"Know where to find the sunrise and sunset times and note how the sky looks at those times, at least once".
-Marilyn vos Savant-
Sejujurnya, saya bukanlah seorang traveler yang tergila-gila akan momen matahari terbit dan matahari terbenam. Ada kan tuh traveler yang pergi dari satu gunung ke gunung lainnya, atau dari pantai ke pantai lainnya ya cuma buat mengejar momen sunrise maupun sunset dari tempat-tempat itu. Err, memang sih orientasi dan kegemaran traveler bisa saja berbeda satu dengan lainnya. Sah-sah saja kalau mereka pergi ke suatu tempat ke tempat lain demi mengejar sunrise atau sunset toh katanya pemandangan sunrise dan sunset itu tidak pernah sama antara satu tempat dengan tempat lainnya. Sebentar, ini bukannya saya tidak menyukai mengejar momen matahari terbit dan terbenam yah. Saya juga terkagum-kagum kok kalau bisa menyaksikan itu. Tapi sekali lagi, itu bukan prioritas utama saya selama mengunjungi suatu tempat. Alasan dasar sih, duh sebenarnya karena saya susah bangun pagi! Serius, normalnya saya ini tipe orang yang baru bisa tidur selepas tengah malam jadi mana kuat mata saya merem sebentar lalu melek lagi buat melihat matahari terbit? Nooo. Eh tapi kalau saat jalan-jalan ke suatu daerah terus mendengar disana ada spot bagus untuk melihat sunrise atau sunset, saya bakal bela-belain bangun pagi-pagi buta atau ngelangut menunggu matahari terbenam kok. Yah seperti kata Marilyn vos Savant di atas, setidaknya sekali-sekali juga tidak masalah kan? heheh. *terkekeh protagonis*
Baru-baru ini saya kesampaian mengejar momen matahari terbit di Puncak Sikunir. Salah satu bagian dari Dieng yang disebut-sebut sebagai salah satu spot terbaik di Indonesia untuk melihat matahari terbit. Maka dari itu saya penasaran dan kepingin membuktikan secara langsung. Secantik apa sih momen matahari terbit dari atas Puncak Sikunir? Tapi sebenarnya saya dan dua teman KKN-Dian dan Mas Febry gak begitu ngotot-ngotot amat untuk mengejar momen tersebut. Yap, kami datang di bulan Februari-salah satu bulan dimana curah hujan sedang tinggi-tingginya. Salah seorang traveler di komunitas backpacker Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) bahkan langsung mendikte saya dan bilang kalau bukan saat yang bagus datang ke Puncak Sikunir di musim penghujan. Kesempatan buat melihat sunrise sangat kecil karena hujan dan kabut tebal bisa datang sewaktu-waktu. Iya sih, saya juga menyadari itu kok akan tetapi kami bertiga kebetulan punya waktu ya pas kemarin itu (12-13 Februari 2013). Entar masalah dapat momen sunrise di Puncak Sikunir atau tidak, yah kami berharap keajaiban sajalah. Toh, tujuan utama kami ke Dieng bukan ke Puncak Sikunir kok.
