Tuesday, June 18, 2013

Baluran Dan Perjalanan Melelahkan Menuju Kesana



"The journey has many bumps, twists and turns. But one day you will reach your destination. You'll know for sure then that it was all worth it. So keep on trusting and keep on walking. The end will be more glorious than you can imagine. "
-Anusa Atukorala-


Taman Nasional Baluran adalah salah satu destinasi wisata yang menjadi mimpi saya semenjak lama. Dulu, sekumpulan teman jalan saya sudah pernah mengajak untuk berkunjung kesana. Tapi saya terpaksa menolak ajakan mereka sehubungan dengan dana yang kagak ada ditambah waktu itu saya masih sibuk mengerjakan skripsi. Teman-teman saya akhirnya tetap berangkat ke Baluran tanpa saya dan memberikan oleh-oleh foto dan cerita yang membuat saya semakin bernafsu untuk mengunjunginya. Ah, sabana maha luas, pantai pasir putih  nan sepi dan juga sekawanan hewan liar sungguh mengundang ketertarikan di dalam diri ini. Pokoknya suatu saat nanti saya harus kesana! Harus! Saya pun mengompor-ngompori teman saya yang lain. Awalnya banyak banget yang berminat hingga akhirnya mendekati hari-H hanya enam orang yang menyatakan kesungguhan mereka. Keenam orang itu adalah kakak saya (Vica) dan kedua temannya, Mbak Lukit dan Mbak Septi, dua teman jalan-jalan dari jaman baheula si Nurul dan Aik, dan juga teman KKN saya dulu, si Dian. Setelah merundingkan, berangkatlah kelompok petualang kami yang terdiri dari dua pria dan lima wanita menuju ke Baluran yang terletak di ujung timur Pulau Jawa pada rabu malam (5 Juni 2013) lalu. Be-rang-kaaaat!!

Sekitar jam setengah sembilan malam, sampailah kami semua di Terminal Tirtonadi Solo. Kami memang berencana menuju Baluran menggunakan bus. Bus adalah alat transportasi paling affordable dibandingkan alat-alat transportasi lainnya. Niat awal kami sih sebenarnya menggunakan kereta, akan tetapi KA Sri Tanjung dari Stasiun Solo Jebres ke Banyuwangi Baru hanya ada sekali sehari. Itupun jadwalnya pagi. Lagipula, semenjak subsidi dari Pemerintah dihapuskan dan peng-upgrade-an kereta ekonomi non AC menjadi ber-AC membuat harga tiketnya melambung tinggi. Oleh karena itulah, kami semua sepakat menggunakan bus selain lebih murah juga lebih fleksibel tentunya. 

Eh tapi, siapa sih yang tidak tahu kalau trayek bus menuju Jawa Timur itu super membingungkan? Belum lagi jarak tempuhnya yang lumayan panjang. Jarak antar kabupaten saja bisa dua jam-an. Diperparah dengan banyak bus khususnya yang ekonomi doyan banget ngetem plus oper-oper. Blah! Kami yang sampai di Terminal Tirtonadi sudah nyaris larut malam, selanjutnya memutuskan untuk naik bus secara estafet. Naik bus dulu ke Surabaya kemudian mencari bus ke arah Banyuwangi. Bus MIRA pun menjadi pilihan kami untuk menuju ke Surabaya dan membutuhkan waktu tempuh sekitar 6 jam-an. Sesampainya di Terminal Purabaya (nama baru Terminal Bungurasih) ternyata belum ada bus yang menuju ke Banyuwangi. Kami lalu beristirahat sejenak disana sembari sholat subuh dan mengisi perut.

Tidak lengkap kalau berhenti di Terninal Purabaya tanpa cerita menghadapi calo. Yup, terminal di Surabaya ini memang terkenal dengan gudangnya calo yang beberapa di antaranya galak-galak. Kami yang memiliki informasi serba minim tentang bus ke arah Baluran akhirnya mencoba bertanya pada orang-orang di warung tempat kami beristirahat. Beberapa orang kemudian mengerumuni kami, dan salah satunya ada bapak-bapak yang nampak baik hati dan mengatakan bisa naik ke busnya. Saya dan Mbak Lukit sebenarnya sudah curiga tapi kami sudah terlanjur ditungguin si bapak sedari tadi. Kami hanya bisa pasrah ketika digiring ke bus yang saya lupa namanya apa. Si Bapak akhirnya menunjukkan wajah dia yang sebenarnya. Kami semua kaget ketika dia menyebutkan nominal angka yang sangat besar untuk menuju ke Baluran. Sedangkan dari daftar harga yang dipajang di dinding bus menunjukkan angka tidak semahal yang disebutkannya. Si Bapak berkilah kalau harga itu adalah hanya untuk ke Situbondo bukan ke Baluran. Mbak Septi dan Mbak Lukit gencar menentang si Bapak sedangkan saya dan yang lain hanya bisa diam. Syukurlah, si Bapak akhirnya pergi  meski sebelumnya dia mengata-ngatai kami dengan berbagai macam kata-kata. Kami para mahasiswa tak tahu diri lah, kurang ajar lah. Dih, whatever deh pak! Huss huss!

