatiga yang kini tengah menjadi primadona instagram. 

Satu jam pasca kegaduhan di smartphone, kami bertiga telah berkumpul dan siap menyusuri jalanan. Tak ada dari kami yang pernah kesana sebelumnya. Namun berdasar informasi dari salah seorang tetangga saya yang pernah kesana: "Pergi saja ke arah Ketep, mas. Nanti ada tulisan "Top Selfie" besar di kanan jalan. Gampang kok.". Uhm, baiklah.

Rupanya benar, menemukan tempat itu memang mudah dan sesuai dengan perkataan tetangga saya. Dari Salatiga, kami hanya perlu berjalan menuju ke arah Ketep Pass dan tak lama kemudian menemukan tulisan "Top Selfie" berwarna biru terpampang di sebuah gapura sederhana.

Tepat setelah gapura itu, berdiri loket tiket yang dijaga oleh beberapa pemuda. Biaya masuk yang dikenakan cukup murah, hanya sebesar Rp 2.000,00 per motor. Saya kurang tahu berapa tiket yang dikenakan untuk mobil, mungkin sekitar Rp 5.000,00.

Dari loket tiket, kami bisa langsung melihat hutan pinus nan lebat berjejeran hingga ke ujung depan. Dua buah jalan kecil tampak membelah hutan pinus itu dan membawa setiap pengunjung yang datang untuk masuk semakin dalam ke area hutan.

Kami pun mengarahkan motor mengikuti jalan kecil tersebut. Saya langsung tersenyum-senyum sendiri membayangkan kedamaian yang akan kami dapatkan nanti ketika sampai di bawah. Sayangnya, senyuman saya tak bertahan lama.

Menjelang area parkir kendaraan yang berada di bawah, saya langsung tertampar oleh kenyataan pahit kalau kami berkunjung di Hari Minggu dan ratusan pengunjung telah menjubeli kawasan hutan pinus yang berada di Dusun Kragilan, Desa Pogalan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang ini.

Boo!
Saya hanya bisa tersenyum getir melihat itu semua. Pada dasarnya, saya memang bukan orang yang suka dengan keramaian. Selama ini, saya selalu berusaha menghindari hari libur atau akhir pekan manakala berkunjung ke suatu tempat supaya tak bertemu dengan banyak orang.

Belum cukup dengan ratusan pengunjung yang telah datang duluan dari kami bertiga, Top Selfie pagi itu diramaikan pula oleh kedatangan serombongan anggota komunitas entah apa yang datang kesana sembari membawa motor trail. Saya hanya bisa mengelus dada. Pupus sudah hasrat menenangkan diri disini.

Kami bertiga sempat bingung mau melakukan apa, bagaimana tidak hampir semua bagian dari hutan pinus sudah dijajah oleh pengunjung lain. Agam kemudian mengusulkan untuk berjalan menjauhi keramaian dan mengikuti semacam jalan di pinggir hutan yang entah membawa kemana.

Suatu jalan di tengah hutan

Entah kenapa suka sekali memfoto tanah di hutan

Jalan tanah itu rupanya mengantarkan kami menuju ke sebuah warung milik penduduk dan terus menuju ke perkampungan penduduk di dalam hutan. Kami hanya berhenti sampai di dekat warung, mengingat tanah di depan kami tampak basah oleh air hujan.

Sebuah warung yang berada di tengah hutan


Di dekat warung itu ada kursi yang bisa dipakai bersantai


Di tempat itu pulalah kami bertiga berdiskusi singkat dan sepakat kalau kami akan bergerak cepat. Kami akan berfoto sebentar di dua jalan kecil yang telah terlewati tadi, kemudian berfoto di tengah hutan, lantas segera pindah lokasi. Saya mengusulkan untuk menyambangi Cepogo sehabis dari Top Selfie.

Salah satu posisi terbaik untuk mengabadikan kawasan hutan pinus ini menurut saya (dan sebagian besar pengunjung lain) memang berada di tengah-tengah dua jalan kecil. Dari lokasi itu, hutan pinus terlihat begitu fotogenik dan menawan untuk diabadikan.


Hasil jepretan yang menunggu sepi




Tapi, tak mudah untuk mendapatkan hasil bagus hari itu. Semakin siang, semakin banyak pula pengunjung yang datang. Kami harus bergantian dengan pengunjung lain agar bisa mendapatkan foto hutan pinus yang tampak sepi dan tenang.

Ancha sedang beraksi
Agam juga sedang beraksi

Itu pun tak bisa berlama-lama sebab setiap petugas parkir meniupkan peluit, kami harus segera menyingkir bila tak mau tertabrak para biker motor trail yang menuruni jalanan tersebut dengan kencang.

