Tuesday, November 10, 2015

Ketika Sate Kere Kini Tak Kere Lagi



Alkisah berpuluh-puluh tahun yang lalu, satai atau sate berbahan daging merupakan makanan mahal bagi sebagian masyarakat di Kota Solo. Perekonomian yang sulit kala itu membuat hanya kaum borjuis yang mampu membelinya. Tak habis akal, beberapa orang pun mencoba mengakali keadaan tersebut dengan berinovasi membuat sate dari bahan lain - hingga kemudian terlahirlah apa yang dinamakan dengan sate kere, salah satu kuliner legendaris Solo kini.

Ketika keluarga saya memiliki urusan di Kota Solo beberapa hari yang lalu, saya mengusulkan kepada mereka untuk mencoba kuliner khas sebelum pulang kembali ke Salatiga. Setelah berselancar ria di internet, akhirnya saya menemukan informasi penjual sate kere yang beroperasi dari pagi yakni Warung Sate Kere Yu Rebi.

Bagi kami yang bukan orang asli Solo, tak mudah rasanya menemukan warung sate tersebut. Jadi sesuai informasi, Warung Yu Rebi yang hendak kami kunjungi terletak di belakang Sriwedari namun entah dimana letak pastinya. Hal ini diperparah dengan informasi website yang hanya menyebutkan arah petunjuk mata angin "Utara, Barat, Timur, Selatan" - tipikal Orang Solo asli ketika ditanyai soal arah. 

Dua kali kami berkeliling di area belakang Sriwedari tapi tak membuahkan hasil. Beberapa orang dari anggota keluarga saya terlihat mulai frustasi mengingat sejak pagi kami memang belum makan. Argh. Barulah di putaran ketiga, mama saya tanpa sengaja menemukan plang warung tersebut. Rupanya, nama warung itu sudah berubah menjadi Warung Sate Jeroan Sapi Yu Rebi. Pantas!

Warung Sate Jeroan Sapi Yu Rebi 

Warung ini tampak sederhana dan tak begitu luas. Kalau tak salah hanya terdapat lima meja pengunjung di dalamnya. Keluarga saya langsung memenuhi salah satu meja disana. Sebuah papan menu besar tertempel pada dinding di dekat kami. Setelah berdiskusi singkat, kami memutuskan memesan dua porsi sate campur, satu porsi sate torpedo, dan satu porsi sate kere. Masing-masing porsi berisikan 10 tusuk sate.

Suasana dalam warung

Papan menu beserta harga

Lantas, apa sebenarnya sate kere itu? Kembali ke sejarah kemunculan makanan ini, harga daging yang mahal membuat beberapa orang berinovasi membuat sate dari bahan lain. Jeroan dan tempe gembus kemudian terpilih menjadi dua bahan yang diolah menjadi sate karena harganya yang jauh lebih murah. Gembus sendiri adalah sisa dari proses pembuatan tahu dimana pada jaman dahulu biasanya sering dipakai sebagai pakan ternak.

Nama sate kere selanjutnya melekat lebih kepada sate berbahan gembus karena harganya yang sangat murah dibandingkan jeroan. Jika diperbandingkan, sate daging adalah milik kaum borjuis, sate jeroan milik kaum menengah, sedangkan sate gembus milik kaum bawah. Itulah yang kemudian kenapa sate gembus disebut sate kere. Kere dalam Bahasa Jawa sendiri dapat diartikan sebagai miskin.

Ada sekitar 10 menit, pesanan keluarga saya akhirnya diantar oleh beberapa orang pelayan. Berbeda dengan pakem sate daging sapi di beberapa tempat yang menggunakan saus kecap, semua sate yang kami pesan disajikan dengan menggunakan saus kacang kental. 

Saya langsung mengambil setusuk sate kere yang tersaji di depan mata. Satu tusuk sate kere terdiri dari dua potong gembus yang dipotong memanjang dan agak lebar. Saat saya gigit, rasa manis langsung terasa. Kata mama saya, sebelum dibakar gembus-gembus itu dibumbui bacem terlebih dahulu. Sate kere sendiri sebenarnya tak asing bagi kedua orang tua saya karena dulu mereka sempat menjadi penduduk sementara Kota Solo manakala duduk di bangku kuliah.

The legendary "sate kere"

Bisa memilih mau makan pakai lontong atau
nasi. Saran saya? Lontong saja karena sate
kere benar-benar mengenyangkan.


Saya pun mencoba sate-sate yang lain. Sate campur berisikan semua jenis sate yang ada di papan menu. Secara mengejutkan, sate paling enak di antara semua sate disana menurut saya justru adalah sate torpedo-nya. Kalian tahu torpedo kan? Iya benar, torpedo adalah alat kelamin sapi jantan. Tekstur torpedo yang sedikit kenyal dan empuk terasa cocok sekali ditemani saus kacang pedas.

Sate campur



My favourite: sate torpedo. Sudah coba saja dulu,
jangan bayangin yang endak-endak. :p


Urutan kedua ditempati oleh sate iso atau sate usus sapi. Duh, lemak padat yang biasanya terdapat di dalam usus sapi berubah lumer ketika dibakar. Sensasi lumer berlemak ini benar-benar tak terdefinisikan saat memasuki mulut. Barulah, sate kere menempati tempat ketiga sebagai sate terenak. Kenapa berada di urutan ketiga? Sate kere mengenyangkan banget! Makan dua tusuk saja langsung bikin kenyang. 

Soal harga, satu porsi sate campur atau sate-sate jeroan lain dihargai sebesar Rp 30.000,00 per porsi. Sedang, seporsi satu kere dibanderol seharga Rp 15.000, 00 per porsi. 

Dalam perjalanan pulang, mama saya langsung nyeletuk: "sate kere kini tak kere lagi". Saya hanya tersenyum dan mengamini. Di Salatiga saja, satu potongan besar tempe gembus mentah paling banter dihargai sebesar 500 perak. Satu porsi sate seharga 15 ribu jadi terasa mahal.

Walau sudah tak kere lagi, saya tetap merekomendasikan sate kere untuk dicoba ketika tengah berkunjung ke Kota Solo. Setidaknya, sekedar pengingat bagaimana keterbatasan bukanlah halangan untuk menciptakan perubahan dan harapan.


NOTE:
1. Ada tiga cabang Warung Sate Jeroan Sapi Yu Rebi seantero Kota Solo. Namun, warung yang buka sedari pagi (sekitar jam 10) adalah warung di Jalan Kebangkitan Nasional Kios No. 1-2 Solo, letaknya di belakang Taman Sriwedari dan menuju ke arah penjaja buku-buku bekas.
2. Kebanyakan sate di Solo, bumbu kacangnya sudah dicampur dengan sambal sehingga rasanya pedas. Bagi yang tidak suka pedas atau membawa anak kecil, minta saja kepada penjual untuk memisahkan. Sedang, bagi yang merasa kurang pedas tersedia potongan cabai dan bawang merah di setiap meja.
3. Bagi yang datang satu rombongan besar, mohon cek kembali nota pembelian anda sebelum meninggalkan tempat. :)


Salam Kupu-Kupu ^^d

No comments:

Post a Comment