Bisnis makanan memang selalu mengalami pasang surut. Tak ubahnya bagaikan oasis di padang gurun gersang, ramai didatangi hingga kelak waktunya tiba dia pun akan menghilang. Ya, akan seperti itu bahkan oasis yang besar sekalipun. Demikian pula dengan bisnis makanan (kuliner), akan ada masanya dia ramai dikunjungi pelanggan namun bila tak pintar mempertahankan maka makanan itupun akan ditinggalkan pelanggan dan sejurus kemudian ia menghilang. Tak tanggung-tanggung hal seperti ini tidak hanya menimpa komoditas kuliner baru saja melainkan kuliner yang sudah lama ada di suatu daerah bisa tuh bernasib serupa. Salah satu contohnya adalah kuliner legenda dari kampung halaman saya-Salatiga, yah meskipun tidak hilang...lang...lang, tapi penjual yang saya temui dewasa ini baru berjumlah satu orang saja seantero kota! Terdengar mengenaskan? Banget! Asal tahu saja, dulu ketika saya masih kecil menemukan penjual makanan itu...duh bagaikan melihat minimarket modern di tahun 2013 atau dengan kata lain gampang sekali saking bejibunnya yang berjualan. Nah kalau sekarang menemukan penjual makanan tersebut bagaikan melihat minimarket di awal tahun 2000-an. Susyeeeeh-nya minta ampun. Entahlah saya juga kurang begitu mengerti alasan di balik menghilangnya para penjual makanan legenda itu. Apakah karena konspirasi zionis seperti yang santer terdengar di berita akhir-akhir ini? *eh*
Ah, saya hampir lupa memperkenalkan makanan legenda itu kepada kalian. Baiklah, mari saya perkenalkan.
Jadi, kuliner legenda Kota Salatiga yang saya maksudkan adalah...taraaa...GECOK KIKIL! Nah kan nah kan, pasti pada bingung makanan apa itu kan ya? Dan kenapa pula bisa menjadi legenda? Well yah, sebenarnya titel "legenda" itu saya sematkan secara sepihak saja sih. Tapi dengar dulu alasan saya, jadi seperti yang telah disebutkan di awal pertama kali saya mengenal gecok kikil adalah sejak saya masih duduk di bangku SD (sekitar tahun 1998-an). Papa saya saja dulu pernah berkata kalau gecok kikil sudah ada sejak papa saya pertama kali menginjakkan kaki di Salatiga, nah loh. Gecok kikil merupakan salah satu makanan favorit keluarga saya bahkan kalau tengah kedatangan tamu atau saudara, papa dan mama saya pasti selalu mengajak mereka untuk menikmati gecok kikil. Itupun dulu dengan mudahnya kami menemukan para penjual gecok kikil mulai dari di dekat SMPN 9 Salatiga, depan pasar lama yang kini menjadi Salatiga Shopping Centre, depan Pasar Raya I, bahkan hingga ke Pancasila. Dalam satu area bahkan penjualnya tidak hanya satu bahkan bisa dua sampai tiga orang. Banyak kan? Yap, nampaknya dulu gecok kikil begitu dipuja-puja oleh masyarakat Salatiga hingga para pedagangnya pun bersebaran. Lalu gecok kikil sendiri itu makanan sejenis apa sih?
