Thursday, May 26, 2016

Perjuangan Menuju Air Terjun Semirang



"Woh, bul. Ini serius jalannya kesana?" kata dua teman saya, Ancha dan Betty - nyaris bersamaan selepas kami bertiga membayar biaya masuk Air Terjun Semirang di loket tiket. Keterkejutan mereka sangatlah beralasan. Jalan nan menanjak langsung menyambut kami tepat di jalur permulaan trekking. Padahal, masih ada sekitar 900 meter lagi perjalanan yang harus kami tempuh supaya bisa sampai ke air terjun tersebut.

Air Terjun Semirang adalah nama sebuah air terjun yang berada di Desa Gogik, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Kami bertiga hanya perlu berkendara sekitar 45 menitan dari Kota Salatiga untuk bisa sampai kesana. Mudah sekali menemukan air terjun ini karena banyak papan informasi yang dapat kami temukan sepanjang jalan.

Perjuangan sesungguhnya baru dimulai ketika sudah sampai di pintu masuk kawasan yang dikelola oleh Perum Perhutani ini. Kami bertiga bergegas memulai penjelajahan menuju air terjun dimana tanah sepanjang jalur masih terlihat basah akibat hujan yang mengguyur kemarin malam.

Papan selamat datang. Selepas papan ini,
jalannya langsung menanjak, tuan.

Pagi itu, suasana masih sangat sepi. Kami berjalan setapak demi setapak melewati rute yang membelah hutan. Sehubungan dengan letak air terjun yang menempati salah satu bagian dari lereng Gunung Ungaran, maka kami menjumpai trek yang cukup beragam - mulai dari datar, menurun, hingga menanjak.

Salah satu trek awal, kelihatan masih basah
kan tanahnya?

Hutan yang ada di dalam kawasan masih tergolong lebat. Sesekali terdengar suara dari burung dan serangga hutan yang membelah kesunyian. Beberapa bunga liar cantik juga ikut mewarnai perjalanan kami menuju air terjun. Saya yang belakangan ini jarang sekali berwisata alam, serasa telah menemukan penyegaran.

Saking rapatnya vegetasi, cahaya matahari
saja susah masuk di beberapa tempat.

Cenggeret mati yang berhasil diabadikan oleh Ancha.

Bunga yang kata orang bentuknya mirip,
ah...sudahlah. Foto ini diambil oleh Ancha.

Hasil jepretan langka antara kupu-kupu dan belalang yang
berhasil diambil oleh Betty. Kerennya lagi, dia hanya
bermodal kamera smartphone. 

Kami bertiga saling melemparkan gurauan atau celotehan sepanjang perjalanan. Terkadang, kami menyempatkan berhenti sebentar untuk sekedar mengabadikan potret diri atau ekosistem di sekitaran. Ada beberapa spot foto menarik yang bisa kami temukan, meski ada pula spot yang terkesan misterius. Kesan misterius itu semakin terasa karena kesunyian yang terpancar kuat di sekeliling kami.

Entah kenapa saya merinding aja melihat kerimbunan pohon-
pohon ini.

Dalam perjalanan ke air terjun, saya menemukan teman baru:
daun kuning yang eye catching sekali. Daun ini saya bawa
terus sepanjang perjalanan.

Kapan lagi foto bareng pohon tumbang? :p

Semakin ke dalam, trek yang kami lewati terasa semakin menantang dan membingungkan. Kami sempat terhenti beberapa kali karena kebingungan mencari manakah jalan yang benar di antara beberapa cabang jalan. Insting kami mulai diuji. 

Sebenarnya, ada papan penunjuk jalan yang telah disediakan, tapi kebanyakan ditempatkan di posisi yang kurang strategis. Papan itu juga sedikit membuat kami ragu karena yang tertulis disana adalah kata "jalur pendakian". Err, bagi kami yang belum pernah mendaki Gunung Ungaran, tentu saja kami tak tahu apa perbedaan antara jalur pendakian ke puncak gunung dan air terjun.

Kami nekat saja berjalan, toh, tak ada orang satupun yang bisa kami tanyai. Kalau tersesat, ya, balik lagi. Tak lama, sebuah sungai kecil menghadang kami setelah sekitar setengah perjalanan. Sungai ini dangkal dan terdapat batu-batu kecil yang bisa kita gunakan sebagai pijakan untuk menyeberang. 

