Wednesday, April 19, 2017

Beach Hopping Di Gunung Kidul

Pantai Nguyahan


Honestly speaking, kuliah S2 tidaklah semudah yang saya kira. Ada masa-masa saya merasakan kecemasan, ada pula masa-masa saya mengalami kesulitan untuk fokus dalam mengerjakan tugas atau belajar. Di saat itulah, jalan-jalan adalah keputusan yang tepat untuk diambil, seperti petualangan beach-hopping sehari saya bersama beberapa teman kuliah di Gunung Kidul demi menjernihkan pikiran.


Saya ingat betul kalau rencana libur sejenak ini dilakukan serba mendadak. Selasa malam, saya sedang terlibat percakapan melalui Whatsapp dengan salah seorang teman kuliah, Mbak Ayu. Percakapan tersebut kemudian berubah menjadi rencana untuk menyambangi pantai-pantai di Kabupaten Gunung Kidul keesokan harinya. Serba mendadak bukan? Dengan mendadak pula kami lantas menghubungi beberapa teman yang paling mungkin untuk diangkut: Mbak Sasta, Mas Anam dan penumpang terakhir favorit kami: Kak Duma.

Kenapa favorit? Kak Duma adalah the-very-last-minute-person yang kami hubungi. Kami meneleponnya tepat 15 menit sebelum kami berangkat sehingga terdengar bagaikan sebuah prank call. Saya masih ingat bagaimana ekspresi kebingungan yang ia tunjukkan begitu melihat mobil yang kami tumpangi telah terparkir di pelataran kosannya.

"Ini serius? Aku belum mandi loh. Mau kemana emangnya?" - tanya Kak Duma kepada kami. Pertanyaan itu tak kami jawab. Sebaliknya, kami justru menghitung mundur waktu untuk membuat Kak Duma segera bergegas. Kami usil, ya? 😁

Setelah Kak Duma siap, saya yang kebagian menjadi sopir di perjalanan berangkat pun langsung memacu mobil Mbak Ayu menuju Gunung Kidul. Omong-omong, menyetir mobil Mbak Ayu sudah terasa bagai suatu ujian tersendiri sebab di dalamnya dipenuhi oleh aksesoris super-unyu.

Perjalanan menuju pantai pertama yang kami datangi pada hari itu membutuhkan waktu kurang lebih selama 2,5 jam. Medan yang kami lewati agak mendebarkan jantung: ada tanjakan curam, jalan sempit berkelok-kelok, dan jurang di beberapa ruas. Suasana di mobil sempat hening ketika melewati jalanan seram itu, tapi begitu mendekati area pantai kami semua langsung sumringah.

Pantai Nguyahan menjadi tujuan pertama kami. Tak tampak ada kendaraan lain yang parkir di area parkir, menandakan kami menjadi pengunjung pertama pantai tersebut pagi itu. Ah, semua serba pertama. Saya, Mbak Sasta, Mbak Ayu dan Kak Duma bergegas menuju bibir pantainya yang tak begitu luas, sementara Mas Anam entah menghilang kemana.

Kami memang beruntung, suasana pantai yang masih sepi membuat Pantai Nguyahan serasa menjadi milik kami. Mau bermain pasir? Kejar-kejaran dengan ombak? Berfoto ria di atas bebatuan? Semuanya bisa! Bebas! Segala kepenatan kuliah kami lepaskan disana.

Saya, Mbak Ayu, Mbak Sasta dan Kak Duma sebelum
kejar-kejaran dengan ombak. 

Beranjak dari Pantai Nguyahan, kami menuju pantai lain di sebelahnya yakni Pantai Ngobaran. Di antara pantai-pantai lain, mungkin pantai inilah yang paling berbeda. Beberapa orang menyebut Ngobaran sebagai "The Bali of Java" atau Bali-nya Jawa sebab ia memiliki Pura dan Patung khas Hindu.

Patung di Pantai Ngobaran. Ada satu
patung yang bernama sama dengan saya loh.

Konon, Pantai Ngobaran adalah pantai yang digunakan untuk membakar diri Prabu Brawijaya V - keturunan terakhir Kerajaan Majapahit. Keputusan untuk membakar diri ini terpaksa diambil setelah ia mencoba kabur dari Raden Patah - anaknya yang telah mengkonversi menjadi muslim, dan menginginkan sang ayah untuk masuk ke dalam Islam juga.

