Monday, July 4, 2011

Feel The Real Spirit of Java in Solo

Solo The Spirit of Java.
Jargon yang diusung oleh Pemerintah Kota Solo dalam mempromosikan kotanya memang tepat.
Buktinya, selama perjalanan yang saya lakukan bersama sahabat saya Olin, kami benar-benar merasakan semangat dan suasana Jawa yang kental di kota tersebut.
Walaupun sempat terlunta-lunta karena itenerary yang kurang matang (baca postingan sebelumnya) toh menurut saya pribadi Kota Solo merupakan kota yang menarik untuk dijelajahi.
Selama jalan-jalan kemarin kami mengunjungi lima destinasi wisata yakni Kompleks Keraton Surakarta, Pasar Gede, Museum Batik Danarhadi, Museum Radyapustaka dan Taman Sriwedari.




Sitinggil

Tujuan pertama kami tentunya Kompleks Keraton Surakarta mengingat waktu operasinya yang terbatas.
Setelah jalan kaki yang cukup jauh dari depan kantor Pemkot Solo (tahukan alasannya? >.<) melewati alun-alun yang panasss nass nass sampailah kami di loket masuk Kompleks Keraton Surakarta.
Eh baru tahu kalau ternyata Kompleks Keraton Surakarta dibagi menjadi dua yakni kompleks pertama yang terdiri dari Pagelaran dan Sitinggil dan kompleks kedua yang terdiri dari Keraton itu sendiri dan Museum Keraton.
Tiketnya pun berbeda-beda. Untuk kompleks pertama yang merupakan tempat pertunjukan dan pusat kegiatan keraton kita diharuskan untuk membayar tiket masuk seharga Rp 2.500,00. Kompleks pertama memang tidak begitu luas, disana juga terdapat tempat pemutaran film tentang Keraton Surakarta yang sayangnya harus menunggu pengunjung cukup banyak dulu baru bisa diputarkan. Kami yang cuma berdua di tempat itu akhirnya hanya bisa pasrah karena tidak bisa melihat film dokumenter tersebut. Kamipun melanjutkan ke kompleks kedua yang merupakan inti dari Kompleks Keraton Surakarta. Tiket masuk ditempat ini dibanderol dengan harga Rp 10.000,00. Di Museum Keraton kita bisa melihat berbagai macam hal mulai dari silsilah raja dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat hingga berbagai macam hal yang berkaitan dengan keraton seperti senjata, pakaian, kereta, alat masak, adat, alat musik, dsb. Sayapun baru tahu kalau sebenarnya penulisan keraton itu bukan dengan "e" tapi Karaton dengan huruf "a" namun karena masyarakat luar lebih sering menyebut dengan "e" maka yang lebih dikenalpun istilah Keraton. Heheh. Kamipun memasuki area Keraton yang sesungguhnya. Buset dah luasnyaa. Di dalam area ini kita diharuskan mencopot alas kaki selain sepatu, saya yang waktu itu memakai sepatu sandalpun akhirnya "nyeker". Ternyata di dalamnya bukan tanah biasa melainkan pasir pantai. Panas panas dah. >.<

Suasana Dalam Keraton


Next destination....
Setelah puas melihat-lihat Kompleks Keraton Surakarta kamipun melanjutkan perjalanan ke Pasar Gede. Jujur saya tidak tahu apa-apa akan tempat ini. Namun kata Olin, Pasar Gede merupakan salah satu pusat kuliner di Kota Solo dan tujuan utama kami adalah merasakan Timlo Sastro yang benar-benar real timlo ala Solo. Perjalanan kesana kami tempuh dengan menggunakan becak dari Keraton dengan tarif Rp 10.000,00 dengan tujuan minta diantarkan ke Timlo Sastro. Eh..sama si Bapak Tukang Becak yang ogah rugi kita malah diturunkan di depan Pasar Gede. Katanya sih Timlo Sastro cuma jalan sebentar ke belakang Pasar. Dan ternyata saudara-saudara...memang sih di belakang...tapi jauhnya itu yang bikin keki. >.<
Kenyang makan timlo sastro kamipun memutuskan untuk mencari oleh-oleh di dalam Pasar Gede.
Pasar Gede memang surga makanan yang bisa dijadikan oleh-oleh bagi yang ingin membelikan sesuatu untuk orang yang terkasih. hihih. Banyak sekali makanan tradisional yang diperdagangkan di tempat ini mulai dari peyek kacang, keripik tempe, dan kawan-kawannya. Sayapun membeli peyek kacang karena Papa saya hobi banget makan peyek kacang. Sembari saya membeli oleh-oleh eh taunya Olin malah asyik minum Es Dawet Talasih. Saya yang lagi pilek berat saat itu terpaksa mengurungkan niat. Padahal kayanya segerrr banget. T.T

