Wednesday, March 18, 2015

Lari Pagi Menuju Desa Tegalwaton



Walaupun tubuh saya sebesar ini, namun sebenarnya saya adalah orang yang rutin pergi lari pagi. Lari selalu membuat saya merasakan kesegaran dan kebebasan setiap habis melakukannya. Dulu, saya sering sekali lari di Lapangan Pancasila - lapangan pusat keramaian warga Kota Salatiga, atau di halaman Sekolah Dasar dekat rumah. Namun karena satu dan beberapa hal, intensitas saya lari menjadi berkurang dari hari ke hari. Baru-baru ini saya mendapat ajakan lari pagi yang sangat menyenangkan. Salah seorang sahabat saya menawarkan untuk lari pagi dari rumah dia menuju ke suatu desa yang tengah menjadi bahan perbincangan banyak orang karena keunikannya. Tanpa berpikir terlalu lama, saya langsung mengiyakan ajakan itu.

Pukul enam pagi, saya dan Ancha telah sampai di rumah Mbak Ulik di Desa Karangduren. Kedua orang tua Mbak Ulik tampak terkejut melihat kedatangan kami sepagi itu. Saat saya beritahu kalau kami hendak lari pagi, ayah Mbak Ulik justru terlihat semakin terkejut. Err, mungkin gara-gara jarang melihat anaknya sendiri berolahraga kali ya. Hahah.

Sebelum berlari, Mbak Ulik menanyakan keseriusan kami dalam memilih berlari dibandingkan naik motor untuk menuju ke Desa Tegalwaton - desa tetangga dari tempat sahabat saya itu tinggal. Katanya, jarak dari Karanduren-Tegalwaton lumayan jauh, belum lagi ada tanjakan curam di beberapa tempat. Ah, tidak masalah buat saya. Surprise us, mbak.

Untuk menuju Tegalwaton dari Karangduren, kami harus berlari melewatin jalan kampung beraspal yang cukup lebar. Mentari masih mengintip malu-malu dari balik gumpalan awan pagi itu. Sesekali semilir angin datang berhembus dan membuat saya sedikit kedinginan. Saya selalu suka berlari melewati jalan perkampungan seperti ini. Selalu ada berbagai macam kejutan yang ditawarkan olehnya, mulai dari tanjakan curam, rumah penduduk dengan halaman luas, persawahan nan hijau, hingga melihat warga sekitar sedang asyik mencuci pakaian di sungai bisa kami temukan. Di tengah perjalanan, Ancha memutuskan menyerah berlari dan memilih menjadi juru foto saja.

Jalan desa menuju Tegalwaton

Ini ketika saya dan Mbak Ulik lari melewati tanjakan.
Hosh...Hosh.

Mbak Ulik mulai "panas"

Ancha yang tetep dingin. -_-


Ternyata, jarak Rumah Mbak Ulik dengan Desa Tegalwaton tidak sejauh yang saya bayangkan. Mungkin hanya sekitar 1,5 sampai 2 kilometer-an saja. Meskipun jalannya naik turun, tapi seriusan saya tidak terlalu merasakan rasa capek gara-gara asyik mengobrol bersama kedua sahabat saya dan menikmati pemandangan. Tahu-tahu kami sudah sampai di sirkuit pacuan kuda yang ada di desa itu saja.

Berpapasan dengan anak-anak yang sudah datang
lebih awal

Disambut podium dan gardu pandang

Desa Tegalwaton memang spesial. Beberapa orang menjuluki desa yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang ini sebagai Kampung Koboi. Julukan itu disematkan mengingat banyaknya jumlah kuda, penggembala, perawat dan joki kuda yang ada disana. Bahkan, ada dua sekolah berkuda yakni Arrowhead dan Havana yang turut meramaikan desa tersebut.

Tak tanggung-tanggung, sirkuit pacuan kuda yang kami lihat pagi itu merupakan sirkuit dengan standarisasi nasional dan kabarnya hanya ada sedikit di negara kita tercinta. Sirkuit pacuan kuda ini ketika tidak sedang dipakai event, maka digunakan oleh para penggembala dan joki untuk melatih kuda-kuda mereka. Setiap hari selama pagi dan sore, puluhan kuda diajak berkeliling mengelilingi sirkuit oleh penggembala atau joki masing-masing. Kegiatan jogging kuda tersebut sanggup membius puluhan penonton setia - kebanyakan masyarakat sekitar desa - untuk sekedar menikmati pemandangan langka bagi masyarakat biasa, termasuk bagi kami bertiga.




