Wednesday, May 13, 2015

Touring Ke Karanganyar Part II: Candi Ceto, Kebun Teh Kemuning Dan Pura Pemacekan



Peluh bercucuran dan kepala terasa berat, saya rasakan ketika menaiki kembali ke-116 anak tangga dari Air Terjun Jumog. Hal yang sama sepertinya juga dirasakan kedua kawan saya. Betty bahkan terlihat berjalan naik dengan tempo lambat, sambil terus menarik-keluarkan nafas. Kami pun menyempatkan beristirahat sebentar sehabis mengalahkan deretan anak tangga tadi. Sekedar melegakan kaki dan menghilangkan dahaga. 

Perjalanan selanjutnya kami lakukan pasca istirahat, tujuan utamanya adalah mengunjungi candi lain yang selalu dijadikan pasangan bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Karanganyar, Candi Sukuh-Candi Ceto. Candi Ceto-Candi Sukuh. Mereka bagai sepasang kekasih yang tak terpisahkan.

Meski hanya menargetkan Candi Ceto, namun kami bertiga memutuskan mampir ke dua tempat yang lain sebelum beranjak pulang ke Salatiga. Langit mulai labil saat kami memulai petualangan menuju Desa Ngargoyoso - desa tempat candi itu berada.

Candi Ceto Dan Tanjakan Mautnya
Jalan yang mengarah ke Candi Ceto, berbeda dengan jalan yang mengarah ke Candi Sukuh dan Air Terjun Jumog. Untuk itu, kami harus kembali ke pertigaan di ujung jalan dan berbelok kanan mengikuti jalanan yang ada. Kata Betty, jaraknya lebih jauh dibandingkan saat ke Candi Sukuh tadi.

Setelah melewati terminal, kami mulai memasuki jalanan dengan perkebunan teh di sisi kanan-kiri jalan. Di beberapa sudut, wanita-wanita pekerja tampak tengah memunguti pucuk daun teh dengan begitu cekatan. Pemandangan yang sungguh memanjakan kedua mata ini.

Seorang wanita berseragam meminta retribusi jalan sebesar Rp 1.000,00 per motor di jalan masuk menuju ke Candi Ceto. Dan, petualangan sesungguhnya demi menuju Candi Hindu yang dibangun pada akhir 14 Masehi pun dimulai dari sana.

Serius, saya tak melihat apapun selain dua hal ini: kebun teh dan jalan menanjak. Tanjakan ini terasa tak berkesudahan, dan justru semakin curam dari waktu ke waktu. Tanjakan paling, err, menantang adalah tanjakan ketika sudah memasuki Desa Ngargoyoso dan menuju ke arah Candi Ceto. Kemiringan jalannya sampai membuat motor matic yang saya naiki bergetar hebat dan berjalan super lambat.

Sepanjang jalan menuju Candi Ceto. Ini tanjakan loh.

Dua orang pria petugas parkir melambaikan tangannya dari posisi berdiri mereka yang berbeda: satu di atas, satu di bawah. Khawatir motor saya mati mendadak di tengah jalan, saya memilih ke arah pria tua yang berada di tempat parkir bawah. Fyuh. Saya senang sekali karena telah berhasil melewati tanjakan maut itu.

Sembari menunggu Agam-Betty yang tak kunjung tiba, saya pun mengobrol dengan bapak petugas parkir. Tentang banyak hal. Saya yang tertarik karena melihat setiap rumah di desa itu hampir semuanya bergapura, akhirnya diberitahu oleh bapak kalau Desa Ngargoyoso ini dihuni oleh penduduk yang mayoritas beragama Hindu. Oh, pantas~

Sejurus kemudian, saya melihat sepasang manusia yang saya kenal tengah berjuang di ujung jalan. Sang pria yang berada di depan tampak mengendalikan motor bebek dengan mati-matian. Beberapa kali sang wanita turun ketika dirasa motornya tak kuat menanjak. Sepasang manusia tadi adalah Betty dan Agam. Pemandangan itu membuat saya dan bapak petugas parkir tertawa terbahak-bahak. Apalagi setelah kemudian Betty memutuskan berjalan kaki saja untuk menuju ke tempat parkir.