Sungai kecil yang harus kami lewati.

Rute sehabis melintasi sungai inilah yang terasa paling berat dan bikin merinding. Trek berupa tanjakan, baik berupa anak-anak tangga atau tanah biasa - telah menanti kami hingga nanti sampai di air terjun. Hutan yang ada di sekeliling jalur itu juga semakin lebat. Beberapa batang pohon bahkan mengular sampai di atas jalur sehingga kami harus sedikit merunduk agar tidak terbentur. 

Itu masih belum seberapa. Hal terburuk dari trek ini adalah: banyak pacet! Pacet ini mudah sekali kami temukan, ada yang malang melintang di tanah, ada pula yang bersembunyi di balik dedaunan kering atau batang pohon. Duh, saya kalau teringat jadi merinding sendiri.

Pacet everywhere! Saya berasa hendak
donor darah saja kemarin. >.<

Saya yang sudah berusaha bermanuver menghindari, eh, tetap saja dua kali nyaris menjadi korban mereka. Ketika tiba-tiba ada sensasi dingin di kaki, lah, tahunya sudah ada seekor yang menempel. Beruntung mereka belum sempat menghisap, jadi masih gampang untuk dilepaskan.

Di rute ini pula, Ancha mulai kewalahan. Tempo berjalannya semakin lambat dan nafas terdengar berat. Setelah berdiskusi singkat, kami sepakat kalau Betty akan menemani Ancha beristirahat sejenak, sementara saya akan tetap berjalan untuk mengecek apakah jalan yang kami pilih benar-benar membawa ke air terjun.

Ada perbedaan yang begitu terasa ketika saya berjalan sendirian dan bersama teman-teman. Rasa takut mendadak keluar entah dari mana, Saya harus mengaku, sepertinya saya memang belum bisa (dan berani) menjelajah alam secara solo.

Meskipun begitu, saya berusaha sebisa mungkin untuk terus melaju. Berjalan berjingkat-jingkat melewati rute menanjak sembari menghindari para pacet. Ada sekitar sepuluh menitan saya berjalan, ketika kedua mata ini menangkap pemandangan tempiasan air - khas air terjun - di kejauhan. Terima kasih Tuhan, kami tidak salah jalan.

Setelah yakin betul, saya pun berjalan balik untuk menghampiri Ancha dan Betty yang masih tertinggal jauh di belakang.

"Ayo, tinggal sebentar lagi sudah kelihatan kok air terjunnya.", kata saya kepada mereka berdua. Saat itu, Ancha masih terduduk sambil mengatur nafas di atas sebuah batu, sementara Betty sibuk mengibaskan topinya - tanda ia sedang kepanasan.

Ancha yang kelelahan dan Betty yang kepanasan

"Yok jalan lagi, keburu siang ini nanti.", tambah saya yang disambut dengan gerakan kedua kawan saya.

Kamipun meneruskan perjalanan kembali. Saya terus menerus menyemangati Ancha dan Betty sepanjang sisa perjalanan. Sesekali, Ancha tetap meminta waktu untuk beristirahat sejenak.

Tanpa terasa, kami bertiga telah sampai di area yang dipenuhi oleh sejumlah gubug warung sederhana di sisi kanan jalur. Warung-warung tersebut tampak belum beroperasi. Sementara itu, Air Terjun Semirang terlihat jelas berdiri di ujung depan jalur. Langkah-langkah kaki segera kami percepat agar lekas sampai.

WOAH!

Itu ekspresi pertama yang saya ucapkan ketika bisa melihat air terjun setinggi 45 meter tepat di depan mata. Tanpa ragu, saya segera menyingsingkan celana untuk sekedar merasakan dinginnya air terjun. Air itu jatuh dan ditampung di sebuah kolam penampungan, sebelum kemudian keluar membentuk sungai kecil.

Air Terjun Semirang dari samping

Air Terjun Semirang ini sebenarnya air terjun yang tergolong kecil, debit airnya juga tidak sederas beberapa air terjun yang pernah saya datangi sebelumnya. Tapi yang saya suka: baik kolam penampungan air maupun sungai yang mengalir di bawahnya tergolong dangkal, sehingga asyik dipakai untuk bermain air.

Kolam penampungan airnya dangkal.