Penderitaan kami belum berakhir. Bus yang kami naiki kemudian berhenti di Probolinggo dan menyuruh semua penumpangnya turun untuk berganti bus. Jalan terus sampai Situbondo, eh kami disuruh oper lagi ke bus ke arah Banyuwangi yang penuh sesak, pengap dan jalannya kayak siput. Kata si Aik, ini mah kita dioper-oper mulu sampai bego. Hahahah. Bener banget, saking begonya sampai ketika bapak kondektur bus itu menghampiri kami dan bertanya kami mau turun dimana, saya cuma bisa jawab turun di Baluran. Jawaban yang kemudian saya sangat sesali karena Baluran itu sendiri adalah nama salah satu kecamatan di Situbondo yang luasnya minta ampun. Kami semua pun diturunkan di Karang Teko, Situbondo. Huh? Mana pintu gerbang Taman Nasional Balurannya? Dan ternyata dari tempat itu menuju ke pintu gerbang Taman Nasional Baluran masih sangat jauh, masih sekitar 30 menitan kalau menggunakan kendaraan. Seharusnya kalau mau kesana, kami harus bilang ke kondektur turun di Batangan bukannya Baluran. Huhuh, maaf ya semua. Saya benar-benar merasa bersalah. Apalagi ini in a middle of nowhere yang bahkan bus ke arah Banyuwangi itu jaraaaang banget datangnya. Sialaaan.

Saya kemudian diajakin si Nurul dan Aik untuk untung-untungan menebeng ke mobil-mobil kosong dengan modal jempol doang. Yes, kami mencoba peruntungan kami dalam berhitch-hike. Awalnya kami bertiga masih malu-malu dalam mengacungkan jempol, mobil pick-up kosong adalah tujuan utama meski juga tidak menolak kalau ada range rover yang mau menebengi kami. Hohoh. Ternyata memang tidak mudah untuk mencari tumpangan dengan modal jempol seperti itu. Saya nyaris mendekati menyerah ketika tiba-tiba Aik dan Nurul didekati oleh mobil pick-up berwarna biru. Mas pengemudinya langsung diberondong pertanyaan dan permintaan tolong oleh Aik dan Nurul. Saya hanya bisa diam membatu. Alhamdulillah, si mas ternyata hendak berjalan searah dengan pintu gerbang Taman Nasional Baluran dan mengijinkan kami untuk menumpang di mobil pick-upnya. Syaratnya, beberapa di antara kami harus bersedia duduk di bak belakang  yang sedang memuat boks-boks besar berisi ikan kecil-kecil untuk dijual ke Banyuwangi. Siap mas, no problemo. Saya, Dian, Aik, Nurul dan Mbak Lukit kemudian mencari posisi nyaman masing-masing di bak belakang sedangkan Mbak Vica dan Mbak Septi duduk menemani si mas yang baik hati dan tidak sombong di jok depan. Let's goooo~


Aik, Saya, Nurul dan Dian dengan pick-up penyelamat

Hitch-hike, mission accomplished!