Foto yang diambil Betty di salah satu ruas
tanjakan. Agam tengah berjuang membawa
naik motor ke atas.

Betty dan Agam datang dengan raut muka yang begitu letih, sama seperti saya yang ngos-ngosan tadi. Saya masih tak bisa menahan tawa ketika melihat mereka berdua sampai di atas. Kabut pekat yang mendadak menyelimuti ujung jalan tanjakan, membuat saya berhenti tertawa dan menyuruh mereka untuk bergegas membeli tiket dan segera memasuki candi.

Sehabis membayar tiket sebesar Rp 3.000,00 per orang, kami bertiga diberhentikan seorang pemuda yang berjaga di dekat anak tangga menuju ke candi. Digiringnya kami ke sebuah halaman lain dimana pemuda lainnya telah menunggu. Masing-masing dari kami dipinjami kain bermotif papan catur. Katanya kain ini wajib dikenakan, agar Candi Ceto tetap terjaga kesuciannya. Donasi seikhlasnya pun diberikan Betty kepada mereka.

Dua orang pengunjung dipakaikan kain
kotak-kotak motif papan catur

Baru melangkah memasuki pelataran awal candi, kabut yang tadi saya lihat di bawah telah mengejar dan menyamarkan candi utama. Suasana mendadak berubah sedikit mistis dan sepi, meski saya tahu selain kami bertiga ada puluhan pengunjung lain yang tersebar di berbagai sudut candi.

Dan kabut menyerang, kisanak

Candi Ceto sendiri terdiri dari sembilan tingkatan, bentuknya (lagi-lagi) menyerupai punden berundak dengan luas halaman tingkatan yang berbeda-beda. Di salah satu tingkatan menjelang memasuki candi utama, kami dihadang oleh sebuah arca besar yang melintang di tengah pelataran. Kami bertiga sempat berdebat, saya menebak kalau arca tersebut berbentuk panah dan berhubungan dengan astronomi, sedangkan Agam dan Betty melihat kalau bentuknya lebih mirip alat kelamin pria.

Kalau dipikir-pikir lagi, lebih mirip "itu" sih.

Dan setelah mencari informasi, ternyata tebakan mereka berdua-lah yang betul. Serupa dengan Candi Sukuh, Candi Ceto diperkirakan dibangun sebagai tempat mengharap dan memuja kesuburan, baik bagi tanah maupun keturunan. Arsitektur Candi Ceto juga berbeda sekali dengan pakem-pakem kebanyakan candi yang bisa ditemukan di Indonesia.

Betty di jalan masuk menuju candi utama

Sepintas serasa tengah berada di Bali
saat melihat arsitektur-arsitektur candi

Hampir di setiap tingkatan menuju tingkatan paling atas, kami menemukan bangunan-bangunan menyerupai gubuk kecil: ada yang tersusun dari batu, ada pula yang dari kayu. Agam sempat tak percaya kalau candi ini dibangun pada akhir abad ke 14 gara-gara melihat deretan bangunan kecil itu.

Gubuk-gubuk kecil

Penunggu salah satu gubuk



Bau dupa terasa memenuhi udara, menambah aura misterius dari candi yang diselimuti oleh kabut. Fungsi bangunan-bangunan kecil tersebut akhirnya terjawab, setelah kami sampai di tingkatan paling atas. Kami bertiga bisa melihat tiga orang pria tengah berdoa dipimpin oleh seorang tetua desa. Entah apa yang diminta oleh ketiga pria itu.

Candi utama

Seorang pemandu tengah menunggu
tiga orang pria yang sedang memanjatkan doa

Sayangnya, saya tak yakin mereka bisa bertiga bisa khusyuk. Kehadiran puluhan pengunjung yang hilir mudik di sekeliling, pasti mengusik mereka. Segerombol pengunjung wanita muda malah ada yang tertawa keras dan mengeluhkan pose kurang oke mereka di kamera. Saya yang jengah langsung menghardik sambil menaruh jari telunjuk di hidung, menyuruh mereka semua tak berisik karena ada yang tengah beribadah. Inilah yang kadang membuat sedih saat berkunjung ke suatu tempat wisata spiritual, dan menemukan para pengunjung yang kurang sadar akan rasa saling menghormati. Kalian ini tamu, loh.

