Letak geografis Kota Salatiga yang terlihat bagaikan dikelilingi oleh deretan gunung, membuat air terjun adalah pesona alam yang mudah ditemukan di sekitar kota. Kebanyakan air terjun bermuara dan terdapat di kaki Gunung Merbabu - gunung pelindung kota kami. Saat salah seorang sahabat saya, Nurul, datang jauh-jauh dari ibukota negara dan mengajak berwisata dengan waktu yang sedikit mepet. Saya pun mengajaknya ke salah satu air terjun bernama Kali Pancur. Air terjun yang terakhir kali saya datangi manakala masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Kali Pancur adalah air terjun yang jaraknya paling dekat dengan Kota Salatiga dibandingkan beberapa air terjun lain di kaki Gunung Merbabu. Meskipun demikian, secara administrasi air terjun itu sudah masuk ke dalam wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Paling lama hanya dibutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk bisa sampai kesana dari pusat kota.
Dengan motor matic kesayangan, kami berdua pun berjalan menyusuri jalan. Cuaca yang tengah mendung membuat kami langsung merasa kedinginan begitu melewati batas kota dan memasuki wilayah Kecamatan Getasan - kecamatan yang kontur tanahnya memang berbukit-bukit dan jauh lebih tinggi dibanding Kota Salatiga.
Papan penunjuk arah Air Terjun Kali Pancur mudah sekali ditemukan. Arahnya searah dengan Desa Ngrawan - desa yang beberapa waktu belakangan menasbihkan diri sebagai desa menari. Namun saat untuk menuju Desa Ngrawan nanti harus berbelok ke kiri, Kali Pancur hanya berjalan lurus mengikuti jalan desa, kemudian berbelok ke arah kanan memasuki jalan semi tanah yang terasa agak licin ketika basah.
Seorang pria tua dan dua wanita mengarahkan parkir tepat di dekat pintu masuk menuju air terjun. Tak lupa, mereka menyerahkan kertas karcis bertuliskan Rp 2.000,00 per orang sebagai biaya masuk. Kertas karcis paling sederhana yang pernah saya lihat dalam kunjungan-kunjungan ke berbagai tempat wisata.
Tantangan terbesar dari mengunjungi Air Terjun Kali Pancur adalah trek anak tangganya. Saya ingat betul ketika masih kecil, anak tangga itu serasa tak berujung. Katanya, ada yang pernah menghitung kalau jumlah anak tangga dari pintu masuk menuju ke bawah air terjun mencapai 850 buah. Itu belum termasuk trek tanah menurun biasa, dan anak-anak tangga yang hilang karena longsor.
Saya sudah mewanti-wanti Nurul sejak awal: trek anak tangga ini akan terasa berat saat kita mendaki pulang nanti. Trek anak tangga itu pulalah yang membuat Air Terjun Kali Pancur tidak begitu difavoritkan pengunjung, dibandingkan beberapa air terjun lain yang treknya jauh lebih bersahabat.
Nurul yang sepertinya memang tengah rindu akan wisata alam hanya mengiyakan perkataan saya dan meminta untuk segera meneruskan perjalanan. Kami pun menuruni anak tangga itu satu persatu.
Pemandangan sepanjang perjalanan membuat kami sedikit-sedikit berhenti untuk mengambil gambar. Di awal trek kami disuguhi pemandangan hutan dengan vegetasi liarnya di samping jalur. Kami sempat menjumpai wanita penduduk desa yang berjalan naik dengan membawa timbunan rumput liar di kepalanya. Saya dan Nurul hanya bisa terkagum-kagum, mengajak ngobrol sebentar, kemudian melemparkan senyum perpisahan kepadanya. Senyum penuh tanda hormat.
Semakin masuk ke bawah, pemandangan yang disajikan benar-benar memanjakan mata. Ada satu bagian dimana kami bisa melihat Rawa Pening di kejauhan. Ada pula bagian dimana terdapat bangunan tembok dengan kolam-kolam penampungan air sungai di dalamnya. Saya sempat mencoba memasukkan tangan dan menyerobok sedikit air yang jernih itu. Air itu segera saya lepas karena rasanya begitu dingin di telapak tangan.