Ternyata benar, jarak antara Karang Teko dan Batangan itu jauhnya gak ketulungan. Kami berlima yang duduk di belakang hanya bisa berpegangan kencang pada tali yang mengikat boks-boks ikan. Sesekali kami terlonjak-lonjak ketika jalanan menikung tajam atau naik turun dengan bebasnya. Wih, pemandangan sepanjang jalan itu hanyalah hutan-hutan lebat dengan pepohonan besar di kanan kiri jalan. Beberapa kelompok monyet nampak mencari makan di pinggir-pinggir jalan. Subhanallah, it's just like a blessing in disguise. Disguise bau amis yang merebak dari boks ikan maksudnya. Heheh. Setelah menempuh 30 menitan, sampailah kami semua di pintu gerbang Baluran. Kami pun mengucapkan rasa terima kasih kepada si mas pengemudi pick-up. Sejumlah uang untuk membeli rokok juga kami berikan kepadanya karena telah berbaik hati memberikan tumpangan. Jasamu tak terlupakan mas. Kami yang sudah kelelahan segera bergegas memasuki pintu gerbang Baluran, disana kami diberhentikan dulu oleh petugas gerbang baru kemudian dipersilahkan untuk menuju ke pusat informasi. Di area pusat informasi, kami semua disambut oleh tiga ekor merak hijau yang bebas berkeliaran disana. Seusai mengkonfirmasi bookingan wisma kami dua minggu sebelumnya dan membayar uang masuk taman nasional, bapak petugas kemudian menjelaskan kalau untuk menuju Wisma Bekol yang kami pesan masih harus berjalan 13 kilometer. Hah? Serius? Terus kami harus jalan kaki kesana? Si Bapak hanya tersenyum ketika mengatakan bisa jalan kaki kalau mau, tapi pengelola juga menyediakan angkutan pengantar menuju wisma. Tentu ada biaya tambahannya. Halah, iya deh pak ndak papa daripada kami harus jalan kaki. Tidakkah si bapak melihat kami sudah cukup menderita gara-gara perjalanan darat panjang nan melelahkan untuk menuju ke tempat ini? -_-

Plang nama TN Baluran di pinggir jalan raya 

Welcome to Baluran, fellas!

Merak Hijau penyambut kami

Jam sudah menunjukkan angka sekitar setengah dua-an ketika kami sampai di pusat informasi. Angkutan pengantar kami belum datang. Rencananya kami hendak dinaikkan ke mobil pick-up lagi. Saat masa-masa penantian itulah tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Waks, kalau mau pakai pick-up mah bisa basah kuyup nih. Tenang tenang. Ada mobil carry merah merona yang juga siap mengantarkan kami menuju ke wisma. Hujan semakin deras menyambut kami selama perjalanan kesana. Jalan menuju ke wisma bukanlah jalan yang mulus. Bisa dikatakan rusak teramat parah malah. Kata si bapak pengantar kami, sudah berkali-kali pihak pengelola Taman Nasional Baluran meminta bantuan dana perbaikan jalan ke pemerintah akan tetapi dana yang turun hanyalah untuk pemeliharaan saja itupun hanya untuk beberapa kilometer. Belum lagi struktur tanah di Baluran juga bukanlah tanah padat sehingga jalan memang mudah saja rusak. Berkali-kali mobil yang kami tumpangi harus terlonjak-lonjak menghadapi kubangan air dan jalan berlubang di depannya. Bahkan, kami juga harus melewati beberapa sungai kecil yang tampak membludak airnya ke jalan raya. Wah! Taman Nasional bisa kebanjiran juga ternyata. Awan hitam pekat memang tampak menggelayut di atas kami. Kami semua hanya bisa pasrah, niat untuk trekking di Sabana Bekol rasanya akan sulit terwujud kalau cuaca masih seperti ini.

Mendekati Wisma Bekol, kami semua terperangah. Bagaimana tidak? Sepanjang perjalanan dari pusat informasi menuju bekol nyaris hujan deras, eh ini di kawasan sabananya sendiri cuaca cerah ceria. Cihuy! Bisa deh ini trekking di sekitaran sabana! Aye! Setelah melapor di Pos Jaga Bekol, kami diantarkan salah seorang petugas untuk ke kamar masing-masing. Ada tiga kamar yang telah kami pesan dua minggu sebelumnya dan kami ditempatkan di Wisma Rusa. Wisma bertingkat dua dengan mayoritas bangunan terbuat dari kayu ini posisinya berada paling dekat dengan pos jaga dan kamar mandi bersama. Kamar mandi itulah yang dipakai para penghuni Wisma Rusa kalau hendak membersihkan diri. Pemandangan utama yang disajikan di wisma-wisma yang ada di Kawasan Bekol adalah pemandangan sabana yang maha luas dengan rumput yang nampak mulai menguning. Sayangnya, kawasan ini tidak memiliki restoran yang disediakan oleh pihak pengelola. Satu-satunya restoran yang ada di Taman Nasional Baluran adalah restoran  pada Kawasan Bama yang jauhnya masih sekitar empat kilometer dari Bekol. Tapi tenang saja, kita bisa delivery order makanan dari Bama untuk diantarkan ke Bekol kok. Tentunya, (lagi-lagi) ada biaya tambahan dong. Huhuh. Setelah bersih-bersih diri kami semua memutuskan untuk trekking dan hunting foto di kawasan sabana. Jeprat-jepret! Berbagai gaya dan ekspresi kami habiskan di beberapa penjuru sabana. Hari sudah semakin sore. Eh tapi, kemana para hewan liar yang ada disini ya? Daritadi ketemunya kalau tidak burung merak hijau ya sekumpulan monyet doang deh. Mana kerbau liarnya? Mana rusa-rusa unyunya? Mana pula si banteng yang menjadi primadona sekaligus logo dari Taman Nasional Baluran?