Kebun Teh Kemuning: Suatu Pelajaran Akan Perspektif Melihat
Melihat deretan kebun teh yang tersebar sepanjang jalan menuju Candi Ceto, rasanya sayang jika kami melewatkan begitu saja tanpa mendatanginya dari dekat. Kebun-kebun teh itu memang cantik, menghuni sejumlah bukit yang berada di kawasan tersebut. Saya bagaikan menyaksikan permadani hijau raksasa sejauh mata memandang.

Betty pun mengarahkan kami ke suatu tempat dimana kami bisa menikmati kebun teh dari dekat, dan ini bagian pentingnya: GRATIS! Untuk menuju kesana, kami harus keluar terlebih dahulu dari jalan masuk Candi Ceto dan kembali ke arah ketika kami berangkat tadi.

Di jalan besar yang sebelumnya telah kami lewati, Agam-Betty yang berada di depan mendadak berbelok memasuki jalan tanah di tengah perkebunan teh. Jalan selebar kurang lebih satu setengah meter itu mengarah memasuki perkebunan teh dengan beberapa lapak penjual makanan berada di pinggir-pinggirnya.

Bangunan kecil di atas adalah lapak-
lapak para penjual makanan

Dari atas motor, saya bisa melihat beberapa pengunjung yang datang jauh sebelum kami telah memasuki perkebunan teh sambil berfoto disana-sini. Mengikuti jejak mereka, kami pun segera memarkirkan motor di pinggir jalan untuk kemudian berjalan kaki menuju tengah kebun.

Awalnya saya sempat takut, jangan-jangan nanti kami dimarahi para pemetik teh. Namun, saya tak menjumpai seorang pemetik teh pun di sekitaran tempat kami. Hanya ada kami bertiga, ditambah sekitar delapan pengunjung yang lain. Kebun teh yang kami masuki ini berada di bukit, sehingga jalan setapaknya naik turun.

Bukit dan Kebun Teh! Hore!

Saat mendekati kebun teh, saya jadi menyadari tentang adanya suatu kontradiksi dari apa yang ditangkap oleh indera penglihatan. Kebun teh yang kalau dilihat dari jauh tampak begitu indah, ternyata setelah didekati secara langsung, ya, terkesan biasa saja. Tanaman-tanaman teh itu mirip tanaman dadah, tanaman yang dulu jamak dijumpai di kampung saya sebagai pengganti pagar rumah.

Kebun teh dari dekat

Saya kembali membandingkan antara kebun teh tempat kami berdiri, dengan kebun teh yang berada di ujung bukit depan. Rasanya berbeda, yang jauh tetap lebih menawan. Kami bertiga pun sesekali berjalan di antara ruas-ruas tanaman, mencoba merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang pemetik teh sembari mengambil beberapa dokumentasi diri.
Kebun teh dari jauh. Beda kan, ya?

Meski langit sedikit mendung, tapi gerahnya terasa luar biasa saat kami berada di tengah kebun teh. Saya yang tak tahan dengan panas, akhirnya mengajak kedua teman untuk kembali ke parkiran dan menuju ke tujuan kami selanjutnya. Meninggalkan Kebun Teh Kemuning yang memberikan pelajaran kami tentang perspektif melihat.

Agam-Betty-Saya. Good friends, good trip!
Oh, Agam topinya cetar membahana.

Sejenak Di Pura Pemacekan
Nama Pura Pemacekan, pertama kali saya ketahui dari Instagram. Sebuah pura nan cantik dengan gapura yang tinggi besar dan berwarna keemasan, membuat saya begitu penasaran dengannya. Pura Pemacekan pun kami jadikan destinasi touring terakhir kami di Kabupaten Karanganyar.

Tak mudah untuk menemukan Pura Pemacekan, setidaknya bagi kami. Saya sempat bertanya dengan ibu petugas parkir di Candi Sukuh dan meminta petunjuk arah darinya. Petunjuk arah yang justru membuat kami tersesat, dan memasuki desa yang benar-benar asing.

