Thursday, January 26, 2017

Jepara Dan Teman Lama



Bulan September tahun lalu, Mama meminta tolong untuk mengantarkannya dinas ke Kabupaten Jepara. Saya sih selama ini tidak pernah menolak permintaan semacam itu karena selain wujud bakti kepada orang tua (halah!), saya juga berkesempatan untuk mengunjungi destinasi wisata yang ada disana. Saya pun buru-buru mengontak Dian, salah satu teman KKN jaman S1 dulu (dan saya sempat beberapa kali jalan-jalan bersamanya) yang memang menetap dan bekerja di Jepara. Tujuan awalnya hanya untuk mengajak bertemu, tapi Dian kemudian justru mengajak saya untuk berkeliling. Wih, saya tentu sukar menolak.

Tiga tahun sudah semenjak saya terakhir berjumpa dengan Dian. Pertemuan terakhir kami terjadi manakala kami mendaki Gunung Merbabu bersama-sama pada tahun 2013. Setelah itu, kami tak pernah berjumpa lagi akibat kegiatan masing-masing.

Sebenarnya, ada rasa bersalah yang menerpa diri ini ketika mengontak Dian dan mengajak untuk bertemu. Saya yang pernah sekali bermain ke rumahnya, tahu betul kalau rumah Dian dengan hotel tempat saya menginap jaraknya lumayan jauh. Mungkin butuh waktu sekitar 30 sampai 45 menitan untuk sampai ke hotel dari rumahnya.

Saya berulang kali berkata kepadanya kalau memang tidak memungkinkan untuk bertemu, lebih baik tidak usah. Apalagi, kedatangan saya bertepatan dengan jadwal libur kerjanya yang tentu pasti ingin digunakan siapapun - termasuk Dian- untuk memanjakan dirinya sendiri. Tapi respon Dian sungguh di luar dugaan, ia menyuruh saya untuk tidak memikirkan dirinya dan meminta saya untuk menunggu di hotel.

Siang itu, Dian benar-benar menemui saya di hotel. Saya sampai tak sanggup berkata apa-apa ketika mendadak ada pesan masuk di Blackberry Messenger yang berbunyi: "keluar, sudah di depan hotel ini". Saya terharu. Beneran terharu.

Rasa haru itu langsung saya sembunyikan tepat di depan muka Dian. Saya hanya bisa tersenyum melihat muka tengil yang dimilikinya. Tanpa menunggu lama, ia langsung membantu saya untuk beres-beres dan check out dari hotel. Barulah kemudian Dian mengajak saya untuk berkeliling. Kemana?

"Manuto wae (ikut dia saja)" - katanya.

Siap bos!


Mencicipi Balungan Di Rumah Makan Rahayu

Begitu tahu saya belum makan siang, Dian bersikukuh mengajak mengisi perut terlebih dahulu. Awalnya, ia sendiri kebingungan hendak makan dimana sebab seperti kota-kota lain di Indonesia kebanyakan penjual makanan khas memang biasanya beroperasi pada malam hari. Namun, tak berapa lama ia lantas menyuruh saya untuk menuju ke suatu tempat berdasarkan petunjuknya.

Kami berhenti pada sebuah rumah makan sederhana yang lantainya masih berupa plesteran semen. Sekilas, rumah makan ini mengingatkan saya kepada Warung Tegal atau Warung Nasi Rames yang sering kita jumpai dimana-mana. Berderet-deret makanan siap saji telah terpampang di meja etalase. Kebanyakan menunya berupa hasil olahan laut: ada cumi, udang, dan ikan. Sumpah, semuanya tampak menggugah selera!

Yak, kolesterol-kolesterol. *bodo amat kalau lagi jalan-jalan
mah* 😝


"Balungan, mbak. Loro.(Dua porsi balungan, mbak)" - kata Dian kepada pelayan rumah makan.

Saya termangu. Balungan? Tulang? Saya pun bertanya jenis makanan apa itu kepada Dian, tapi ia hanya memberikan jawaban yang sok penuh misteri.

"Lihat sendiri wae mengko, sing pasti spesiale kene (lihat sendiri saja nanti, yang pasti menu spesial disini)" - jawabnya sembari berjalan menuju salah satu meja di dekat jendela.

Tidak sampai lima menit, pelayan yang tadi kemudian mengantarkan pesanan Dian ke meja kami: dua mangkok balungan dan dua piring nasi putih. Saya langsung terbelalak, selain karena porsinya yang lumayan besar juga karena makanan ini menampilkan salah satu favorit saya: tulang muda!

