Piknik Tipis-Tipis. Beberapa waktu belakangan ini, saya kerap menemukan frase tak baku tersebut di media sosial yang saya pakai. Umumnya, frase tersebut dipakai oleh orang yang melakukan kunjungan wisata singkat di sela-sela kesibukan mereka. Tak mau ketinggalan tren, saya pun memutuskan untuk memakai frase kekinian ini sebagai judul postingan tentang perjalanan wisata singkat di seputaran Kalasan dan Prambanan saat masa kuliah semester dua kemarin.
Sebagai pengantar, semester dua kemarin cukup menyiksa buat saya. Jadwal kuliah saya benar-benar padat: dari Hari Senin sampai Sabtu (Iya, Sabtu!) - dengan periode waktu yang beragam. Terkadang memang ada hari libur, terutama ketika dosen mendadak tidak bisa mengajar. Itupun jarang-jarang. Sedih? Pasti.
17 April 2017. Sepulang kuliah terakhir hari itu yang selesai sampai jam lima sore, saya merebahkan diri di atas kasur rumah indekos. Rasanya benar-benar lelah dan suntuk. Kalau sudah merasa seperti ini, hanya satu yang saya butuhkan yakni jalan-jalan. Teringat kuliah esok hari baru dimulai pada jam setengah satu siang, saya lantas segera menghubungi Mbak Sasta untuk mengajaknya kabur sebentar besok. Gayung bersambut. Kuliah Mbak Sasta esok (kami berdua beda konsentrasi) juga baru akan dimulai selepas Dzuhur. Yihaa! Duo Pandega beraksi kembali!
***
Pagi harinya saya telah menjemput Mbak Sasta dari kosan-nya. Saya ingat, saat itu Mbak Sasta sama sekali belum mandi. Saya memang agak berbohong pada dirinya. Semalam saya hanya bilang akan mengajak dia untuk sarapan "Saoto Bathok Mbah Katro". Namun setelah mengecek ke peta di gawai, ternyata ada banyak lokasi wisata tersebar di sekitaran sana yang rasanya sayang untuk dilewatkan.
Jalanan Jogja masih lenggang saat kami memulai perjalanan menuju daerah Kalasan, tempat tujuan pertama dan utama kami berada. Saya bergerak mengikuti arahan dari navigasi peta gawai yang dipakai oleh Mbak Sasta. Setelah berbelok ke kiri pada pertigaan setelah Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI, kami memasuki jalanan kecil dengan pemandangan sawah di kanan kiri.
Cukup mudah sebenarnya untuk menemukan lokasi warung saoto tersebut, mengingat berada di arah yang sama dengan Candi Sambisari. Nanti, ketika melihat kerumunan motor di sebuah warung yang konstruksinya mayoritas terbuat dari bambu dan terletak menjorok ke sawah maka kalian sudah tiba di Saoto Bathok Mbah Katro.
Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi tapi pengunjung yang mendatangi warung soto ini sudah bejibun. Kami berdua pun mencatatkan pesanan kami pada seorang lelaki muda yang berjaga di muka warung. Setelah pesanan kami berhasil dicatat, ia memberikan kami nomor meja yang nantinya akan ditukar kembali dengan kertas pesanan.
Kami pun bebas memilih mau duduk di sebelah mana. Beruntung masih ada sebuah bangku panjang yang kosong tepat di tengah warung beralaskan tanah tersebut. Sayang kami tiba selepas panen, sawah di sekeliling warung pun hanya menyisakan pangkasan-pangkasan berwarna kecokelatan.
Tidak menunggu lama, pesanan kami diantar oleh pelayan yang berbeda dengan lelaki muda di muka warung tadi: dua porsi saoto bathok, empat tempe goreng, dua sate usus, satu teh tawar hangat dan satu jeruk hangat. Saoto bathok sendiri sebenarnya adalah soto sapi yang disajikan dalam mangkok bathok atau tempurung kelapa. Jangan berpikir warung ini saltik dengan menyisipkan huruf "A" dalam kata "soto" karena sesungguhnya "saoto" adalah kata yang digunakan untuk menyebutkan nama makanan berkuah tersebut di Solo - kota yang kulinernya coba dibangkitkan Mbah Katro lewat saoto bathoknya.