Setelah mendapatkan foto ala kadarnya di dua jalan kecil, kami kemudian berjalan menuju ke tengah-tengah hutan. Pengelola sendiri sebenarnya menyediakan sejumlah ayunan dan bangku di beberapa tempat, namun semuanya telah dijajah oleh pengunjung sebelum kami.

Hutan

Atap hutan

Dua pengunjung tengah bersantai di ayunan

Sesuai dengan namanya: Top Selfie - hutan pinus disini bak menyihir seluruh pengunjung yang datang untuk ber-selfie ria. Di sudut manapun, kami pasti melihat pengunjung yang sibuk berfoto dengan berbagai macam pose.

Entah karena benar-benar mati gaya, akhirnya kami bertiga justru tak lagi menikmati keindahan hutan melainkan sibuk memperhatikan (dan mengomentari *oops*) beberapa pengunjung lain yang tampak mencolok mata.

Para pengunjung itu, terutama kalangan wanita, terlihat all out sekali. Ada yang berjilbab dengan aksesoris super wah menggantung disana-sini, ada segerombolan ibu-ibu yang kompak memakai celana jeans ketat dan berkaos tanpa lengan warna merah ngejreng, ada pula serombongan ABG yang sibuk berfoto dengan memakai properti mercon asap! Lha, apa ndak kasihan hutannya?

Dan sebagaimana kebanyakan tempat wisata yang ramai pengunjung, onggokan sampah mulai terlihat berserakan di lantai-lantai hutan. Ini yang paling membuat saya merasa sedih.

Sudah, cukup sudah. Saya tak kuat lagi. Saya segera mengajak Ancha dan Agam untuk kabur dari Top Selfie daripada jadi stress sendiri. Apalagi, rintik-rintik hujan terlihat mulai menyerbu kawasan itu. Ah, kami memang salah jadwal.



Note:
1. Sejujurnya saya senang melihat suatu tempat wisata menjadi ramai, pertanda kalau orang Indonesia semakin menggemari traveling (atau sekedar foto-foto?). Namun bagaimanapun juga, tetap ada rasa sedih jika melihat tempat wisata, khususnya wisata alam yang kemudian lambat laun menjadi korban dari keramaian itu. Saya sudah mulai melihat tanda-tandanya kemarin, semoga pengelola juga menyadari hal tersebut dan segera mengambil tindakan pencegahan sebelum terlambat. Bagi para pengunjung, saya bukan sedang mencoba menjadi sok suci, atau tentang kalian sudah bayar dan bisa bertindak semaunya. Ingat, tempat wisata itu bukan cuma milik kita, banyak orang atau bahkan makhluk hidup lain yang membutuhkan kehadirannya. Jadi, mari kita jaga bersama. No more "suka-suka gue dong", please.
2. Dua jalan kecil menuju ke area parkir dan menjadi spot favorit sebenarnya agak berbahaya, selain curam juga terasa licin ketika basah. Pastikan kondisi kendaraan anda (terutama: rem dan ban) prima saat hendak kesini.
3. Jika anda mencari ketenangan, silahkan datang di Top Selfie bukan pada hari libur atau akhir pekan. Jangan salah jadwal seperti kami kalau tidak mau pusing sendiri. :)

What's Top Selfie without taking any selfie?
Terima kasih sudah berkunjung.

Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggung jawab. :)

6 comments:

  1. Hmmm, koyone aku dewe wis ngeroso dadi wong sing sok suci deh :p.
    Tapi biarlah, kan niatku suci untuk menjaga kelestarian alam... (halah!)
    Aku ya lagi ngerti dari artikel dan pengamatanmu ini klo yg suka selfie itu umumnya kaum hawa. Jadi bisa ditarik benang merah klo perusak alam dengan selfie itu kaum hawa? :D


    Hmm, klo aq ya yang hobi fotografi landscape, klo mau nyari tempat foto yang steril itu usahakan datang ke lokasi pas pagi banget, jam 5 gitu. Terus bertahan di lokasi sampai kira-kira ya jam 8 pagi. Sekalian ngejar pencahayaan Golden Time kalau dapet. Terus ya datangnya jangan pas hari libur, hari kerja utamanya Selasa, Rabu, atau Jum'at.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, Golden Hour maksudnya. Golden Time mah judul anime :p

      Delete
    2. Huss huss mas.
      Rak pareng mengeneralisasi, walau memang selama ini justru para pejalan wanita-lah yang paling sering aku jumpai di lokasi wisata dan jadi "pelanggar".
      Tapi yo piye ya, bagiku itu tetap oknum, mas. Sing jahat ya jahat, sing apik ya apik. :D

      Nah, ide dari Mas Wijna ini semoga didengarkan oleh para pejalan yang benci keramaian seperti aku. :p

      Delete