Wisma rusa tempat kami bermalam


Sabanaa!


Fosil kepala kerbau liar


Dari kiri-kanan: Nurul, Aik, Mbak Vica, Mbak Lukit

Saya gelantungan di pohon -_-

Dian dengan pose err-nya

Kenalkan, Mbak Septi sang fotografer utama
merangkap model *kabur*

Foto di jalanan menuju Bama

Saat berjalan semakin mendekat ke tengah sabana, tiba-tiba para anak perempuan dihampiri oleh salah seorang ranger. Jangan terlalu ke tengah sabana katanya. Loh? Kenapa pak? Kawasan tengah sabana banyak dihuni oleh ular berbisa semacam kobra dimana mereka kebanyakan keluyuran mencari mangsa di kala sore dan malam menjelang. Hiyyy! Adegan film "Viper" langsung terbayang di benak saya. Kami semua langsung buru-buru menjauh dari kawasan tengah sabana dan memilih berdiri di pinggir-pinggirnya. Ngeri cuy! Sore semakin mendekati senja, kami yang mulai mati gaya memutuskan untuk naik ke menara pandang. Menara pandang ini terletak di atas bukit kecil di belakang wisma. Perjuangan menaiki puluhan anak tangga untuk sampai ke atas gardu pandang terbayar oleh pemandangan taman nasional secara aerial. Gunung Baluran, Savana Bekol, Pantai Bama bahkan Selat Bali bisa terlihat dari atas gardu tersebut. Anyway, matahari di Baluran jauh lebih cepat untuk terbit dan terbenam daripada daerah lain. Baru jam lima sore saja matahari nampak sudah mulai meredup dan mulai bersembunyi di peraduannya. Mungkin terpengaruh oleh letaknya yang mendekati kawasan Indonesia bagian tengah. Selepas makan malam, beberapa di antara kami memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar melihat pemandangan sabana di kala malam datang. Eh! Apa itu? Sinar senter kami tiba-tiba menangkap dua pasang mata berwarna kuning kemerahan di kejauhan. Saat kami perdekat ternyata kami tengah menyorot dua kerbau liar super besar yang sedang mencari minum di kolam buatan yang ada di tengah sabana. Akhirnya, ketemu juga sama kerbau liar!

Stairway to Menara Pandang

Dian, Aik, Mbak Lukit dan Nurul di atas menara

Senja dari atas menara pandang

Minus Mbak Septi dong :p

Aik dan Nurul

Keesokan harinya kami harus bangun pagi-pagi buta untuk mengejar momen sunrise di Pantai Bama. Jam empat lebih lima belas menit, kami semua sudah siap membelah pekatnya malam dan menyusuri jalanan setapak sejauh empat kilometer menuju Kawasan Bama. Baru seperempat perjalanan, semburat-semburat kemerahan sudah mulai nampak terlihat dari arah timur. Kami kurang ahli memperkirakan kapan matahari akan terbit kalau lebih cepat begini. Saya hanya bisa berjalan lebih cepat sambil berdoa dalam hati semoga masih dapat momen matahari terbit dari Pantai Bama. Amin. Voila! Setelah berpeluh-peluh dan terseok-seok berjalan kaki, sampailah kami di Kawasan Bama. Kawasan Bama sendiri adalah bagian dari Taman Nasional Baluran yang meliputi kawasan pantai, hutan dan hutan mangrove. Kami langsung berlari ke arah Pantai Bama yang telah ramai oleh traveler lain. Alhamdulillah, matahari masih naik sedikit dari garis horison. Kamera langsung kami persiapkan untuk memotret jejak sunrise yang lebih nampak seperti sunset itu, tak lupa foto dengan gaya silhoutte juga kami agung-agungkan. Hohoh. Oops! Saat di Kawasan Bama kita harus berhati-hati! Sekawanan monyet ekor panjang selalu usil dengan membawa kabur tas-tas atau kantong-kantong yang tidak dijaga dengan benar oleh pengunjung. Ada tas plastik yang berada di kantong celana salah seorang pengunjung langsung dibawa kabur oleh seekor monyet. Tapi setelah tahu isinya hanya pakaian renang, monyet itu melepaskan kembali kantong tersebut. Monyet-monyet ini memang agak agresif, mereka bahkan tidak sungkan untuk mendekati dan mengejar pengunjung yang menjadi targetnya. Selain monyet dan merak, di kawasan ini kita juga bisa menemukan sekawanan lutung yang melompat-lompat dan mencari makan di hutan mangrove. Aih, lucunya.

