Tuesday, November 11, 2014

Menanti Ajal Sang Brown Canyon



Akhir-akhir ini, ada sebuah tempat yang menjadi semacam primadona bagi kalangan warga Kota Semarang - terutama para kawula mudanya. Tempat tersebut bisa dibilang cukup ekstrem mengingat sebenarnya adalah sebuah lokasi penambangan pasir dan tanah. Entah siapa yang pertama kali mengabarkan atau mempromosikan, namun tak berapa lama semakin banyak orang yang tertarik mengunjungi tempat itu. Nama "Brown Canyon" pun meruak di udara, media sosial dan mulut ke mulut. Saya juga kurang paham siapa yang pertama kali mencetuskan namanya, namun kalau soal alasan, mungkin karena sepintas lokasi penambangan tadi terlihat bagaikan Grand Canyon di Amerika Serikat. 

Sudah banyak teman yang mengunggah foto Brown Canyon di jejaring sosial mereka. Semuanya sukses membuat saya kagum dan kaget. Kaget setelah tahu kalau lokasinya ternyata tidak begitu jauh dengan kampus saya dulu di Tembalang, Semarang Atas. Perasaan dulu tidak pernah dengar  nama tersebut sama sekali. Didorong rasa penasaran yang semakin memuncak, maka saya memutuskan mencoba melihat dengan mata kepala sendiri.

Jangan tanya saya: bagaimana cara menuju kesana. Jangan. Saya saja sempat tersesat berulang kali. Yang teringat secara jelas adalah sebatas, "setelah sampai di Tembalang pergi ke arah Meteseh". Selebihnya, saya bingung sekali untuk menjelaskan. Bagaimana tidak bingung, tidak ada rambu petunjuk sama sekali. Apa yang saya lakukan hanyalah mencoba mengikuti arah yang dilewati truk bermuatan pasir, batu dan tanah. Semakin bingung saat mendadak tanpa sadar saya sudah berada di pertengahan suatu kampung, dan Brown Canyon entah berada dimana.

Membuntuti truk yang jalannya kaya siput :p

Di saat seperti itu saya akhirnya mengandalkan metode tanya jalan kepada penduduk yang saya temui. Menyebut kata "Brown Canyon" mereka gedek-gedek tanda tak mengerti, menyebut penggalian juga tak mengerti. Barulah ketika saya mengganti kata menjadi penambangan, mereka manggut-manggut dan segera menjelaskan sebatas "lurus saja mas, nanti kelihatan kok". Blaik.

Dear people, ketika anda bertanya arah kepada suatu tempat dan dijawab seperti jawaban di atas, maka bersiaplah anda terhadap kerumitan jalan yang akan menanti anda. Ini sudah beberapa kali saya alami di berbagai tempat. Alih-alih jalan lurus, kebanyakan justru belok kesana kemari. Poin penting dari jawaban tadi justru adalah kata "nanti kelihatan" yang berarti ikuti saja jalan yang membuat tempat itu terlihat jelas. Kalau tidak terlihat lagi, ya, itu berarti anda harus putar balik karena anda sudah tersesat atau salah arah.

Jantung saya sempat berdegup kencang ketika mulai memasuki area penambangan. Saya takut tidak diperkenankan masuk oleh para penambang mengingat saya menggunakan mobil untuk kesana. Jalannya sempit, ngepres berukuran satu mobil, tidak lucu kan kalau berpapasan dengan truk nanti. Secara mengejutkan, beberapa penambang justu membantu mengarahkan jalan dan tersenyum kepada saya. Ini melegakan sekali. 

Jangan datang kesana saat dan setelah hujan. Saya mendapat petuah seperti itu dari salah seorang teman sebelum bertandang ke Brown Canyon. Saya akhirnya tahu alasan di balik petuahnya. Jalan menuju dan sepanjang Brown Canyon mayoritas merupakan jalan tanah dan bergelombang dimana-mana. Mungkin dikarenakan oleh banyaknya kendaraan berat yang sering lewat di atasnya. 

Setelah nyaris tiga puluh menit berjibaku dengan jalanan yang membingungkan dan kondisi seperti itu, akhirnya Brown Canyon telah berada tepat di depan mata saya. Saya berkali-kali hanya bisa berkata,"wow! atau woah!", saking takjubnya melihat gugusan tebing di sekeliling saya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa para penambang menciptakan gugusan tebing semacam ini?

Tebing...
Tebing everywhere!