Kini, Pura yang terletak di atas tebing dan langsung menghadap ke Samudera Hindia ini masih digunakan sebagai tempat meditasi oleh para penganut aliran kepercayaan Kejawen. Sayangnya, selama di Pantai Ngobaran privasi kami terganggu dengan kehadiran para remaja yang bekerja sebagai tukang foto. Mereka mengikuti kemanapun kami melangkah sembari membidikkan kamera mereka ke arah kami. Duh, risih rasanya. Kamipun beranjak pamit dari pantai.

Sesaji

Tebing tinggi menjulang di Ngobaran

Berhubung belum makan, kami memutuskan untuk menuju ke Pantai Baron - sebuah pantai yang dikenal dengan area pelelangan ikan, pasar ikan, pelabuhan kapal nelayan, dan mercusuarnya di Gunung Kidul. Mas Anam yang sudah sering ke pantai ini, langsung berubah bagai seorang pemandu dadakan. Ia mengajak kami melihat-lihat dagangan yang dijajakan oleh para ibu penjual di area pantai tersebut. Kami mendapat rekomendasi untuk membeli undur-undur laut (Hippoidea) yang digoreng kering dengan tepung. Surprisingly, rasanya enak dan mirip kepiting!

Undur-undur laut yang nagih.

Sebelum menuju area pasar ikan, kami terlebih dahulu menuju ke area pantainya. Perbedaan yang mencolok langsung terasa: warna pasir pantai yang cokelat gelap, riuh puluhan kapal yang bersandar, terdapat muara pantai, serta mercusuar putih mengintip dari atas tebing. Saya sempat mengajak kakak-kakak seperjalanan untuk naik ke mercusuar, tapi ditolak mentah-mentah karena mereka sudah letih dan lapar.

Pantai Baron dengan kapal dan (ujung) mercusuar.


Seorang nelayan tengah mengurai jala. Tepat di belakangnya
adalah area muara pantai.

Tanpa menunggu lama, kami menuju ke salah satu rumah makan yang ada disana untuk memesan nasi, sayur dan minuman. Kami sedikit salah prosedur. Seharusnya, kami membeli ikan dahulu di pasar, baru kemudian memilih rumah makan. Katanya sih bisa lebih murah kalau sesuai dengan prosedur karena para pedagang ikan di pasar kebanyakan memiliki afiliasi rumah makan sendiri.

Kami sempat kebingungan hendak membeli apa ketika di pasar. Apalagi tawaran dari para ibu penjual - yang mayoritas memakai kalung emas berbandul besar - semuanya tampak menggiurkan. Kami akhirnya sepakat membeli ikan tongkol, cumi-cumi dan kerang hijau dengan total biaya sekitar Rp 250.000,00. Asyiknya, biaya itu sudah termasuk ongkos olah bahan. Silahkan dipilih, mau dibakar, goreng tepung, asam manis, atau saos tiram - semuanya bisa.

Ibu pedagang ikan dan kalung emasnya yang silau. 😆

Let's dig in!

Minumnya soda gembira biar selalu gembira ya, guys. 😁

Ada sebuah pantai lagi yang kami kunjungi sehabis mengisi perut, pantai itu bernama Pantai Tepus. Sejujurnya, kami asal belok aja ketika hendak ke pantai ini akibat kebingungan hendak kemana lagi. Di Pantai Tepus, kami kembali menjumpai pantai berpasir putih halus yang terasa membakar kaki ketika matahari persis berada di atas kepala. Untungnya, terdapat banyak gubuk-gubuk yang bisa dipakai untuk berteduh di sepanjang pantai.

Pantai Tepus
Mas Anam dan pose andalannya. 


Suka sama foto bareng Kak Duma ini. 😄

Pantai Tepus sekaligus menjadi pantai penutup dalam perjalanan kami hari itu. Perjalanan beach hopping yang sukses membuat kami melupakan tekanan tugas, melepaskan segala kepenatan kuliah, dan membuat kulit menghitam. Saya masih ingat sehabis perjalanan ini, saya mudik ke Salatiga. Dan tahukah kalian apa komentar anggota keluarga dan teman saya di Salatiga: "loh, kok tambah hitam?". 😁😁😁

Terima kasih sudah berkunjung. 


Maaf terlambat memposting dan Salam Kupu-Kupu. ^^d



2 comments:

  1. Hahaha mumpung kuliah di jogja, absen satu2 Sat, pantai2 yang ada di GK yg jumlahnya puluhan itu :D
    Aku malah baru ke beberapa pantainya GK, msh bs di hitung dg jari hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beuh, kayake gak bakal kelar dah jo. Orang tiap beberapa bulan pasti muncul nama pantai baru. -_-

      Delete