Langit mulai memerah

Plang Pantai Bama

Ini sunrise apa sunset hayo?

Jump! Jump!

Monyet-nya galau, abis diputusin ya? *pukpuk*

Mbak Vica masa kecil kurang bahagia *kabur*

Finally, full personnel!

Pantai Bama sendiri merupakan pantai berpasir putih dan nyaris tidak berombak. Kalaupun ada ombak, ombak tersebut hanyalah berupa riak-riak kecil. Di pantai ini sebenarnya kita bisa bermain kayaking atau kalau mau menikmati keindahan alam bawah lautnya bisa mencoba untuk snorkelling. Sayangnya, alatnya terbatas dan tidak disediakan pemandu untuk menemani para pengunjung. Selain kawasan pantai disini juga terdapat area bird watching dan jembatan mangrove. Area bird watching yang masuk ke dalam hutan lebat membuat kami mengurungkan niat untuk kesana. Kami lalu berjalan ke arah jembatan mangrove. Jembatan mangrove sejatinya adalah semacam area untuk memandang Selat Bali secara lebih leluasa. Nanti setelah berjalan membelah hutan mangrove kita bisa melihat semacam dermaga kecil dengan pondok pandang di ujung jembatan. Hamparan lautan maha luas terlihat sepanjang mata memandang. Kemarin dari atas sana, kami bisa melihat school of fish yang mungkin mencari makan di akar-akar mangrove. Seusai mencari sarapan di salah satu restoran yang ada pada Kawasan Bama, kami menyusuri jalan setapak kembali untuk menuju Wisma Bekol. Saat perjalanan pulang inilah akhirnya kami bisa bertemu beberapa kawanan rusa yang menggemaskan. Akan tetapi, ternyata mereka ini hewan yang pemalu. Berkali-kali Mbak Septi mencoba mendekat untuk mengambil gambar mereka. Serentak pula kawanan rusa ini lari masuk bersembunyi ke dalam hutan.

Full team again di hutan mangrove

Jembatan Mangrove

Saya, Mbak Septi, Dian

Mbak Lukit

Para 2009-ers!

Selat Bali

Did you see bunch of deers in this photo?



Don't set your expectation too high. So when you're seeing the reality, you're not that hurt. Pelajaran itu yang bisa saya petik dalam perjalanan ke Taman Nasional Baluran kemarin. To be honest, entah kenapa ada sedikit rasa kekecewaan dalam diri saya. Apa yang saya lihat dengan mata kepala sendiri agak berbeda dengan apa yang ada dalam gambaran serta ekspektasi selama ini. Saya kira karena disebut "Africa van Java" maka suasana sabana yang bisa dilihat benar-benar seperti padang sabana di Benua Hitam sana. Saya langsung teringat petualangan Rob Bredl menembus padang sabana yang maha lebat dan bertemu dengan ribuan hewan-hewan liar nan eksotis dalam acara Killer Instinct. Acara favorit saya jaman Sekolah Dasar dulu. Entah memang ekspektasi saya terlanjur ketinggian, atau memang kami datang bukan di saat yang tepat. Berbagai cerita traveler di blog pribadi mereka, menunjukkan sisi Baluran yang lebih kuning dibandingkan apa yang saya lihat kemarin. Yah, kita memang tengah berhadapan dengan anomali cuaca. Seharusnya sudah datang musim kemarau, eh ini hujan lebat masih datang aja.