13 Februari jam setengah empat pagi, kami bertiga terbangun karena suara alarm dari
handphone masing-masing. Kami sengaja memasang alarm bertingkat supaya kesempatan buat melanjutkan molor mengecil karena suara alarm terus bermunculan setiap 15 menit. Dengan berat hati meninggalkan kasur yang tampak begitu menggoda di tengah suhu dingin, kamipun bersiap-siap untuk mengejar matahari di Bukit Sikunir. Brr...Dieng pagi itu benar-benar dingin, bahkan asap putih pun bisa keluar saat kami berbicara. Saya menengadah ke atas, ke arah langit tepat dimana bintang-bintang terlihat pagi itu. Saya bersyukur setidaknya kesempatan kami untuk mendapatkan momen matahari terbit terbuka karena langit nampak cerah. Namun ada satu masalah, tidak ada seorang pun di antara kami bertiga yang tahu jalan ke arah Sikunir. Kalau melihat arah dari GPS sih cuma mengikuti jalan utama saja. Tapi, kami kan tidak tahu kondisi medannya. Kami bertiga pun hanya bisa menunggu pasrah, menunggu kebenaran berita dari Mas Dwi-sang pemilik penginapan yang mengatakan kalau akan ada banyak traveler seperti kami yang bakal mengejar matahari terbit. Kami tinggal menunggu saja di pertigaan jalan katanya. Err, tapi pagi itu tak nampak seorangpun yang ada di pertigaan jalan. Sesekali ada sih, traveler entah berdua atau berempat yang memacu motor mereka ke arah jalan di seberang kiri kami. Arah jalan yang sesuai keterangan dari Mas Dwi dan GPS menunjukkan arah ke Bukit Sikunir. Kami berada di posisi dilematis. Mau jalan, takut kesasar. Mau menunggu, takut ketinggalan momen sunrise. Argh. Saya gemas! Saya pun terus membujuk Dian dan Mas Febry untuk nekat saja. Toh, pikir saya pasti nanti bisa menemukan papan jalan atau apapun itu yang bisa membawa kami kesana.
Time is running out nih! Sayangnya, Mas Febry dan Dian masih kukuh pada pendirian awal mereka. Menunggu teman Mas Dwi yang katanya juga mau membawa orang menuju ke Sikunir. Oke, saya kalah telak. Satu banding dua, jelas menang dua. Baiklah. Kami bertiga pun terus menunggu, sedang waktu terus beranjak lari (eh lebay yak?). Saya pun melihat jam tangan yang saya pakai. Duh, ini sudah hampir jam 5 pagi! Kalau di kampung saja, tinggal 45 menit lagi menuju matahari terbit. Aaaaaakk. Saya mulai gelisah dan panik. Dian dan Mas Febry sepertinya mulai memahami kepanikan saya dan memutuskan untuk berangkat sendiri saja. Aih, kenapa gak daritadi? Saat mau menyalakan motor, tiba-tiba Mas Dwi memanggil dan menyuruh kami mengikuti temannya yang juga sudah siap berangkat mengantarkan wisatawan asing asal Taiwan. Fyuh, jadi mari kita berangkat!
|
Gapura Desa Sembungan |
Dengan perlahan-lahan kamipun menyusuri jalanan menuju ke Sikunir. Jalanan masih terlihat basah bekas hujan kemarin malam. Sesekali kami berjalan lebih hati-hati karena melewati genangan air atau bahkan jalan yang lapisan aspalnya mengelupas entah kemana. Sementara dinginnya udara terus saja menembus jaket yang saya pakai. Kamipun memasuki gapura selamat datang di Desa Sembungan, desa yang berada di ketinggian 2.300 mdpl (meter dari atas permukaan air laut) sehingga menyabet gelar Desa Tertinggi di Pulau Jawa. Penduduk desa nampak mulai beraktivitas di pagi itu, ada yang tengah berjalan kaki selepas menunaikan sholat di mushola desa dan ada pula yang tengah menuju ke ladang. Duh, pertanda sudah semakin pagi saja ini. Apalagi samar-samar, semburat cahaya kemerahan mulai muncul di ufuk timur. Waduh! Tak berapa lama, sampailah kami semua di parkiran Telaga Cebong. Di tempat itulah motor kami harus parkir, sementara kami harus berjalan sejauh 800 meteran lagi untuk sampai di Puncak Sikunir. Kami kemudian membayar sekitar Rp 4.000,00/orang dan Rp 2.000,00/motor untuk bisa menikmati keindahan momen matahari terbit dari Puncak Sikunir. Nah loh, sehabis menyerahkan uang saja kami sudah langsung dihayo-hayoin sama tukang parkir disana. Katanya kalau tidak segera naik, bakalan telat dapat momen sunrise. Argh! Tanpa babibu, kami langsung bergerak cepat. Bergerak naik mengikuti rute menuju Puncak Sikunir. Mas Febry yang nekat pakai sandal jepit berjalan dengan tempo yang agak lebih lambat daripada saya dan Dian. Rute menuju ke puncak memang terlihat licin. Bahkan saya yang sudah pakai sandal gunung saja satu-dua kali masih terpeleset kok. Tapi saya masa bodoh, waktu benar-benar semakin mepet. Maju terus! Saya bahkan tidak peduli lagi dengan pemandangan di sekitar saya, toh nanti pas pulang juga masih bisa dinikmati.