Namun, bagian favorit saya adalah ketika menjumpai air terjun kecil tepat di sisi jalan. Air terjun kecil ini airnya mengalir menuju tepat di bawah anak tangga yang kami injak, sebelum nanti mengalir lagi menuju sungai di bawah. Kami memang beruntung. Datang saat masih musim penghujan sepertinya membuat pesona Air Terjun Kali Pancur makin paripurna.
Ada pula jalur yang di sampingnya mengalir sungai kecil nan deras. Jalur setelah itu adalah jalur yang membuat kami harus ekstra waspada karena anak-anak tangga telah menghilang digantikan tanah bekas longsor.
Jalur tanah bekas longsor ini sekaligus menjadi penanda kalau kami telah dekat dengan air terjun. Dua gubuk sederhana: satu di atas sedang satu lagi berada di bawah, terlihat di depan mata kami. Gubuk yang atas digunakan sebagai tempat berteduh, sedang gubuk di bawah berfungsi sebagai tempat ganti pakaian bagi pengunjung yang hendak berbasah-basahan.
Pagi itu, kami berjumpa dengan segerombolan anak SMP yang masih mengenakan seragam kebangaan mereka. Kalau dihitung dari jumlah, sepertinya mereka semua adalah penghuni satu kelas. Ikut serta bersama mereka adalah dua orang pria dewasa, satu adalah guru sedangkan satunya lagi adalah seorang sopir. Saya yang iseng pun mengajak mengobrol bapak guru. Kata beliau, kunjungan mereka kali ini merupakan bagian dari belajar lapangan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
Tiket masuk tempat wisata paling murah dan sederhana. |
Tantangan terbesar dari mengunjungi Air Terjun Kali Pancur adalah trek anak tangganya. Saya ingat betul ketika masih kecil, anak tangga itu serasa tak berujung. Katanya, ada yang pernah menghitung kalau jumlah anak tangga dari pintu masuk menuju ke bawah air terjun mencapai 850 buah. Itu belum termasuk trek tanah menurun biasa, dan anak-anak tangga yang hilang karena longsor.
Stairway to waterfall |
Saya sudah mewanti-wanti Nurul sejak awal: trek anak tangga ini akan terasa berat saat kita mendaki pulang nanti. Trek anak tangga itu pulalah yang membuat Air Terjun Kali Pancur tidak begitu difavoritkan pengunjung, dibandingkan beberapa air terjun lain yang treknya jauh lebih bersahabat.
Nurul yang sepertinya memang tengah rindu akan wisata alam hanya mengiyakan perkataan saya dan meminta untuk segera meneruskan perjalanan. Kami pun menuruni anak tangga itu satu persatu.
Pemandangan sepanjang perjalanan membuat kami sedikit-sedikit berhenti untuk mengambil gambar. Di awal trek kami disuguhi pemandangan hutan dengan vegetasi liarnya di samping jalur. Kami sempat menjumpai wanita penduduk desa yang berjalan naik dengan membawa timbunan rumput liar di kepalanya. Saya dan Nurul hanya bisa terkagum-kagum, mengajak ngobrol sebentar, kemudian melemparkan senyum perpisahan kepadanya. Senyum penuh tanda hormat.
Atap pepohonan di sekeliling jalur |
Wanita yang mengambil rumput nun jauh di bawah sana |
Air Terjun Kali Pancur dari jalur atas |
Semakin masuk ke bawah, pemandangan yang disajikan benar-benar memanjakan mata. Ada satu bagian dimana kami bisa melihat Rawa Pening di kejauhan. Ada pula bagian dimana terdapat bangunan tembok dengan kolam-kolam penampungan air sungai di dalamnya. Saya sempat mencoba memasukkan tangan dan menyerobok sedikit air yang jernih itu. Air itu segera saya lepas karena rasanya begitu dingin di telapak tangan.
Rawa Pening di ujung sana |
Bangunan di belakang saya itulah yang menyimpan kolam-kolam penampungan |
Nurul di air terjun kecil tepat pada samping jalur |
Ada pula jalur yang di sampingnya mengalir sungai kecil nan deras. Jalur setelah itu adalah jalur yang membuat kami harus ekstra waspada karena anak-anak tangga telah menghilang digantikan tanah bekas longsor.
