Monday, October 8, 2012

Sinoman, Tradisi Jawa yang Nyaris Terlupakan



Saya dilahirkan menjadi salah satu bagian dari suku terbesar di Indonesia yakni Suku Jawa. Kedua orang tua saya yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur telah membuat darah Jawa mengalir di dalam diri ini. Apalagi saya juga tinggal di Kota Salatiga yang meskipun terkenal dengan sebutan "Indonesia Mini" saking majemuknya penduduk di kota kecil ini, tapi lingkungan saya tinggal masih didiami oleh mayoritas orang-orang Jawa  yang mau tak mau membuat nilai-nilai dan tradisi-tradisi Jawa masih terasa di aspek kehidupan saya. Yah, meskipun tidak sekuat dan seintens pengaruh ke-Jawa-an masyarakat di Surakarta, Jogjakarta atau pedesaan akan tetapi sedikit-sedikit beberapa tradisi Suku Jawa masih saya jalankan hingga detik ini. Salah satu tradisi dari beraneka ragam tradisi Suku Jawa yang sering saya lakukan adalah tradisi sinoman. Ada yang tahu apa itu Sinoman?

Pada dasarnya sinoman sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari budaya Jawa yang sangat mendasar yakni gotong royong. Sinoman adalah sebutan bagi orang-orang yang menjadi juru laden atau orang-orang yang melayani para tamu manakala ada hajatan (acara besar seperti pernikahan atau khitanan) yang tengah dilakukan oleh tetangga atau  apabila tengah ada acara di kampung (halal bihalal, tujuhbelasan, dsb). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para pemuda dan pemudi desa meskipun terkadang para orang tua juga ikut membantu. Pekerjaan para sinoman benar-benar bagaikan pramusaji, manakala hidangan telah selesai dipersiapkan para sinoman harus segera bergerak untuk membagikan hidangan tersebut ke para tamu satu per satu lalu setelah para tamu selesai menyantap hidangan para sinoman pun bergerak kembali dengan mengambil piring, gelas ataupun mangkok yang ditinggalkan oleh para tamu dan segera diberikan kepada para tukang cuci piring. Hap hap hap semua tamu harus terlayani dengan baik dan tidak boleh ada tumpukan piring kotor di sekitar tempat hajatan.

Sinoman itu cukup melelahkan bahkan terkadang kalau pas apes ya bisa sangat melelahkan. Itu semua tergantung dari jumlah tamu undangan, jumlah hidangan, serta jumlah personel para sinoman. Coba saja dibayangkan, misalnya dalam suatu acara pernikahan yang mengundang sekitar 500-an tamu undangan. Itu berarti dalam satu sesi makan akan ada 500 hidangan yang harus diantar kepada para tamu dan akan ada 500 piring kotor yang harus diambil kembali. Itu baru satu sesi, padahal biasanya di kampung saya sesi makan itu bisa berkali-kali lo mulai dari minuman, makanan ringan (snack), makan besar, barulah makan penutup. Sadis. Untuk itulah biasanya jumlah personel sinoman harus disesuaikan dengan jumlah para tamu. Idealnya sih menurut saya untuk acara pernikahan dengan mengundang 500-an orang setidaknya membutuhkan 15-20 personel sinoman itu saja terkadang masih keteteran kemana-mana. Sayangnya, jumlah pemuda pemudi di kampung saya terus berkurang sehingga misalnya tanpa dibantu bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain, kami para pemuda pemudi yang melakukan sinoman pasti sehabis acara usai akan menggelepar kelelahan. Huhuhuh.

Sinoman Team!

Salah satu hal yang unik dari tradisi sinoman adalah biasanya para sinoman memakai seragam. Umumnya sih menggunakan atasan berupa kemeja/hem berwarna putih dan bawahan berupa celana/rok berwarna hitam. Hal ini digunakan agar para sinoman mudah dikenali oleh pemilik acara hajatan, panitia dan juga para tamu. Sekarang sih untunglah model atasan bawahan putih hitam tergantikan dengan atasan batik dan bawahan hitam. Voila, entah kenapa saya sekarang agak sensi kalau melihat warna putih hitam yang bagi saya tak ubahnya pakaian para pekerja magang dan juga mengingatkan saya akan sidang skripsi (skripsi apa kabar? tidaak *curhat berdarah*). Belum lagi memakai atasan warna putih itu menurut saya tidak cocok karena pekerjaan seorang sinoman sangat rentan terkena noda-noda membandel dari kuah hidangan atau minuman. Sebel aja gitu. Hal unik lainnya adalah sinoman dilakukan secara sukarela. Tidak ada kewajiban bagi pemilik acara hajatan untuk membayar para sinoman meskipun terkadang ada yang berbaik hati memberikan kompensasi berupa uang atau rokok (dan saya bukan seorang perokok, boleh saya minta mentahnya saja? *eh*). Pekerjaan sinoman sejatinya murni dilakukan untuk menolong tetangga kita yang tengah membutuhkan bantuan saja. Salah satu imbalan tak resmi yang diberikan oleh para pemilik acara hajatan biasanya adalah para sinoman dibebaskan untuk mengambil makan dan minuman sepuasnya. Asyik! Heheh.