|
Mas Febry nih |
|
Keep Clean! |
|
Pose dulu :D |
Nafas mulai terasa berat. Saya pun ngos-ngosan! Gila ini mah, sudah jarang olahraga eh langsung disuruh kerja ekstra naik-naik ke puncak gunung...eh bukit ding. Di sepanjang rute terlihat papan penunjuk jalan nan informatif yang menunjukkan berapa meter lagi menuju puncak. 500 meter...300 meter...ah masih berapa lama lagi? Eh, kami masih sempat-sempatnya loh mengadakan acara foto narsis dulu di dekat jurang menuju puncak. Habis pemandangannya kece banget dan sayang buat dilewatkan. Hohoh. Sialnya, saya yang kebagian jadi tukang foto malah ditinggal Dian dan Mas Febry gara-gara ribet memasukkan kamera poket ke dalam tas. Groar. 200 meter lagi...dan akhirnya saudara-saudari sampailah saya di Puncak Sikunir! Matahari nampaknya juga masih belum keluar dari peraduannya tuh. Alhamdulillah. Saya pun menata nafas yang nampak kacau seperti mesin diesel tua. Tarik nafas...keluarkan...tarik nafas...keluarkan...minum air...dan akhirnya nafas saya pun kembali normal. Hore! Eh pagi itu, Puncak Sikunir tidak hanya kedatangan kami saja. Telah ada beberapa pendaki lain yang sudah sampai duluan. Ada yang datang berpasangan, bareng keluarga atau bersama teman. Bahkan di atas Puncak Sikunir ada pedagang yang berjualan pop mie rebus dan kopi hangat. Ngek, jadi si penjual ya naik turun bukit tiap pagi demi menjajakan dagangannya. Ampuuuun. *kibar bendera putih*
|
Ini Gunung Sindoro bukan? |
|
Aaaah |
|
Cling! |
|
Saya dan Dian |
Semburat warna merah dan oranye nampak makin jelas dan terang di kejauhan, pertanda sang mentari sebentar lagi akan terbangun. Kami semua setia menanti sambil membidikkan kamera ke beberapa arah. Dan inilah akhirnya, matahari yang kami tunggu-tunggu keluar dari balik salah satu gunung. Entah gunung apa itu. Keajaiban yang kami inginkan terjadi. Tidak seperti beberapa teman saya yang sudah duluan ke Sikunir tapi mendapatkan momen matahari terbit dengan bonus kabut tebal, pagi itu suasana pagi benar-benar cerah. Tak ada sedikitpun kabut yang turun. Saya bersyukur. Kami bertiga bisa menikmati matahari terbit dengan lebih jelas dan leluasa. Sinar matahari perlahan mulai menyinari Gunung Sindoro dan Sumbing yang berdiri megah di ujung sana. Kami juga bisa melihat pemandangan Kota Wonosobo yang nampak kecil dari Puncak Sikunir. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan. Ah, pengorbanan kami mengejar momen matahari terbit (catat: dalam detik-detik terakhir!) di Puncak Sikunir terbayar sudah di pagi itu. Meskipun harus mendaki dengan tempo yang lebih cepat dan nafas yang ngos-ngosan berat akhirnya kami bisa menikmati semua keindahan yang tersaji di depan mata. Dear Marilyn vos Savant, i have noted...the sky looks really great and clear from Sikunir that morning! trust me! :)
Selamat mengejar sunrise/sunset dan salam kupu-kupu ^^d
Subhanaloooh..kapan aku bisa kesanaaaa...take me there, pleaseeee...:D
ReplyDeletekapan aja bisa mey heheheh.
Deleteayuuk. jalan-jalan bareng kemana gitu yuk. :9