Surgaa!

Saya memang hobi dengan makanan yang berbau tulang. Hobi ini sepertinya diwariskan oleh mama yang sudah terkenal di keluarga dengan kegemarannya makan tulang-tulangan, mulai dari tengkleng, gulai kepala ikan, bakso balungan dan lain sebagainya. Saking hobinya, beberapa teman bahkan sampai hafal kalau tengah memesan ikan bakar atau goreng maka bagian kepala adalah jatah saya. 😆

Kembali ke balungan, makanan ini sekilas berupa tulang sapi muda dengan sejumput daging yang masih menempel, lemak yang direbus dengan ditambahkan irisan tomat, daun bawang dan potongan cabai besar. Saat mencicipi kuahnya, saya langsung teringat garang asem tapi dengan kuah kaldu bening. Segar banget!

Sensasi memakan balungan tentu terletak dari suara kletukan yang terdengar saat kita menggigiti tulang-tulang muda itu. Renyah dan gurih. Saking serunya, tanpa sadar pasti kita berubah menggunakan tangan ketika makan dan sedikit mengabaikan sendok-garpu di piring. 😝

Pantai Kartini dan Anak-Anak Laut

Sehabis kenyang, Dian lantas mengajak saya untuk menuju ke Pantai Kartini - pantai paling terkenal seantero Jepara. Bagaimana tidak? Di antara pantai-pantai lain, Pantai Kartini memang pantai yang paling mudah dijangkau dan hanya berjarak kurang lebih 2,5 kilometer dari pusat kota. Selain itu, pantai ini juga merupakan pantai pertama yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dan dijadikan tujuan wisata.

Suasana masih terasa sepi saat kami tiba di pelataran parkir. Padahal, waktu sudah terbilang siang dan hari itu bertepatan dengan akhir pekan. Kami pun melangkah menyisiri kawasan pantai, dimulai dari ikon paling tersohornya: bangunan berwujud kura-kura raksasa yang digunakan sebagai mini aquarium.

Dalam perjalanan menuju ke "kura-kura" itu kami bisa melihat bagaimana kawasan pantai ini tidak begitu terurus. Sampah bertebaran dimana-mana, baik berupa sampah plastik maupun dedaunan kering. Sebuah kolam besar yang tampak seperti kolam renang juga dibiarkan mengering dengan sampah terlihat di dalamnya. Aduh.

Dian mengaku kalau selama ini justru jarang ke Pantai Kartini.
Jadi inilah, foto Dian berlatar tulisan tempat wisata
di daerahnya sendiri. 👀

Kami sepertinya tengah tak beruntung, hari itu sang kura-kura sedang ditutup karena memasuki tahapan renovasi. Konstruksi bambu yang digunakan oleh para pekerja renovasi terlihat berdiri menjulang di sekelilingnya - membuat sang kura-kura sepintas seperti sedang sakit.

Kura-kura yang sedang "sakit".

Kami pun meneruskan berjalan menuju ke area dermaga, melewati sejumlah pedagang yang sesekali memanggil dan menawarkan dagangan mereka. Dermaga yang kami tuju bukanlah dermaga yang mengantarkan orang ke Karimun Jawa atau Pulau Panjang, tapi dermaga tempat pengunjung bisa menikmati suasana pantai serupa gardu pandang.

Dermaga

Baru beberapa langkah berjalan memasuki area dermaga, langkah kami terhenti oleh dua anak kecil yang tengah asyik memancing menggunakan alat sederhana: hanya serupa senar, kail dan pemberat. Beberapa ikan kecil hasil tangkapan mereka terlihat di suatu ember plastik kecil.

"Beli ikane, mas!" - celoteh salah seorang di antara mereka ketika melihat saya dan Dian berjalan mendekat.

"Ojo ding mas, wes mati kabeh kok kuwi (jangan mau mas, sudah mati semua itu)" - timpal anak yang lain.

Dua pemancing cilik.

Dian hanya tersenyum saat melihat mereka berdua. Ia langsung duduk mendekati mereka, sementara saya masih sibuk melihat-lihat sekitar sebelum kemudian ikut bergabung. Dian bertanya macam-macam kepada mereka berdua menggunakan Bahasa Jawa aksen Jepara-nya, saya diam mendengarkan.