Sebelum membahas gecok kikil, mari kita bahas pengertian dari "kikil" itu terlebih dahulu. Ada yang tahu kikil? Sip, bener banget kikil adalah bagian dari tubuh sapi atau kambing yang biasanya dapat ditemukan di daerah kaki mereka. Bentuknya padat dengan tekstur yang kenyal. Kekenyalan ini bahkan akan terus bertahan sampai sesudah kikil ini diolah dalam ragam masakan dan cara memasak apapun. Mau dibakar kek, mau ditumis kek, mau digoreng kek, mau dibikin satai, atau dibikin dengan kuah saus padang...kikil akan tetap kenyal (eh, saya jadi lapar heheh). Nah, gecok kikil adalah salah satu jenis makanan yang menggunakan kikil sebagai bahan dasar makanannya (ya iyalah, namanya juga gecok kikil -_-). Kikil ini dipotong kotak-kotak kemudian direbus dan diberi bumbu hingga nanti ketika matang akan tersaji kikil dengan sedikit kuah berwarna hitam pekat dengan irisan cabai dan bawang goreng di atasnya. Ah yummy banget sampai bingung saya menjelaskannya bagaimana. Kalau sudah ada yang pernah makan tongseng, si gecok kikil ini mirip seperti itu cuma bedanya kuahnya lebih hitam pekat dan tidak ada sayuran di dalam porsi masakannya. Aih, keenakannya terpampang nyata deh. *ditabok Syahrini*
Sayangnya, gecok kikil kini mulai dilupakan oleh masyarakat Kota Salatiga. Menjamurnya makanan-makanan lain terlihat mampu menggusur eksistensi gecok kikil. Di dalam bisnis kuliner memang berlaku hukum alam, siapa yang kuat dan mampu bertahan dialah yang akan menang. Penjual gecok kikil terus saja menghilang dari peredaran. And yes setelah mutar-muter mengelilingi Kota Salatiga, satu-satunya penjual yang saya temui adalah di Jalan Jenderal Sudirman. Tepatnya terletak di pinggir jalan satu deretan dengan Pasar Raya I dan berada di seberang toko Mitra Busana. Bila mata kita tidak jeli mungkin kita tak mengira bahwa di tempat itu menjual gecok kikil, tulisan yang jelas terlihat adalah kata sate kambing. Tapi di bawah tulisan sate kambing berderet menu-menu lain dengan tulisan lebih kecil yang salah satunya adalah gecok kikil. Malam itu saya dan salah seorang tetangga saya-Mbak Reza-memutuskan untuk membeli gecok kikil karena penasaran seperti apa rasanya kini. Kamipun segera memarkirkan motor dan memasuki tenda kecil dengan lampu putih terang itu. Dua orang ibu-ibu menyambut kami dengan ramah sembari menanyakan menu yang hendak kami pesan. Tanpa berpikir lama, Mbak Reza pun memesan dua porsi gecok kikil karena memang makanan itulah yang ingin kami nikmati malam itu. Yah, meskipun menu-menu yang lain tampak menggoda iman. Gluk! *usap-usap perut*
Satu dari salah satu ibu itu pun segera beraksi dengan memotong-motong kikil sesuai dengan makanan yang kami pesan. Sedangkan ibu lainnya dengan bergegas membuatkan minum pesanan kami. Sebenarnya saya ingin bertanya-tanya lebih lanjut tentang gecok kikil kepada salah seorang ibu itu, namun mereka berdua terlihat sibuk sekali mempersiapkan menu makanan kami. Inilah uniknya, makanan baru akan dimasak begitu ada yang memesan. Pula halnya gecok kikil yang telah dipesan oleh kami berdua. Sekitar 15-20 menitan kami menunggu hingga akhirnya dua porsi gecok kikil dan dua piring nasi putih hangat sampai di depan meja. Saya terbengong. Satu porsi gecok kikil ternyata bisa untuk kami berdua. Tapi dua porsi terlanjur dipesan, kamipun mau tak mau harus menghabiskan masing-masing satu porsi gecok kikil. Namun dibalik keterkejutan sejatinya saya senang sekali, rasa gecok kikil di depan kami ternyata masih serupa dengan rasa gecok kikil yang saya makan waktu kecil dahulu. Sama persis. Dengan sedikit memaksakan diri akhirnya kamipun bisa menandaskan makanan itu. Benar-benar kekenyangan. Tapi puas banget rasanya. Heheh.
Setelah membayar kurang lebih Rp 20.000,00 untuk satu porsi gecok kikil plus sepiring nasi, kamipun meninggalkan warung tenda tersebut. Ah, untuk ukuran makanan yang terbuat dari kambing harga itu masih reasonable. Apalagi ini sekelas makanan legenda yang telah ada sejak lama. Harapan saya sih, semoga dengan tulisan sederhana saya ini banyak orang yang membaca kemudian tertarik untuk mencoba kembali gecok kikil. Saya takut, tak berapa lama lagi si kuliner legenda ini bisa saja menghilang dari peredaran karena dilupakan oleh masyarakat Salatiga. Saya tidak menginginkan hal itu. Biarlah gecok kikil tetap menjadi makanan legenda yang selalu ada, jangan sampai dia sirna karena terlupa.