Seperti kebanyakan penonton lain, kami langsung mencari spot duduk nyaman dan menyaksikan puluhan kuda cantik beserta joki masing-masing yang seliweran di hadapan kami. Kuda-kuda itu tampak sehat dan kuat. Kata Mbak Ulik, harga satu ekor kuda yang ada disana bisa menembus harga yang fantastis yakni puluhan juta sampai satu miliar rupiah! Bahkan, harga bakalan semakin melambung kalau kuda tersebut pernah memenangkan kompetisi pacuan kuda. Glek! Mau dong dikasih satu. *eh*

Para penonton lain

Dua gadis kecil saling menunjukkan kuda favorit mereka

Kalau kuda favorit saya ini.
Suka warnanya yang abu-abu. :)

Selain kuda besar, ada kuda poni juga

Persahabatan dua anak manusia dan seekor kuda poni

Saya langsung terkesima melihat kuda-kuda itu. Apalagi, kalau kudanya dinaiki langsung oleh para joki. Beh. Keren maksimal. Para joki tampak begitu gagah mengendarai kuda masing-masing. Entah saya yang terlalu udik atau bagaimana, tapi setiap melihat joki lewat bersama kuda mereka, saya bagaikan melihat orang yang tengah diselubungi aura misterius. Pandangan mata saya sampai tak bisa lepas menyaksikan mereka berlari dari ujung ke ujung. Sesekali para penonton bersorak ketika melihat beberapa ekor kuda yang memberontak ketika diajak berlari oleh para joki dengan cara mengangkat dua kaki mereka ke udara.

Keren! *.*

Saya berasa stalker joki kuda. Tapi asli, keren
sekali mereka. *.*

Seekor kuda yang memberontak

Saking terbiusnya menyaksikan pemandangan jogging kuda disana, tak terasa sudah tiga jam lebih kami berada di sekitar sirkuit. Sudah tak ada lagi kuda yang diajak lari oleh para joki, penonton lain pun sudah beranjak pergi. Tinggal kami bertiga yang masih setia menikmati pemandangan sirkuit. Sirkuit pacuan kuda itu cukup luas sampai-sampai ada padang hijau di tengah-tengahnya. Beberapa ekor kuda tampak tengah digembalakan di padang hijau tersebut. Oh, kami juga bisa menikmati pemandangan tiga gunung (Merbabu, Telomoyo dan Ungaran) dengan leluasa dari sana.

Padang rumput di tengah sirkuit

Gunung Merbabu, Fujiyama-nya orang Salatiga!

Meskipun telah sepi, namun kami bertiga tak lantas pulang. Justru ketika sudah tidak ada kuda yang melintasi sirkuit, kami jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih leluasa. Kami bertiga bisa melihat start gate atau gerbang besar yang dipakai sebagai titik awal dalam pacuan kuda, serta mencoba naik ke gardu pandang yang biasa dipakai para wasit untuk memerhatikan kuda-kuda yang tengah berlomba. Kapan lagi kan, ya? Ah, saya jadi kepingin melihat event pacuan kuda di Tegalwaton suatu saat nanti.

Ancha nge-plank di tembok pembatas

Mbak Ulik di depan start gate

Saya nangkring di atas gardu pandang wasit

Pengalaman lari pagi menuju ke Desa Tegalwaton benar-benar terasa menyenangkan buat saya. Mata saya sukses terhibur dengan pesona yang ditawarkan di sepanjang jalan maupun di desa itu sendiri. Ketika biasanya saya lari pagi mentok-mentoknya cuma melihat motor dan mobil lalu lalang, kemarin saya bisa menikmati puluhan kuda yang lalu lalang di sekitaran. Terima kasih atas ajakannya Mbak Ul.  Mau dong diajakin lari lagi kesana. :)

How To Get There:
- Untuk menuju Desa Tegalwaton, paling mudah adalah mengikuti rute ini: jika anda dari Kota Semarang atau Solo yang perlu dilakukan adalah berjalan sampai ke Pasar Kembangsari, Kecamatan Tengaran. Pasar ini berada persis di pinggir Jalan Raya Salatiga-Solo. Nah, nanti akan ada jalan aspal kecil tepat di sebelah pasar, masuk saja dan ikuti papan penunjuk arah "Sekolah Berkuda Arrowhead" yang tersebar dimana-mana. Sirkuit pacuan kuda berada persis di pinggir jalan desa.
- Tidak dikenakan biaya apapun untuk menyaksikan kegiatan jogging kuda. Namun harap diingat, kegiatan ini hanya berlangsung selama dua kali dalam sehari yakni ketika pagi (sekitar jam 05.00-09.00) dan sore (sekitar pukul 15.00-17.00)

Terima kasih! Ayo lari pagi! :)


Salam Kupu-Kupu ^^d

1 comment:

  1. masbro, saya ari putra NGelo tegal waton. mohon ijin mengkopy foto atau artikel yng ada disini.

    ReplyDelete