Pasar Gede


Setelah mendapatkan oleh-oleh kamipun melanjutkan perjalanan kami selanjutnya. Tiga tempat wisata sekaligus di satu jalan yakni Jalan Slamet Riyadi yang you know lah searah gitu. -__-
Jelas-jelas kami udah melewati jalan tersebut tadi, tengok kanan kiri, tanya sana sini akhirnya kami sepakat menggunakan taksi yang mangkal di depan Pasar Gede. Biaya taksi dari Pasar Gede ke Jalan Slamet Riyadi kena biaya minimal naik taksi sebesar Rp 12.000,00. First destination at Jalan Slamet Riyadi adalah Museum Batik Danarhadi. Museum Batik yang didirikan oleh Bapak Santoso yang merupakan founder Toko Batik Danarhadi ini letaknya jadi satu dengan outlet Batik Danarhadi di Jalan Slamet Riyadi. Harga tiket masuk resminya sih Rp 25.000,00 tapi kami dapat potongan Rp 10.000,00 karena status kami yang masih mahasiswa. Ahihih asyik asyik! Dengan membayar tiket masuk tadi kami mendapatkan tour di Museum Batik Danarhadi selama kurang lebih satu jam dengan ditemani pemandu yang super ramah. Penataan tampatnya oke punya! Ruangannya pun super dingin! Beneran deh di tempat ini penjelasan-penjelasan yang saya dapatkan dari penjelasan mas-mas pemandu seputar batik membuat pengetahuan saya akan batik makin terbuka lebar. Mulai dari jenis-jenis batik, proses pembuatan batik, koleksi batik, cara membedakan batik tulis dan cap, hingga ke cara merawat batik dijelaskan dengan sedetail-detailnya. Disini kita bisa melihat segala koleksi batik yang dimiliki oleh Bapak Santoso dan juga bisa melihat langsung proses pembuatan batik Danarhadi di tempat produksinya yang tempatnya jadi satu pula dengan museum batik. Dari semua bagian di Museum Batik hanya di tempat produksi batiklah kita bisa menggunakan kamera yang kami bawa. Apa pasal? Karena lampu flash dari kamera dikhawatirkan memudarkan warna koleksi batik yang ada di dalam dan juga karena penataan ruangan Museum Batik telah didaftarkan di Dirjen Hak Kekayaan Intelektual dan dilindungi oleh UU Hak atas Kekayaan Intelektual. Oalah!

Melihat Produksi Batik


Second destination adalah Museum Radyapustaka. Museum yang baru-baru ini namanya mencuat di berbagai media massa karena kasus pencurian, pemalsuan, dan perdagangan arca ini menjadi tujuan kaki kami melangkah selanjutnya. Setelah membayar biaya masuk sebesar Rp 2.500,00 per orang dan biaya kamera sebesar Rp 5.000,00 kamipun bisa melihat berbagai koleksi yang ada di dalamnya. Menurut catatan, Museum Radyapustaka merupakan museum tertua di Indonesia dan didirikan oleh KRA Sosrodiningrat IV pada 28 Oktober 1890. Berbagai hal bisa dilihat ditempat ini mulai dari koleksi keramik tua, naskah-naskah kuno, alat musik, senjata, uang-uang kuno, replika dari tempat-tempat yang berhubungan dengan keraton seperti Astana Giri Bangun, dan yang tak boleh ketinggalan adalah arca-arca peninggalan peradaban kuno di Indonesia. Soal keamanan, seolah tidak mau kecolongan lagi, beberapa kamera CCTV telah ditempatkan di beberapa sudut museum. Baguslah. ^^d

Koleksi Arca Museum Radyapustaka


Last destination at Jalan Slamet Riyadi sekaligus last destination perjalanan kami di Kota Solo adalah Taman Sriwedari. Tidak banyak waktu yang kami habiskan di taman yang dibangun oleh Pemkot Solo dan dijadikan sebagai tempat publik bagi masyarakat Solo ini mengingat hari yang semakin sore. Yang jelas di tempat itu kami mengistirahatkan badan terutama kaki setelah seharian benar-benar dipakai ekstra dalam penjelajahan kami di Kota Solo.
Overall, Kota Solo really such an interesting city to visit. Suasana yang benar-benar njawani kami rasakan di tempat ini mulai dari kondisi kotanya hingga ke tingkah laku masyarakatnya.
Pelajaran berharga yang saya dapatkan dari perjalanan saya di Solo adalah sepertinya saya harus lebih menguasai bahasa Jawa khususnya bahasa krama nih. Wkwkw.


Happy travels dan Salam Kupu-Kupu. ^^v

No comments:

Post a Comment