Monday, November 23, 2015

Kali Pertama Ke Masjid Agung Jawa Tengah



Bisa dikatakan, Kota Semarang merupakan salah satu kepingan di dalam puzzle kehidupan saya. Di kota itulah saya menghabiskan tiga tahunan untuk menamatkan bangku kuliah. Tiga tahunan dan saya masih belum mengunjungi beberapa obyek wisata yang ada disana. Salah satunya adalah Masjid Agung Jawa Tengah yang baru-baru ini saya kunjungi justru setelah hampir dua tahun meninggalkan Semarang.

Kunjungan saya ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) tidak bakal terjadi kalau teman saya, Ancha, tak mengajak untuk bermain sebentar manakala kami berdua sama-sama ada keperluan di Semarang.
Saya pun langsung kepikiran MAJT. Tak butuh banyak alasan untuk pergi mengunjungi tempat yang belum pernah kita datangi, bukan?

Dengan terburu-buru kami segera memacu motor menuju kesana. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Masih pagi sebenarnya, namun informasi dari internet mengatakan kalau Menara Al Husna bakalan ditutup sementara sekitar jam sebelas, sebelum dibuka kembali setelah waktu Dzuhur usai.

Kami tiba di pelataran parkir sekitar 15 menit sebelum jam 11.00 WIB. Saya langsung mengajak Ancha untuk menuju ke menara terlebih dahulu sebelum melihat Masjid Agung Jawa Tengah itu sendiri. Untungnya, loket tiket masih dibuka dan kami harus membayar sebesar Rp 7.000,00 per orang.

Menara Al Husna

Kami kemudian dipersilahkan untuk menaiki lift menuju ke lantai paling atas menara. Di dalam lift, seorang petugas wanita menjelaskan lantai paling atas berfungsi tak ubahnya bak gardu pandang, sementara nanti di lantai kedua dan ketiga terdapat Museum Perkembangan Islam.

Menyambangi Menara Al Husna bagaikan satu aktivitas yang harus dilakukan saat bertandang ke MAJT. Dari atas menara setinggi 99 meter ini, para pengunjung bisa menikmati keindahan panorama Kota Semarang di segala penjuru.

Semarang dari Menara Al Husna. Itu yang paling ujung adalah
Laut Jawa.

Sekeping Semarang

Ada pula teropong-teropong yang disediakan untuk bisa menikmati pemandangan dengan lebih maksimal. Kami harus memasukkan satu keping uang Rp 1.000,00 logam baru agar bisa memakai teropong dengan durasi selama 90 detik.

Ancha berasa robot di Wall-E ahahah. :D

Kami tidak lama berada di lantai atas menara. Petugas wanita yang tadi bertugas di dalam lift memberitahu kami kalau lantai tersebut akan ditutup karena waktu Dzuhur sebentar lagi tiba. Kami pun diturunkan di lantai ketiga untuk menikmati museum yang ada disana.

Museum Perkembangan Islam ini tenyata lebih kepada perkembangan Islam di nusantara, terkhusus di Provinsi Jawa Tengah. Hal itu terlihat dari sejumlah koleksi yang ditampilkan disana, mulai dari awal mula bagaimana Islam bisa masuk ke nusantara, hingga tentang budaya pesantren yang mana memang merupakan salah satu alat penyebaran Islam paling ampuh.

Ilustrasi Bouraq karya seniman ukir Indonesia.

Saya lagi melihat foto-foto pesantren.
Kata Ancha, ini pencitraan.


Sejarah tentang Masjid Agung Jawa Tengah juga ditampilkan di museum lantai ketiga, termasuk potongan foto peresmian masjid oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 silam, atau foto-foto keindahan masjid yang diambil begitu sempurna oleh beberapa fotografer.

Beberapa dokumentasi peresmian MAJT

Untuk menuju museum di lantai kedua, kami berjalan turun melalui anak tangga penghubung kedua lantai. Anak tangga itu terbuat dari logam, dan di beberapa tempat terlihat menggelembung alasnya - membuat bebunyian muncul ketika diinjak.

Koleksi museum di lantai kedua lebih bersifat ke hal-hal berbau masa lampau. Keramik antik, gamelan, serta tembikar dari jaman dahulu bisa ditemukan disana.

Keramik bukti perdagangan kuno

Gamelan adalah salah satu alat yang membantu
penyebaran Agama Islam di masa lalu.


Saya sendiri suka dengan penataan koleksi di dua lantai museum. Walau kedua lantai itu bisa dikatakan cukup sempit, tapi kurator museum bisa memanfaatkannya dengan begitu optimal. Penataan cahayanya juga luar biasa, memberikan kesan eksklusif kepada museum.

Kelar dari museum, tentu saja kami menuju ke area MAJT untuk menikmati kemegahan dan melaksanakan Sholat Dzuhur disana. Aduh, saya langsung terpesona dengan pilar-pilarnya. Pilar berjumlah 25 buah (sesuai dengan jumlah nabi) ini sekilas terlihat bagai colloseum, dengan ukiran kaligrafi di atap-atapnya dan berwarna cantik: ungu!

Colloseum ala MAJT

Sayang, payung-payung mekanik yang ada di pelataran masjid tidak dibuka. Kata petugas wanita yang kami temui di Menara Al Husna, payung-payung tersebut hanya dibuka ketika ada acara-acara tertentu.

Payung mekanik raksasa

Saya dan Ancha harus berjalan berjingkat-jingkat ketika melewati lantai keramik untuk menuju ke area wudlu. Panasnya matahari di atas langit Kota Semarang, membuat keramik-keramik itu terasa menyengat saat diinjak.

Masjid Agung Jawa Tengah ternyata terdiri atas beberapa lantai dimana terdapat satu lantai yang digunakan sebagai lantai utama. Saya terkejut ketika melihat lantai utama itu, ruangan dalamnya ternyata tak seluas apa yang telah saya bayangkan. Dua hal yang saya suka dari lantai utama masjid ini adalah: lampu gantung dan jendelanya.

Suasana isi dalam MAJT. 

I'm gonna swing, like a chandelier...chandelier!

Jendela MAJT dari dalam

Jendela MAJT dari luar

Begitu selesai menunaikan sholat, kami berdua kembali ke pelataran MAJT untuk mengabadikan diri dan mengambil foto masjid dari berbagai sudut. Saat melakukan kegiatan ini, mendadak kami dikagetkan kemunculan bau tak sedap yang begitu menusuk hidung.






Kami pun mencari asal bau tak sedap itu. Rupanya, kolam di ujung depan halaman masjidlah yang menjadi sumber dari bau. Bagaimana tidak, airnya berwarna hijau kental saking tak pernah dibersihkan. Hal ini diperparah oleh rembesan air kolam yang terlihat muncul di beberapa tempat.

Duh, semoga pengurus masjid segera menyadari hal ini. Malu rasanya kalau masjid kebanggaan masyarakat provinsi tercoreng gara-gara hal remeh semacam bau menyengat dari kolam. :)

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini.
Salam dari kami berdua. :D


Salam Kupu-Kupu ^^d

No comments:

Post a Comment