Saoto Bathok yang aduhai |
Secara personal, saya suka dengan saoto bathok ini. Kuahnya yang bening menimbulkan kesan menyegarkan. Porsinya pas - tidak banyak, tidak pula sedikit. Namun, favorit saya di tempat itu justru jatuh pada tempe gorengnya: gurih dan renyah abis!
Dan yang terpenting, harganya aman sekali di kantong. Satu mangkok saoto bathok hanya dibanderol seharga Rp 5.000,00 (Ini soto daging sapi, pembaca sekalian!), sepotong tempe goreng hanya seharga Rp 500,00 dan setusuk sate usus dihargai sebesar Rp 1.500,00. Murah kan?
Sehabis kenyang, kami pun mampir ke Candi Sambisari sesuai arahan dari salah seorang pelayan wanita di Saoto Bathok Mbah Katro. Jarak antara kedua tempat ini tidaklah jauh, hanya sekitar 300-an meter. Kawasan Candi Sambisari dikelilingi oleh pagar terali besi berwarna kehijauan.
Saat kami tiba disana, suasana masih tampak begitu sepi. Beberapa petugas sedang asyik membersihkan sampah dan memotongi dedaunan, sementara loket tiket masuk belum berpenjaga. Kami pun melenggang masuk ke lingkungan candi yang selama ratusan tahun terpendam dalam abu vulkanik dari Gunung Merapi ini.
Candi Sambisari dikelilingi oleh banyak warna hijau. |
Candi Sambisari ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang petani bernama Karyowinangun pada tahun 1966. Kala itu, ia tengah menggarap ladangnya dengan cangkul ketika mata cangkulnya terantuk pada sebuah batu besar yang mengandung pahatan. Penemuan itupun dilaporkan kepada Balai Arkeologi Yogyakarta dimana proses penggalian dan pemugarannya memakan waktu selama 21 tahun.
Keunikan Candi Sambisari terletak pada letaknya yang berada di bawah permukaan tanah, sekitar 6,5 meter dari permukaan tanah di sekelilingnya. Sekilas, membuatnya tampak terpendam. Ini adalah kali kedua saya melihat candi semacam ini setelah dulu sempat mengunjungi Candi Pendem di Kabupaten Magelang.
Turunan anak tangga menuju candi. |
Kompleks Candi Sambisari terbagi menjadi satu candi utama dan tiga candi pendamping (perwara). Keseluruhan candi itu tak terlalu tinggi, candi utamanya saja paling hanya setinggi 6-7 meter. Dari beberapa patung yang menempel pada dinding candi utama, kami bisa tahu kalau candi ini dibangun untuk memuja Dewa Syiwa. Ada patung Dewi Durga (Istri Dewa Syiwa) di sisi utara, dan Ganesha (anak dari Durga dan Syiwa) di sisi timur. Satu patung lagi saya kurang tahu siapa.
Candi utama |
Ganesha! |
Sementara, pada atas setiap candi perwara terdapat sebuah lempengan batu berbentuk lingkaran. Saya dan Mbak Sasta saling menebak kalau lempengan batu itu dulunya pasti tempat untuk menaruh sesajian atau semacamnya. Dari atas candi perwara, kami bisa melihat ke sekeliling dengan begitu leluasa dan entah kenapa suasana yang menyelimuti Candi Sambisari ini terkesan begitu menenangkan.
Tangan di piringan batu. Coba tebak ini tangan siapa? |
Mbak Sasta yang manut-manut saja saya suruh foto model apapun. π |
Ada satu obyek lagi yang kami kunjungi dalam piknik tipis-tipis hari itu. Kami pun berpindah: dari Kalasan menuju ke Prambanan. Oh tidak, kami tidak mengunjungi Candi Prambanan atau candi-candi lainnya yang berserak di daerah tersebut. Kami justru menandangi Tebing Breksi - salah satu obyek wisata yang bisa dikatakan baru di Jogja dan dalam sekejap mampu menjadi primadona media sosial.
Kembali, kami mudah sekali menemukan lokasi dari Tebing Breksi. Kami hanya perlu berjalan mengikuti arah ke Candi Ijo, dan tebing ini terletak sebelum candi tersebut. Papan penunjuk arah juga bersebaran dimana-mana - satu hal yang saya apresiasi dari pemerintah daerah di Provinsi D.I.Yogyakarta mengenai kesadaran wisata mereka.