Ayo makan gecok kikil dan salam kupu-kupu. ^^v
Si gecok kikil yang menggoda iman |
Sayangnya, gecok kikil kini mulai dilupakan oleh masyarakat Kota Salatiga. Menjamurnya makanan-makanan lain terlihat mampu menggusur eksistensi gecok kikil. Di dalam bisnis kuliner memang berlaku hukum alam, siapa yang kuat dan mampu bertahan dialah yang akan menang. Penjual gecok kikil terus saja menghilang dari peredaran. And yes setelah mutar-muter mengelilingi Kota Salatiga, satu-satunya penjual yang saya temui adalah di Jalan Jenderal Sudirman. Tepatnya terletak di pinggir jalan satu deretan dengan Pasar Raya I dan berada di seberang toko Mitra Busana. Bila mata kita tidak jeli mungkin kita tak mengira bahwa di tempat itu menjual gecok kikil, tulisan yang jelas terlihat adalah kata sate kambing. Tapi di bawah tulisan sate kambing berderet menu-menu lain dengan tulisan lebih kecil yang salah satunya adalah gecok kikil. Malam itu saya dan salah seorang tetangga saya-Mbak Reza-memutuskan untuk membeli gecok kikil karena penasaran seperti apa rasanya kini. Kamipun segera memarkirkan motor dan memasuki tenda kecil dengan lampu putih terang itu. Dua orang ibu-ibu menyambut kami dengan ramah sembari menanyakan menu yang hendak kami pesan. Tanpa berpikir lama, Mbak Reza pun memesan dua porsi gecok kikil karena memang makanan itulah yang ingin kami nikmati malam itu. Yah, meskipun menu-menu yang lain tampak menggoda iman. Gluk! *usap-usap perut*
Satu dari salah satu ibu itu pun segera beraksi dengan memotong-motong kikil sesuai dengan makanan yang kami pesan. Sedangkan ibu lainnya dengan bergegas membuatkan minum pesanan kami. Sebenarnya saya ingin bertanya-tanya lebih lanjut tentang gecok kikil kepada salah seorang ibu itu, namun mereka berdua terlihat sibuk sekali mempersiapkan menu makanan kami. Inilah uniknya, makanan baru akan dimasak begitu ada yang memesan. Pula halnya gecok kikil yang telah dipesan oleh kami berdua. Sekitar 15-20 menitan kami menunggu hingga akhirnya dua porsi gecok kikil dan dua piring nasi putih hangat sampai di depan meja. Saya terbengong. Satu porsi gecok kikil ternyata bisa untuk kami berdua. Tapi dua porsi terlanjur dipesan, kamipun mau tak mau harus menghabiskan masing-masing satu porsi gecok kikil. Namun dibalik keterkejutan sejatinya saya senang sekali, rasa gecok kikil di depan kami ternyata masih serupa dengan rasa gecok kikil yang saya makan waktu kecil dahulu. Sama persis. Dengan sedikit memaksakan diri akhirnya kamipun bisa menandaskan makanan itu. Benar-benar kekenyangan. Tapi puas banget rasanya. Heheh.
Salah seorang ibu penjual tengah memotong kikil |
Setelah membayar kurang lebih Rp 20.000,00 untuk satu porsi gecok kikil plus sepiring nasi, kamipun meninggalkan warung tenda tersebut. Ah, untuk ukuran makanan yang terbuat dari kambing harga itu masih reasonable. Apalagi ini sekelas makanan legenda yang telah ada sejak lama. Harapan saya sih, semoga dengan tulisan sederhana saya ini banyak orang yang membaca kemudian tertarik untuk mencoba kembali gecok kikil. Saya takut, tak berapa lama lagi si kuliner legenda ini bisa saja menghilang dari peredaran karena dilupakan oleh masyarakat Salatiga. Saya tidak menginginkan hal itu. Biarlah gecok kikil tetap menjadi makanan legenda yang selalu ada, jangan sampai dia sirna karena terlupa.
Ayo makan gecok kikil dan salam kupu-kupu. ^^v
kalau dulu tahun 90 an gecok kikil yang saya beli di mbok2 jualannya pake gerabah agak sedikit kental dan pekat,. pedasnya ampun.. tapi enak sekali
ReplyDeleteserius pakai gerabah?
Deleteah, pasti enak sekalii. semua yang dimasak dengan alat tradisional terasa lebih nikmat kan ya?
terima kasih telah berkunjung. :)