Ada cerita sedih di balik terbentuknya Brown Canyon. Kabarnya, dahulu tempat itu adalah bukit-bukit nan hijau, hingga kemudian terpaksa dipangkas atau dikepras karena Kota Semarang membutuhkan material alam seperti pasir, tanah dan batu dalam jumlah yang besar untuk pembangunan. Itulah yang memulai praktek penambangan disana dan terus berlanjut sampai sekarang. 


Bagian dari Brown Canyon yang tengah dikepras


Salah satu alat berat yang teronggok begitu saja

Bukit-bukit ini dikepras dengan menggunakan tenaga mesin dan manusia. Semuanya memiliki keterbatasan. Keterbatasan itu paling terasa manakala menemukan lapisan yang sangat keras dari bukit tadi. Para penambang pun melakukan sistem pengeprasan berpindah-pindah, setiap menemukan lapisan keras, mereka akan berpindah mencari lokasi yang lebih lunak, ketemu bagian keras lagi, pindah kembali ke yang lunak. Pola dan sistem kerja seperti inilah yang pada akhirnya menghasilkan Brown Canyon sebagaimana yang saya lihat siang itu. Semuanya tanpa disengaja.

Matahari yang bersinar terik siang ini tak menghalangi saya dan puluhan anak muda menikmati pemandangan yang disajikan oleh Brown Canyon. Ada tebing-tebing tinggi dengan dinding bekas keprasan terlihat jelas di sekelilingnya. Ada pula cerukan-cerukan yang sepertinya merupakan tempat bagi para penambang untuk sekedar berteduh dan beristirahat di kala panas matahari menerjang. Di beberapa tempat, bekas keprasan ini menyisakan jurang-jurang yang begitu dalam. Kadang, saya masih tidak percaya ini merupakan hasil buatan manusia.

Celah antar tebing

Jurang, dan lubang untuk beristirahat

Sayangnya, pemandangan indah seperti ini mungkin tak akan terlihat lagi di masa depan. Brown Canyon tengah menanti kematiannya. Dengar-dengar, gugusan tebing ini juga bakalan dieksploitasi oleh para penambang dengan menggunakan alat dan teknologi yang lebih maju, yang bakalan bisa menghancurkan lapisan paling keras sekalipun. Ini bukan tidak mungkin, sebab beberapa tempat di Semarang telah membuktikannya. Banyak bukit telah hilang yang kemudian beralih fungsi menjadi kompleks perumahan.

Sebuah truk melaju menuruni jalan tepat di sebelah saya yang tengah mengabadikan keindahan Brown Canyon. Saya dan sang sopir saling melontarkan senyum. Senyum yang kemudian terhalang oleh hamburan debu dari roda truk tadi. Ah, andai Pemerintah Kota Semarang bisa mengambil alih dan memanfaatkan Brown Canyon sebagai destinasi wisata. Saya yakin, pasti bakal banyak wisatawan yang tertarik. Apalagi jika jalan menuju ke tempat ini diperbagus.

Sebuah truk penuh muatan
melaju turun

Namun kemudian saya tersadar, alam sering sekali mengalah demi manusia dan alasan ekonominya.
Banyak sekali orang yang menggantungkan hidupnya pada area penambangan ini. Brown Canyon hanyalah ketidaksengajaan bagi para penambang. Ketidaksengajaan yang kemudian sanggup menghipnotis orang-orang biasa seperti saya untuk menikmati keindahannya. Orang yang hanya bisa berharap dalam diamnya agar ajal tak pernah menjemput Brown Canyon suatu saat nanti.

Sementara dengan Brown Canyon dulu.
Semoga suatu saat kesampaian berlatar
belakang Grand Canyon. Aamiiin. :D


Salam Kupu-Kupu ^^d

4 comments:

  1. Baru tau kalo di semarang ada beginian, kayaknya wajib di datangi :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buruan mas kesana, entar keburu ilang loh. Ahahah.
      Terima kasih sudah berkunjung Mas Cumi. :D

      Delete
  2. trus parkir mana? bayar ngga? mobilnya yang di pake apa kak? rame tak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo!
      Mobilnya tak bawa ke atas mbak, jadi tiap mau foto aku minggir dulu.
      Aku pakai Terios.
      Ndak bayar aku kemarin, tapi denger2 sekarang warga sekitar narik uang masuk. Entah berapa.
      Endak begitu rame kok. Tenang.

      Delete