Foto bareng Mempelai Pria dan Wanita

Baru-baru ini, saya dan para pemuda di kampung saya menjalani tugas sebagai sinoman di acara pernikahan salah seorang tetangga kami. Waktu datang ke rapat panitia, saya kaget bukan main. Tamu diperkirakan 700-an orang dengan 12 personel sinoman, prasmanan dan acara pernikahan dilaksanakan di gedung! Benar saja, di hari H-nya semuanya pun terlihat kacau. Tamu yang datang melebihi jumlah undangan sedangkan hidangan dan alat-alat makan yang disediakan tidak sebanyak orang yang datang. Hal ini diperparah dengan sedikitnya petugas cuci piring sehingga piring, gelas dan mangkok kotor pun terus menumpuk. Yang kelabakan? Semua orang! Termasuk para sinoman. Saya dan tetangga-tetangga yang lain pun terus hilir mudik mengambil piring-piring kotor yang ditinggalkan para tamu, menyodorkan ke para tukang cuci piring, mengambil kembali piring yang telah dicuci dan diserahkan kembali ke petugas penjaga stand makanan. Semuanya dilakukan serba cepat dan berulang-ulang. Argh! Untung saja, kekacauan tersebut tidak mengganggu acara pernikahan yang tengah dilaksanakan. Tidak pula terlihat para tamu undangan yang marah-marah secara frontal walau saya yakin di dalam hati mungkin ada rasa kekecewaan mereka. Catatan saja sih, acara pernikahan itu adalah acara sakral yang seharusnya tidak tercoreng oleh hal-hal sepele semacam itu. Untuk itulah, semuanya harus diperhitungkan dengan matang sampai hal-hal terkecil. Well, semua orang harus ikutan berbahagia kan?

Sinoman. Salah satu tradisi asli Suku Jawa yang mungkin nyaris dilupakan oleh orang dewasa ini. Fenomena penggunaan catering dalam acara hajatan, membuat peran sinoman tergantikan oleh para pramusaji dari pengusaha catering yang tentunya lebih profesional. Padahal, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari tradisi sinoman. Sinoman telah mengajarkan saya untuk selalu ikhlas dalam menolong sesama sesuai dengan nilai gotong royong yang terpatri kuat bagi orang-orang Jawa. Tradisi sinoman juga membuat saya lebih dekat dengan para tetangga yang lain dalam caranya sendiri. Kerjasama dan semangat melayani orang lain tanpa pamrih. Inilah yang seharusnya tetap diuri-uri oleh masyarakat Jawa kini yang kemudian nilai-nilai dan pelajarannya diterapkan dalam keseharian mereka. Jadi, masih adakah tradisi sinoman di daerah anda?


Salam Kupu-Kupu  ^^d

6 comments:

  1. Sumpah kuruuuuuuuuu... wakkakakak

    ReplyDelete
  2. Thankyou for information

    http://karanganbungapapanblog.wordpress.com

    ReplyDelete
  3. Udah lama ya postingan ini, tapi saya setuju dengan ente, bro... Bagus tulisanya cuma klo boleh sih agak lebih mendalam (klo boleh lho..).
    Seneng rasanya masih ada yg mau peduli dengan Tradisi Jawa, khususnya Sinoman (meskipun ane bukan orang Jawa wkkwkkwk).
    Salut buat penulis!!!

    ReplyDelete
  4. KEREN! Saya suka sama gaya penulisannya.

    ReplyDelete
  5. Wah baru tau kalo namanya sinoman . disini taunya pagarayu atau pagarbetis . maklum org jawa tapi tinggal d kepri.

    ReplyDelete