Beberapa pemuda menghentikan kami tepat di depan Tebing Breksi. Kata salah satu dari mereka untuk bisa masuk dipungut bayaran seikhlasnya dan hanya menambahkan biaya parkir sebesar Rp 2.000,00 per motor. Mbak Sasta pun menyorongkan uang sebesar Rp 12.000,00 kepada pemuda itu.
Entah karena kami tiba berdekatan dengan hari liburan panjang atau bagaimana, tapi yang jelas pagi itu Tebing Breksi tampak padat oleh pengunjung. Ada serombongan peserta touring dengan motor besar mereka, ada pula beberapa rombongan yang menggunakan bus-bus pariwisata berkunjung kesana bersamaan dengan kami.
Tebing Breksi pagi itu. Panas! |
Tebing Breksi baru diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada 30 Mei 2015 yang lalu. Dulunya, lokasi ini merupakan lokasi penggalian batu kapur terbesar di Kabupaten Sleman sebelum diputuskan untuk mengubahnya menjadi cagar budaya. Kabarnya, batu kapur Tebing Breksi berasal dari endapan abu vulkanik dari Gunung Api Purba Nglanggeran yang berada di Kabupaten Gunung Kidul sana.
Masih ada penduduk yang menggali batuan kapur. |
Setelah berubah menjadi cagar budaya bernama resmi Taman Tebing Breksi, pemerintah meminta bantuan para seniman lokal untuk memahat dinding tebing di beberapa tempat. Hasilnya, beberapa pahatan seperti wayang, dan naga bisa kita lihat disana. Pahatan-pahatan itupun menjadi lokasi favorit para pengunjung untuk berfoto.
Salah satu pahatan di dinding Tebing Breksi. |
Saya bersama sang naga. |
Panas dan gersangnya luar biasa. Itulah kesan yang saya rasakan ketika mengunjungi Tebing Breksi kemarin. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Ketiadaan tempat maupun pepohonan peneduh mungkin menjadi alasan kenapa cuaca Tebing Breksi terasa begitu panas. Saya akhirnya mengerti kenapa banyak pengunjung memilih datang kemari saat sore atau malam hari.
Katanya, kita bisa melihat pemandangan Candi Prambanan, Candi Ijo sampai Candi Sojiwan dari puncak tebing. Tapi, kami kemarin tak melihat apapun dari sana selain pemandangan pepohonan hijau sejauh mata memandang. Entahlah, mungkin mata kami yang kurang awas. Tlatar Seneng - sebuah panggung lingkaran terbuka yang satu lokasi dengan Tebing Breksi juga bisa kami lihat dari puncak tebing.
Tlatar Seneng. Bayangin ada Via Vallen konser disitu pasti makin pada seneng ya? π |
***
Sekitar jam setengah sebelas, kami berdua memutuskan untuk beranjak dari Tebing Breksi dan mengakhiri wisata hari itu. Perjalanan pulang sekitar setengah jam, dan sisa satu jam rasanya cukup untuk membersihkan diri sebelum mulai kuliah. Dalam perjalanan pulang, Mbak Sasta sempat mengajukan protes: "Hih Sat lain kali kalau sekalian jalan-jalan gitu mbok bilang, biar aku bisa mandi dulu". Saya hanya tertawa mendengar protesnya. Well, selamat datang di dunia piknik tipis-tipis mbak! Eh, apa memang saya aja yang dasarnya jorok? π
Terima kasih sudah berkunjung! Tertanda, Duo Pandega. |
Maaf terlambat posting dan Salam Kupu-Kupu. ^^d
Yaaaak belom mandi tp udh keluyuran kemana-mana π.
ReplyDeleteItu beneran soto daging? Murah amat cuma 5ribu perak Sat.
Bahahah, kan aku menghemat air di tengah dunia yang mulai krisis air, Jo. Toh, sebelum kuliah juga mandi lagi, kan? :p
DeleteIyaa beneraan pakai daging sapi. Muraah kan? Di Salatiga atau Semarang kalau Soto Daging paling 10-15k an kan ya? Ini cuma 5 ribu oii, mana di Jogja pulaa.
Btw, cara nambahin emot di komen gimana sih? *katrok*
Pake emoji hape sih ini π
DeleteTos dulu sini, apalagi air PAM sering matiπ