Terhitung, dua minggu sudah saya kini menjadi penduduk sementara Kota Yogyakarta. Ini adalah kali kedua saya menetap dalam waktu yang cukup lama di Jogja, setelah sebelumnya saya sempat ngekos selama kurang lebih satu bulan di pertengahan tahun 2009. Meskipun begitu, saya tetaplah seperti para first timer disini - sering tersesat dan buta arah.
Keengganan untuk nyasar terus-terusan, membuat saya kemudian bertekad untuk mengenal jalanan Kota Yogyakarta dengan cara yang paling membuat saya happy: jalan-jalan. Kali pertama, saya berhasil mengajak teman sedari SMP yang kini bekerja di Jogja, Dian, untuk menemani saya menjelajah setiap sudut kota. Penjelajahan ini dimulai dengan mengunjungi Tugu Pal Putih - landmark termasyhur dari Yogyakarta.
Pukul setengah enam pagi, saya sudah menghampiri Dian di meeting point yang telah kami sepakati bersama. Saya memang sengaja mengajak sepagi itu agar mendapat suasana sepi dari Tugu Pal Putih sekaligus menikmati lalu lalang masyarakat Jogja yang memulai aktivitas harian mereka.
Jarak antara meeting point kami dengan Tugu Pal Putih sendiri tergolong dekat, kurang dari 10 menit kami sudah bisa melihat tugu berwarna putih dengan puncak berwarna keemasan itu. Dian langsung menyuruh saya untuk memarkirkan motor di sisi tenggara tugu, tepat di sekitaran diorama.
Pagi itu, suasana terasa sedikit syahdu. Langit tak secerah biasanya, dan dihiasi oleh awan-awan mendung. Selain kami berdua, baru ada sepasang kekasih yang memiliki tujuan sama dengan kami yakni mengambil gambar dari tugu. Jalanan juga masih tampak sepi, sementara toko-toko di sekeliling belum terlihat gaung kehidupannya.
Saya pun memposisikan diri untuk memfoto tugu yang menjadi titik penghubung magis antara Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi ini. Dari posisi di sekitar diorama, saya merasa tak nyaman. Banyak kabel bergelantungan di atas tugu yang membuat hasil foto menjadi jelek.
Saya lantas menyusul Dian yang tengah sibuk membaca papan-papan informasi yang tertempel di sekitar diorama. Papan-papan informasi itu menjelaskan sejarah pembangunan Tugu Yogyakarta. Saya baru tahu kalau ternyata tugu yang sekarang kita lihat bukanlah bangunan asli pada awal jaman pembentukannya.
Tugu Yogyakarta pertama kali dibangun pada tahun 1755 atas prakarsa dari Sri Sultan Hamengku Buwono. Tugu pertama ini berbentuk silinder dengan atap berupa bola dengan tinggi yang cukup fantastis yaitu 25 meter. Tugu itu kemudian diberi nama Golong Gilig dimana merupakan bentuk simbolis dari semangat persatuan antara rakyat dan penguasa dalam melawan penjajah.
Namun, pada 10 Juni 1867 Tugu Golong Gilig hancur karena gempa bumi besar yang menerpa Jogja kala itu. Ada jeda waktu yang cukup lama, sebelum kemudian Pemerintah Belanda memutuskan untuk merenovasi bangunan tugu secara total pada 1889.
Tujuan perenovasian ini sebenarnya adalah untuk mempengaruhi hubungan antara rakyat dan kalangan keraton. Beruntung, taktik tersebut tidak berhasil, rakyat tetap dekat dengan keraton. Hasil perenovasian Pemerintah Belanda inilah yang menjadi tugu kini, mengubah design yang semula silinder-bola menjadi persegi-kerucut runcing.
Pemerintah Belanda menamakan tugu itu dengan sebutan De White Paal yang kemudian oleh masyarakat diubah menjadi Tugu Pal Putih. Untuk mengenang Tugu Golong Gilig, sebuah miniatur tugu dibangun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di area sekitar diorama.
Setelah berpindah-pindah posisi, salah satu posisi paling bagus untuk mengambil foto Tugu Pal Putih adalah dari arah Jalan Jenderal Sudirman. Namun, saya sarankan untuk terus berhati-hati dan mengawasi area sekitar anda sebelum mengambil foto karena keramaian arus lalu lintas di jalan ini.