Pohon unik


Yay! Kupu-Kupu! ^^d

Musim kemarau memang waktu paling tepat untuk datang berkunjung ke Baluran. Kata para ranger disana, ketika cuaca benar-benar kering maka seluruh rumput dan tanaman yang ada disana akan berubah menjadi kuning. Para satwa liar pun akan lebih mudah ditemukan pada kawasan sabana karena disitulah terdapat kolam buatan yang biasa digunakan oleh hewan-hewan itu untuk minum. Err, mungkin juga jumlah satwa-satwa liar semakin berkurang karena perburuan liar kali ya. FYI aja sih, Baluran sendiri luasnya hampir 25.000 hektar sedangkan jumlah ranger yang bertugas hanya 40 orang saja. Rationya saja 1 : 625 atau satu orang ranger bertugas mengawasi 625 hektar. Gak sebanding banget kan? Anyway, saya bukan mencoba menyalahkan siapa-siapa dan mencegah siapapun untuk datang ke Baluran. Bagus kok, tapi lebih bagus lagi kalau datang di musim yang tepat sehingga African's feel-nya benar-benar bisa kalian temukan. Nature always teaches us many lessons. Pelajaran lain yang bisa saya petik adalah, ketika kita memutuskan untuk mengunjungi taman nasional, ingatlah taman nasional itu berbeda dengan taman safari dan kebun binatang. Kalian menghadapi hewan-hewan liar yang tingkah dan kemunculannya tidak bakal bisa mudah diprediksi. Jadi, jangan berharap terlalu banyak dan biarkan alam memainkan piringan kejutannya. :)


How Much I Spent:
Salatiga-Baluran (5-7 Juni 2013)
1. Ongkos bus Salatiga-Solo (PO Taruna) : Rp 10.000,00
2. Tiket peron Terminal Tirtonadi : Rp 500,00
3. Ongkos bus Solo-Surabaya (PO MIRA) : Rp 30.000,00
4. Sarapan di Terminal Purabaya : Rp 9.000,00
5. Ongkos Bus Surabaya-Situbondo : Rp 24.000,00
6. Ongkos Bus Situbondo-Banyuwangi (AKAS)  : Rp 14.000,00
7. Makan siang di Karang Teko : Rp 8.000,00
8. Hitch-hike Karang Teko-Batangan : Rp 30.000,00 dibagi 7 = Rp 4.500,00
9. Tiket masuk TN Baluran : Rp 2.500,00/orang
10. Uang transport Batangan-Bekol : Rp 100.000,00 dibagi 7 = Rp 15.000,00
11. Makan malam (delivery order dari Bama) : Rp 15.000,00
12. Sarapan di Bama : Rp 13.000,00
13. Akomodasi Wisma Rusa : Rp 35.000,00/orang
14. Uang transport Bekol-Batangan : Rp 100.000,00 dibagi 7 = Rp 15.000,00
TOTAL: Rp 195.500,00

Salam Kupu-Kupu ^^d

9 comments:

  1. Ticket kereta dan bus hampir sama dong Sat?? tks

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau berhentinya di Solo lebih murah naik bus, jatuhnya Rp 68.500 sedang naik kereta Rp 95.000. Tapi entah, kalau BBM naik ntar mungkin bedanya semakin tipis. Heheh.

      Btw, ini Mbak Chris bukan?

      Delete
  2. ada kontak penginapan di TN baluran nya mas? kalo ada boleh saya minta? Thanks. Udah nyoba ngehubungi no yang ada di website nya wonderful Indonesia tapi ga mau nyambung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah mas, maaf nomernya udah ndak ada. Saya dulu dapet nomernya dari website resmi TN Baluran. Ini sekarang sudah coba googling, websitenya udah ndak ada. Coba di (0333)461936 atau via email di balurannationalpark@gmail.com mas.
      Semoga berhasil. :)

      Delete
  3. kalo buat 36 anak dari malang kira2 enaknya naik apa ya ? yang kira2 cocok buat kantong anak sma gituuh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo! 36 anak? Bujuu banyak bener.
      Err, mau pergi bulan apa emang?
      Paling enak sebenere naik kereta, lanjut bus. Tapi entar ya, nunggu subsidi tiket kereta turun lagi.
      Kalau endak, coba aja nyewa kendaraan dari Malang atau Surabaya.
      Semoga membantu. :)

      Delete
  4. ada no telp wisma rusa? sy mau booking jg.. bisa di email ke tyna_evriel@yahoo.co.id?
    trima kasih ya sebelumnya

    ReplyDelete