Kami pun berbalik arah. Tepat di pasar sebelah Terminal Karangpandan, Betty bertanya kembali ke seorang petugas parkir. Awalnya petugas parkir itu terlihat kebingungan, barulah setelah Betty menyebut nama desa lokasi pura, dia segera menjelaskan arah dengan begitu lancar. Menurutnya, kami telah berjalan terlalu jauh. Seharusnya tadi setelah keluar dari jalan masuk arah Candi Sukuh, kami langsung saja berbelok ke kiri, menuju ke arah Patung Semar. Landmark dari daerah itu.

Kami masih sempat bertanya kembali ke seorang petugas parkir lain di depan suatu rumah makan, sekedar memastikan kalau kami mengarah ke arah yang benar. Iya, kami benar kok. Tinggal naik sebentar. lalu kami akan sampai ke pura yang memiliki nama lengkap: Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parahyangan Sapta Pandita ini.

Sebuah jalan kecil seukuran satu meter, membawa kami masuk ke dalam suatu pekarangan dimana pura itu berada. Kami bertiga langsung bengong, Pura Pemacekan tak seperti yang kami bayangkan sebelumnya. Saya pikir, kami akan menjumpai pura dengan halaman yang begitu luas. Nyatanya, pura tersebut hanya menempati sudut kecil dari pekarangan tadi.

Pura Pemacekan dari depan
Sejumlah kambing tampak tengah merumput di pekarangan, membuat kami harus awas dengan "ranjau-ranjau darat" yang ditinggalkannya. Seorang gadis kecil dan ayahnya sabar menanti mereka kenyang makan dari pinggir pekarangan.

Dua ekor kambing yang kami temui. Masih ada beberapa
ekor lagi.

Pura yang kadang disebut dengan sebutan Pura Pasek itu tengah terkunci. Gerbangnya tertutup rapat sekali sehingga kami tak bisa masuk ke dalam. Kami pun hanya bisa puas menikmati gapura warna keemasan yang mengelilingi pura tersebut. Saya suka sekali dengan gapura-gapuranya, dihiasi oleh berbagai ornamen dan pahatan yang begitu detail di sudut-sudutnya.

Saya dan Pintu Pura paling tinggi. Padahal, saya
ini tingginya 173 cm loh.

Salah satu pahatan di dinding pura

Patung penjaga pintu masuk pura.
Saya suka!

Di gapura paling tinggi, kami bertiga dibingungkan dengan adanya replika koin Cina yang menempati titik paling tinggi dari gapura. Entah apa maknanya, kami kurang tahu. Tak banyak informasi yang bisa kami dapatkan dari Pura Pemacekan karena gerbangnya yang tertutup rapat. Setelah mengambil beberapa buah foto, kami pun memutuskan untuk pulang.

Kalian bisa melihat koin di ujung atas itu, bukan?



***************

Berhati-hatilah dengan perkataan yang kau ucapkan. Saat di Air Terjon Jumog, Agam sempat berkata kalau tidak masalah jika hari itu turun hujan karena kami bertiga telah membawa mantel. Dan tanpa disangka perkataannya terkabul, perjalanan touring kami pun diakhiri dengan kehujanan deras sepanjang jalan dari Karanganyar sampai ke Kota Salatiga. Ruas-ruas jari tangan saya langsung tampak keriput dan kaku karena kedinginan.

Namun sebagaimana yang Agam bilang di salah satu postingan instagramnya, it's all worth it. Menempuh kurang lebih 5 jam perjalanan demi melihat tempat-tempat wisata dimana saya selalu gagal mengunjunginya di masa lalu, sungguh membuat hati saya gembira. Again, it's all worth it.

Petualangan kami di Karanganyar selesai. Terima kasih dari
kami bertiga!


Salam Kupu-Kupu ^^d

4 comments:

  1. kak nanya dong, semisal ke tempat² tersebut pakai mobil bisa? terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ke Candi Cethonya kudu ati-ati, kak. Soale jalane nanjak curam. Kalo ke Pemacekannya ndak bisa kayae soale jalan sempit.

      Delete