Berhubung kami datang pagi-pagi, suasana di sekitar air terjun pun begitu sepi. Hanya ada kami bertiga disana, membuatnya serasa tengah menyambangi air terjun pribadi. Raut kelelahan sudah tak tampak lagi di muka kami, tergantikan oleh raut bahagia serupa anak kecil yang telah menemukan mainan barunya.

Ancha 

Betty


Kami bertiga berlatar air terjun.

Sayang, kamar bilas dan ruang ganti yang disediakan oleh pengelola kini kondisinya begitu memperihatinkan. Saya pun hanya bisa puas bermain air sebatas kaki. Begitu saja sudah membuat saya merasa sangat bahagia.

Lama kami berada di sekitaran Air Terjun Semirang. Satu per satu pengunjung lain mulai datang, dan warung-warung sederhana yang tadi kami jumpai tampak mulai menggeliat.

Sebelum pulang, kami berhenti sejenak di salah satu warung itu demi melegakan kaki dan mencari minuman hangat. Kami disambut dengan ramah oleh seorang ibu penjual di usia lima puluhannya. Tiga gelas susu cokelat panas kami pesan, sementara beberapa cemilan dan gorengan tersaji di atas meja.

Sembari si ibu penjual merapikan dagangan dan menggoreng tempe mendoan, kami menyempatkan bercerita dengannya. Setiap hari ibu penjual ini berjalan kaki naik turun menuju ke lokasi warung yang berada dekat dengan air terjun, terkadang bersama penjual lain walau lebih banyak dilakukannya sendirian.

Si ibu pemilik warung tengah beraksi memotong tempe. :D

Makanya manakala tahu harga dagangan di warung si ibu sedikit overprice, kami tak merasa keberatan sama sekali. Bayangkan perjuangannya yang harus membawa bejibun barang dagangan menembus hutan dan mendaki lereng gunung. Kami yang membawa diri sendiri saja, ngos-ngosan bukan main.

Seorang bapak pegunjung yang datang setelah kami, ikut bergabung mengobrol di warung. Bapak itu adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan mebel. Sekilas, tak ada yang istimewa dari dirinya hingga kami tersadar kalau ia datang seorang diri.

Sang bapak pengelana. Dalam perjalanan
pulang, sempat-sempatnya kami di-overlap.

Katanya, ia memang suka berjalan-jalan, khususnya merambah alam. Hobi itu kebanyakan ia lakukan seorang diri di kala dirinya mendapatkan jatah libur dari perusahaan. Kami semua tercengang, apalagi ia mengaku kalau selama ini sering naik gunung seorang diri. Beuh, ampun.

Obrolan terus mengalir di antara kami bertiga, ibu penjual dan bapak pengelana. Saking derasnya obrolan kami, entah siapa yang memulai - mendadak obrolan beralih ke topik yang cukup sensitif bagi kami. Yap, apalagi kalau bukan soal pernikahan.

Setelah tahu berapa usia kami, si ibu penjual dan sang bapak pengelana yang kebetulan sama-sama menikah di usia muda, meminta kami untuk segera menikah. Kami hanya bisa tertawa getir mendengar nasihat dan petuah dari mereka. Duh, sudah jauh-jauh menembus hutan kok ya ketemunya topik yang berusaha kami hindari. Sial.

Berhubung hari sudah semakin siang, kami akhirnya memutuskan untuk pulang. Perjalanan pulang sendiri tidak terasa berat karena rute trekking berubah menjadi banyak turunan. Perjalanan berangkat yang memakan waktu sekitar 45 menit, kini berganti menjadi kurang dari setengah jam untuk bisa kembali ke area parkir.

Fiuh, what a challenging yet relaxing trip. 


NOTE:
How much to enter: Rp 5.000,00 per orang, dan biaya parkir motor sebesar Rp 2.000,00 per motor.


Terima kasih sudah berkunjung! Salam dari Air Terjun Semirang.

Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggung jawab. ^^d

2 comments:

  1. Jadi inget terakhir ke sini 5 tahun yg lalu. Tapi Semirang jalur trekkingnya kayak gak ada apa-apanya dibanding curug lawe ya mas? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. ho'oh mbak, ndak ada apa-apanya pake banget. di trek ke Benowo juga banyak pacetnya, tapi emang Semirang tetap paling juara soal trek penuh pacet. -_-

      Delete