Sungai kecil nan deras di sisi kiri jalur |
'Tanamannya bagus ya ngga...', kata Nurul. |
Jalur tanah bekas longsor ini sekaligus menjadi penanda kalau kami telah dekat dengan air terjun. Dua gubuk sederhana: satu di atas sedang satu lagi berada di bawah, terlihat di depan mata kami. Gubuk yang atas digunakan sebagai tempat berteduh, sedang gubuk di bawah berfungsi sebagai tempat ganti pakaian bagi pengunjung yang hendak berbasah-basahan.
Pagi itu, kami berjumpa dengan segerombolan anak SMP yang masih mengenakan seragam kebangaan mereka. Kalau dihitung dari jumlah, sepertinya mereka semua adalah penghuni satu kelas. Ikut serta bersama mereka adalah dua orang pria dewasa, satu adalah guru sedangkan satunya lagi adalah seorang sopir. Saya yang iseng pun mengajak mengobrol bapak guru. Kata beliau, kunjungan mereka kali ini merupakan bagian dari belajar lapangan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
Saya langsung terkejut. Dulu jaman saya masih sekolah, tidak ada belajar lapangan semacam ini. Sesekali bapak guru mendekati murid-muridnya dan menjawab pertanyaan yang mereka utarakan. Ah, tengah mempelajari energi alternatif rupanya.
Mereka berandai-andai, jika saja debit air yang ada di Kali Pancur bisa digunakan sebagai penggerak pembangkit listrik tenaga air, pasti desa yang berada di dekat air terjun bisa sejahtera listrik. Saya dan Nurul hanya bisa tersenyum melihat mereka. Apalagi raut kebahagian terpancar di wajah setiap murid, satu per satu. Berterima kasihlah kepada guru kalian, guru yang begitu keren dan bisa dikatakan langka jaman sekarang ini.
Jangan tertipu dengan debit maupun tempias Air Terjun Kali Pancur. Sekilas memang terlihat kecil, tapi berdiri di sekitar kolam airnya barang semenit saja sudah membuat seluruh pakaian saya basah kuyup. Mungkin, inilah air terjun dengan tempias air paling dahsyat yang pernah saya kunjungi. Tempias air dahsyat itu sepertinya akibat dari ketinggian air terjun sendiri yang mencapai kurang lebih 100 meter.
Mengambil foto tepat di bawah air terjun bagai memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Susahnya minta ampun. Berkali-kali kami berdua harus mengelap lensa kamera smartphone yang tertutup embun air. Semua foto harus dilakukan dengan gerak cepat. Itu saja masih untung-untungan, entah hasilnya berhasil atau malah kabur. Kami sampai frustasi.
Mengingat hari itu adalah Hari Jumat, dan saya harus menjalankan ibadah maka kami tak bisa terlalu lama berada disana. Dengan badan yang basah kuyup, kami berdua menaiki kembali anak-anak tangga yang telah kami lewati tadi. Nurul mulai tampak kelelahan. Tempo berjalannya mulai melambat dan terus melambat dari waktu ke waktu.
Saya kasihan dengannya. Tapi, tak ada yang bisa saya lakukan selain memberikan semangat, mendorong dari belakang dan menyuruh berhenti ketika nafasnya mulai terdengar berat. Terkadang saya terpaksa berbohong. Mengatakan kalau sebentar lagi sudah sampai atas, padahal sebenarnya masih agak jauh.
Untung saja kami berdua bisa kembali ke tempat parkir dengan selamat. Nurul langsung meminta rehat di kursi bambu yang disediakan warga bagi para pengunjung. Trek anak tangga itu memang melelahkan. Namun bagi saya, semuanya sepadan. Sepadan dengan keindahan dan pemandangan yang kami jumpai dalam perjalanan yang melelahkan. Dan buat saya, Air Terjun Kali Pancur adalah air terjun favorit saya untuk sekarang ini.