Kedua anak itu adalah anak-anak yang tinggal di sekitar pantai. Memancing adalah salah satu cara mereka untuk meluangkan waktu. Tak tanggung-tanggung, mereka sampai harus berpatungan untuk membeli umpan agar bisa memancing. Raut kegembiraan terpancar jelas di wajah mereka, apalagi ketika mereka berhasil mendapatkan ikan.

Dian mengajak saya untuk beranjak pergi meninggalkan dua bocah pemancing itu. Berjalan kembali menyusuri dermaga. Di satu titik, teman saya ini tiba-tiba menunjuk ke arah depan. Sebuah pulau tampak samar-samar di ujung sana. Kata Dian, pulau tersebut adalah Pulau Panjang - nama suatu pulau kecil yang terletak sekitar dua kilometer dari Pantai Kartini.

Saya lupa, apakah pulau kecil di depan itu Pulau Panjang atau bukan
tapi ada pulau kecil yang terlihat dari dermaga.

Dermaga kapal menuju Pulau Panjang

Saat tengah berjalan sembari menikmati keindahan pantai, langkah kami kembali terhenti. Kali ini dihentikan oleh tiga anak-anak yang tengah asyik berenang di bawah dermaga. Mereka terkadang saling menaiki pundak teman, lantas melompat dan meluncur di air. Salah seorang anak yang melihat kami sedang memperhatikan mereka, mendadak berteriak: "Mas, lempar koin mas!".

Saya dan Dian saling berpandangan. Tahun 2016 dan masih ada anak-anak yang melakukan free dive di lautan demi segelintir uang receh? Saya kira fenomena semacam ini sudah tidak ada lagi. Kali terakhir saya melihatnya adalah ketika hendak menyeberang ke Pulau Bali dari Pelabuhan Ketapang sekitar delapan tahun silam.

Tiga anak kecil pemburu koin.

Dian segera menanggapi teriakan anak tadi dan menyuruh mereka bersiap-siap. Tak lama, sebuah uang koin lima ratusan pun ia lempar jauh ke udara sebelum masuk ke dalam laut. Ketiga anak itu langsung berebut mencari bak ikan predator yang menemukan mangsa di lautan.

"Lagi mas!" - teriak ketiga anak itu nyaris bersamaan ketika salah seorang dari mereka berhasil menemukan uang koin yang dilempar Dian.

Koin demi koin akhirnya saya dan Dian lemparkan hingga tanpa terasa seluruh persedian uang receh kami di dompet dan tas habis. Dian yang memang usil sempat melakukan aksi menipu anak-anak itu dengan mencoba melemparkan kertas karcis masuk.

"Ki cekel yo. Rong ewunan ki. (Ini tangkap, uang dua ribuan kertas kali ini)" - kata Dian ke anak-anak itu.

"Heh, ojo yan. Ngawur ae, sakne bocah-bocah iku. (Heh, jangan. Kasihan anak-anak itu)" - saya langsung mengingatkan Dian, tapi tak digubrisnya.

Ketiga anak itupun sudah bersiap-siap. Tak kehabisan akal, saat Dian melempar kertas karcis, saya langsung memberikan kode kepada mereka untuk tidak dikejar karena itu hanya tipuan. Ketiga anak itu akhirnya hanya diam saat kertas yang dilempar Dian masuk ke dalam air.

"Wuu, ngapusi! (Wuu, pembohong!)" - seloroh mereka serempak.

Saya tertawa. Puas. 😀😀


***

Walau cuma bertemu sebentar, tapi saya sungguh bersyukur bisa berjumpa dan punya teman seperti Dian. Darinya, saya benar-benar belajar apa arti persahabatan. Saya mungkin akan melakukan hal serupa yang dilakukan oleh Dian ketika seorang teman tengah berkunjung ke kota yang saya huni. Apalagi menginjak usia seperempat abad seperti sekarang ini, mencari teman atau sahabat bukanlah lagi hal yang mudah. 

Kadang, pertemanan memang tak mengenal jarak dan waktu. Dan ketika Tuhan memberikan kesempatan untuk kalian berjumpa kembali, tolong manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Bagaimanapun, kau tak pernah tahu kapan kesempatan itu akan datang kembali, bukan?

Terima kasih sudah berkunjung. Terima kasih Dian dan
adik-adik pemancing. 💕

Maaf terlambat posting dan salam kupu-kupu. ^^d

2 comments: