Tuesday, September 6, 2011

Mudik Nelangsa ke Pacitan



Bagi sebagian masyarakat Indonesia lebaran tidak akan lengkap apabila belum berkumpul bersama seluruh keluarga besar di kampung halaman. Untuk itulah selama libur lebaran terlihat fenomena mobilisasi besar-besaran masyarakat yang hidup di perantauan untuk kembali ke tanah kelahiran mereka. Fenomena inilah yang acap kali disebut dengan istilah mudik. Begitu pula dengan keluarga saya, mudik sepertinya telah menjadi bagian dari kehidupan kami. Meskipun sebenarnya kakek dan nenek saya baik dari pihak ayah maupun pihak ibu sama-sama telah meninggal dunia tapi mudik selalu dijalankan. Kalau diingat, sedari kecil memang saya dan kakak saya telah dibiasakan untuk mudik, baik itu selama libur lebaran, liburan sekolah, maupun liburan natal. Saya masih ingat dulu waktu saya masih SD dan libur lebaran sekaligus natalan bisa selama dua bulan, keluarga kami sering berlebaran di tanah kelahiran mama yakni Pacitan kemudian saat natalan pindah di tanah kelahiran papa saya yakni Pati. Ya, keluarga saya memang heterogen. Tak ayal waktu mudik kami pada saat itu sangatlah lama. Berbeda dengan kondisi sekarang ini dimana kakek dan nenek saya semuanya sudah meninggal dunia plus kesibukan masing-masing anggota keluarga saya, waktu mudik paling banter cuma 2 hari 1 malam bahkan pernah sama sekali tidak mudik jadi ya lebaran dan natalan cukup duduk manis di rumah saja. Hahahah.



Lebaran tahun 2011 ini kelurga saya memutuskan untuk mudik di kampung halaman mama saya di Pacitan, Jawa Timur. Niatnya sih selain berkumpul bersama saudara-saudara sekaligus ziarah makam kakek dan nenek. Jujur sebenarnya saya paling malas kalau disuruh mudik ke Pacitan pada saat libur lebaran. Sungguh Pacitan dan Salatiga itu jauh mampus dan pasti kena macet karena searah dengan arus mudik besar-besaran baik saat berangkat maupun pulang. Normalnya Salatiga-Pacitan kalau jalanan lancar dapat ditempuh selama 5-6 jam bisa berubah menjadi 8-10 jam. Capek gilaaaaaa. Mana jalanan sepanjang Wonogiri-Pacitan itu berkelok-kelok dengan ekstrimnya. Hoaaaaaahhhh.


Rumah Nenek


Namun tetap saja segala kepusingan dan keletihan saya serasa sirna begitu saja manakala telah sampai di rumah nenek saya dengan selamat. Suasana rumah nenek itu lo yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah yakni sepi dan nyaman khas pedesaan. Ya, rumah nenek saya memang terletak di pedesaan dan semenjak kakek nenek dan pakdhe budhe saya telah tiada rumah itu kosong mlompong. Sesekali kakak-kakak sepupu saya datang mengunjungi dan membersihkan rumah itu. Rumah inilah yang dulu ditempati mama saya dan ketiga saudarinya yang kemudian ditempati oleh Budhe saya beserta suami dan ketiga anak mereka. Sedangkan mama dan kedua tante saya memilih untuk merantau meninggalkan kampung halaman tercinta demi menggapai cita, cinta, dan asa. #eaaa #ngekngek
Tidak ada yang berubah dari rumah itu, sejak saya kecil hingga sekarang bangunannya masih sama. Paling cuma berubah sedikit seperti sekarang di depan rumah ada parabola dan bekas warung semi permanen yang dulu digunakan kakak sepupu saya untuk berjualan pulsa. Selebihnya masih sama. Halamannya masih sama, masih luas, pepohonannya banyak, depan rumah terbentang sawah luas, ah pokoknya tipikal rumah di desa-desa lah.
Kenangan-kenangan saya akan tempat itu terus berputar bagaikan film jaman baheula yang diputar ulang di memori otak saya. Kenangan saat bercanda dengan saudara-saudara saya, mencari undur-undur di halaman rumah, memetik kelapa muda dan mangga, menemani nenek memetik kacang panjang di sawah, bersepeda berkeliling desa, mencari kunang-kunang, mainan mercon bumbung, dan kenangan-kenangan lain seakan bergerak satu persatu secara flashback. Ahhh saya jadi kangeen. Pengalaman masa kecil yang menyenangkan dan sungguh tak terlupakan. T.T


Jalanan Pedesaan yang Sepi


Kenangan lain, saat mudik di Pacitan mau tak mau saya harus siap untuk back to nature. Apa pasal? Faktor pertama, setiap mengunjungi rumah nenek saya harus berlapang dada karena handphone saya tidak berfungsi di tempat itu dikarenakan tidak adanya sinyal dari service provider saya di tempat itu. Astaga yah, hari gini, bahkan service provider yang memasang jargon sinyal kuat indos*t masih saja tidak bekerja maksimal di tempat tersebut. Saya sih maklum soalnya desa tersebut walaupun terletak tidak jauh dari pusat kota namun dikelilingi oleh pegunungan kapur baik di depan, kanan, kiri dan sisi belakang. Jadi, sepanjang mata memandang yang terlihat ya pegunungan kapur. Alasan itu pulalah yang menyebabkan semua rumah di desa ini hampir pasti memakai antena parabola karena sinyal stasiun televisi di tempat ini bakalan tidak bisa diterima oleh antena biasa. Bagaikan terisolasi di jaman modern lah. Hohoh.
Faktor kedua dan ini faktor paling menyebalkan adalah ketersediaan air. Pacitan itu terletak di daerah yang kering. Saat musim kemarau air bakalan susah untuk didapatkan. Dulu sih lebih parah, saat musim kemarau tiba untuk mandi saja kami harus ngangsu (apaan sih Bahasa Indonesianya?) air ke desa sebelah yang letaknya jauh. Mau mandi harus numpang ke rumah saudara lain atau ke tetangga yang memiliki sumur yang kedalaman sumurnya bikin begidik ngeri. Dalaaammmmm bangetttt bunggg!!! Ending-endingnya kalau malas ngungsi air sih akhirnya harus rela tidak mandi. Kebayang kalau mau buang hajat di saat-saat mendadak bagaimana? Wiiii saya aja malas mengingatnya kembali. >.<
Sekarang sih sudah agak lumayan meski debitnya kecil, entah apa yang digunakan oleh kakak sepupu saya, meskipun musim kemarau air sudah bisa didapatkan hanya dengan mencolokkan kabel. Mau bilang sumur pompa tapi kok saya tidak pernah melihat ada sumur di sekitaran rumah.


Sawah


Satu hal lagi yang tambah bikin parah adalah airnya yang berwarna dan berasa. Padahal air tersebut mau tak mau dipakai untuk mandi dan memasak. Airnya meskipun telah direbus dengan benar tetap terlihat sedikit berwarna putih keruh dan berasa getir di lidah dan tenggorokan. Mungkin karena kandungan kapur yang terdapat dalam air atau bagaimana yang jelas air tersebut rasanya aneh sekali di lidah. Mudik kemarin saja, saat berkumur baik sebelum gosok gigi maupun wudlu, saya harus menutup hidung sambil terus membuang air ludah karena air yang masuk di mulut rasanya seperti besi. Duh bingung jelasinnya, pernah mencium bau besi berkarat? Seperti itulah rasanya cuma bedanya ini masuk ke mulut pada saat berkumur. Huaaaaaaaaahh. >o<
Sebaliknya saat musim hujan, widihh air berlimpah ruah. Sungai yang semula kering menjadi terisi air. Warga desa pun beramai-ramai menanam padi. Saat musim hujan inilah suasana desa lebih terasa. Kabut tipis yang menyelubungi sawah di pagi-pagi buta, suara riuh rendah orkestra para katak di sawah, kunang-kunang yang berpendar-pendar di kejauhan di kala malam, dan sesekali melihat segerombolan burung kunthul yang sibuk mencari katak dan ikan di sawah. Aihh.
Oh ya kalau beli bakso di Pacitan jangan membayangkan sekumpulan bakso yang berenang-renang di kuah yang berlimpah ruah, sepanjang saya mebeli bakso di Pacitan sih kuahnya sedikit sekali paling cuma seperempat mangkok. Sampai bingung ini sebenarnya bakso atau mie bakso. --'

Dengan demikian meskipun sedikit nelangsa toh saya tidak pernah menyesal untuk mudik ke Pacitan. Meski harus kelelahan di jalan, pusing-pusing seketika saat melihat jalanan yang berkelok-kelok, harus back to nature begitu sampai disana, dan harus berlapang dada menerima kenyataan saya terkena radang tenggorokan begitu sampai di Salatiga, toh hati saya tetap gembira dan puas. Apalagi Pacitan itu obyek wisata alamnya bejibun mulai dari pantai-pantai yang indah hingga goa-goa yang megah ada disini. Belum lagi penduduknya yang super ramah dan agamis serta hasil olahan lautnya yang TOP...ahh...inilah perjuangan. Bagi saya pribadi, pengalaman mudik saya ke Pacitan tak ubahnya pengalaman saya saat backpackeran, sedikit nelangsa namun kepuasan batin yang saya dapatkan tak terukur dengan skala apapun. Terima kasih Kota Seribu Satu Goa, Pacitan. ^^d


Mari Mudik ke Pacitan dan Salam Kupu-Kupu. ^^v

No comments:

Post a Comment