Misi pertama saya berhasil. Tugu Pal Putih hanyalah titik mula saya menjelajah (dan menghafal) setiap sudut Yogyakarta. Kemarin, selain menyapa sang landmark Jogja, saya juga sudah diajak Dian berkeliling dan menemukan pasar, pompa bensin, dan tempat-tempat perbelanjaan lainnya. Ini penting, mengingat saya akan berada disini dalam waktu yang lumayan lama.
So, Halo Yogyakarta! Senang bisa bertemu dan menetap kembali disini. Semoga akan ada banyak pengalaman, pelajaran, dan petualangan baru yang bisa saya dapatkan darimu.
Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggung jawab. ^^d
Saya pun memposisikan diri untuk memfoto tugu yang menjadi titik penghubung magis antara Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi ini. Dari posisi di sekitar diorama, saya merasa tak nyaman. Banyak kabel bergelantungan di atas tugu yang membuat hasil foto menjadi jelek.
Kabel bergelantungan dimana-mana. Sayang banget. |
Saya lantas menyusul Dian yang tengah sibuk membaca papan-papan informasi yang tertempel di sekitar diorama. Papan-papan informasi itu menjelaskan sejarah pembangunan Tugu Yogyakarta. Saya baru tahu kalau ternyata tugu yang sekarang kita lihat bukanlah bangunan asli pada awal jaman pembentukannya.
Salah satu papan informasi di area diorama |
Tugu Yogyakarta pertama kali dibangun pada tahun 1755 atas prakarsa dari Sri Sultan Hamengku Buwono. Tugu pertama ini berbentuk silinder dengan atap berupa bola dengan tinggi yang cukup fantastis yaitu 25 meter. Tugu itu kemudian diberi nama Golong Gilig dimana merupakan bentuk simbolis dari semangat persatuan antara rakyat dan penguasa dalam melawan penjajah.
Namun, pada 10 Juni 1867 Tugu Golong Gilig hancur karena gempa bumi besar yang menerpa Jogja kala itu. Ada jeda waktu yang cukup lama, sebelum kemudian Pemerintah Belanda memutuskan untuk merenovasi bangunan tugu secara total pada 1889.
Tujuan perenovasian ini sebenarnya adalah untuk mempengaruhi hubungan antara rakyat dan kalangan keraton. Beruntung, taktik tersebut tidak berhasil, rakyat tetap dekat dengan keraton. Hasil perenovasian Pemerintah Belanda inilah yang menjadi tugu kini, mengubah design yang semula silinder-bola menjadi persegi-kerucut runcing.
Pemerintah Belanda menamakan tugu itu dengan sebutan De White Paal yang kemudian oleh masyarakat diubah menjadi Tugu Pal Putih. Untuk mengenang Tugu Golong Gilig, sebuah miniatur tugu dibangun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di area sekitar diorama.
Diorama sejarah Tugu Yogyakarta. Tampak Tugu Golong Giling berdiri di salah satu sudutnya. Ada banyak tempat duduk yang bisa digunakan para pengunjung untuk menikmati keindahan Yogyakarta. |
Setelah berpindah-pindah posisi, salah satu posisi paling bagus untuk mengambil foto Tugu Pal Putih adalah dari arah Jalan Jenderal Sudirman. Namun, saya sarankan untuk terus berhati-hati dan mengawasi area sekitar anda sebelum mengambil foto karena keramaian arus lalu lintas di jalan ini.
Tugu dari Jalan Jenderal Sudirman, lebih sedikit kabel yang mengganggu. |
Misi pertama saya berhasil. Tugu Pal Putih hanyalah titik mula saya menjelajah (dan menghafal) setiap sudut Yogyakarta. Kemarin, selain menyapa sang landmark Jogja, saya juga sudah diajak Dian berkeliling dan menemukan pasar, pompa bensin, dan tempat-tempat perbelanjaan lainnya. Ini penting, mengingat saya akan berada disini dalam waktu yang lumayan lama.
So, Halo Yogyakarta! Senang bisa bertemu dan menetap kembali disini. Semoga akan ada banyak pengalaman, pelajaran, dan petualangan baru yang bisa saya dapatkan darimu.
Terima kasih sudah mampir. Terima kasih kur, sudah menemani saya berkeliling. :D |
Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggung jawab. ^^d
Wah, jadi pengen juga menetap di Jogja walau cuma sementara :D
ReplyDeleteMain kesini aja mbak. Nanti muter-muter bareng. :D
Deletewaaaah skr jd gampang donk kalo mau blusukan di jogja :D
ReplyDeletehiahahahah yoiii, mas.
Deleteasal aku pas libur kuliah aja sih. sini maeen. :D