"Capek ngga, tapi seru banget...", kata Nurul menutup petualangan kami hari itu.
Salam Kupu-Kupu ^^d
P.S. All photos were captured only by smartphone. Sorry for the bad quality.
Mereka berandai-andai, jika saja debit air yang ada di Kali Pancur bisa digunakan sebagai penggerak pembangkit listrik tenaga air, pasti desa yang berada di dekat air terjun bisa sejahtera listrik. Saya dan Nurul hanya bisa tersenyum melihat mereka. Apalagi raut kebahagian terpancar di wajah setiap murid, satu per satu. Berterima kasihlah kepada guru kalian, guru yang begitu keren dan bisa dikatakan langka jaman sekarang ini.
Pria berbaju ungu di atas adalah guru mereka. Dan, ternyata beliau merupakan suami dari guru SMA saya dulu. Dunia memang sempit. |
Jangan tertipu dengan debit maupun tempias Air Terjun Kali Pancur. Sekilas memang terlihat kecil, tapi berdiri di sekitar kolam airnya barang semenit saja sudah membuat seluruh pakaian saya basah kuyup. Mungkin, inilah air terjun dengan tempias air paling dahsyat yang pernah saya kunjungi. Tempias air dahsyat itu sepertinya akibat dari ketinggian air terjun sendiri yang mencapai kurang lebih 100 meter.
Untuk bisa mengambil foto air terjun dari atas ke bawah, saya harus mengambilnya dari jauh. |
Mengambil foto tepat di bawah air terjun bagai memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Susahnya minta ampun. Berkali-kali kami berdua harus mengelap lensa kamera smartphone yang tertutup embun air. Semua foto harus dilakukan dengan gerak cepat. Itu saja masih untung-untungan, entah hasilnya berhasil atau malah kabur. Kami sampai frustasi.
Ini kalau anak-anak muda kekinian, pasti sudah teriak "My Trip, My Adventure". Sehubungan saya bukan anak muda kekinian, ya sudah diem anteng aja. :p |
Nurul dengan tree pose-nya |
Mengingat hari itu adalah Hari Jumat, dan saya harus menjalankan ibadah maka kami tak bisa terlalu lama berada disana. Dengan badan yang basah kuyup, kami berdua menaiki kembali anak-anak tangga yang telah kami lewati tadi. Nurul mulai tampak kelelahan. Tempo berjalannya mulai melambat dan terus melambat dari waktu ke waktu.
Saya kasihan dengannya. Tapi, tak ada yang bisa saya lakukan selain memberikan semangat, mendorong dari belakang dan menyuruh berhenti ketika nafasnya mulai terdengar berat. Terkadang saya terpaksa berbohong. Mengatakan kalau sebentar lagi sudah sampai atas, padahal sebenarnya masih agak jauh.
Untung saja kami berdua bisa kembali ke tempat parkir dengan selamat. Nurul langsung meminta rehat di kursi bambu yang disediakan warga bagi para pengunjung. Trek anak tangga itu memang melelahkan. Namun bagi saya, semuanya sepadan. Sepadan dengan keindahan dan pemandangan yang kami jumpai dalam perjalanan yang melelahkan. Dan buat saya, Air Terjun Kali Pancur adalah air terjun favorit saya untuk sekarang ini.
"Capek ngga, tapi seru banget...", kata Nurul menutup petualangan kami hari itu.
Terima kasih sudah berkunjung. Salam dari kami berdua yang bagaikan tikus kecebur got saking dahsyatnya air yang menciprat kemana-mana. -_- |
Salam Kupu-Kupu ^^d
P.S. All photos were captured only by smartphone. Sorry for the bad quality.
Wah ane kemarin juga habis dari situ g, ansayang pas ane kesitu debit airnya sedikit, tapi no problem keindahanya tidak diragukan lagi walaupun kalau mau kebawah musti olahraga dulu :D
ReplyDeletehehhee.
Mampir ke Blogku juga ya gan, saling tukar informasi mengenai tempat wisata...
Hihihih belum beruntung berarti mas.
DeleteKesana lagi aja. :)
Siap mas. Terima kasih sudah mampir.