Wednesday, May 15, 2013

Stunning Sragen: Mengunjungi Leluhur Manusia Dan Berkeliling Waduk Pakai Perahu



Kalau buat saya, traveling itu tidaklah harus jalan-jalan ke suatu tempat yang jauh, ke luar negeri atau ke pulau terluar Indonesia misalnya. Err, ini pendapat saya personal loh ya. Traveling itu lebih ke persoalan memberikan kepuasan hati. Jadi, sebenarnya tidak ada korelasi yang cukup signifikan antara jarak tempat dengan kepuasan hati. Selama yang dekat-dekat juga bisa memberikan kepuasan hati, kenapa ngebet ke yang jauh-jauh? Lagipula semakin jauh tentunya semakin besar juga kan biaya yang harus kita keluarkan? Hohoh. Berdasarkan pemikiran dan pendapat pribadi inilah saya punya keinginan untuk traveling di daerah yang dekat-dekat dengan posisi saya berada terlebih dahulu. Saat ini, saya tengah berada di Salatiga. Suatu daerah yang berada di bawah lindungan Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah sendiri terdiri atas 35 Kabupaten dan Kota termasuk Kota Salatiga. Bayangkan aja deh, kalau kita diberi satu hari saja untuk mengelilingi satu kota/kabupaten, maka dibutuhkan satu bulan lebih untuk mengelilingi Jawa Tengah. Itu baru Jawa Tengah...belum Pulau Jawa...belum pula Indonesia. See?

Baru-baru ini, saya berhasil mengibarkan bendera penjelajahan di salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah yakni Sragen. Ditemani oleh dua teman kelompok jalan-jalan lalala yeyeye, Meykke dan Agam plus anggota baru yakni Uma, kami berempat pun berangkat jalan-jalan kesana pada 11 Mei 2013 yang lalu. Kok tumben Yanta tidak ikut? Iya, Yanta tengah berhalangan waktu itu. Ibunya tengah sakit sehingga belum bisa ditinggal kemana-mana. Mari para pembaca semua, luangkan waktu sejenak untuk mendoakan ibu teman saya Yanta. Semoga bisa segera sembuh dan bisa segera beraktifitas seperti sedia kala. Amin. Terima kasih semua! Heheh. Kembali ke cerita, kenapa kami kemudian memilih Kabupaten Sragen sebagai destinasi kami? Pertama, jaraknya lumayan dekat dengan Kota Salatiga yaitu sekitar 1,5 jam-an kalau menggunakan motor. Kedua, saya penasaran dengan pesona obyek wisata yang dimiliki kabupaten tersebut. Setelah memilah-milah akhirnya saya mengusulkan tiga destinasi untuk dikunjungi kepada Meykke, Agam dan Uma. Ketiga destinasi itu adalah Museum Sangiran, Waduk Kedung Ombo, dan Pemandian Air Panas Bayanan. Sayangnya, pada hari H dikarenakan keterbatasan waktu akhirnya kami berempat terpaksa mencoret Pemandian Air Panas Bayanan dari daftar kunjungan. Lah? Kok bisa sih? Well, siapa sangka kami akhirnya terpaksa berlama-lama di Sangiran dan Kedung Ombo saking terpesona dan saking kagetnya dengan pesona dua obyek wisata itu. Bener-bener beyond expectation deh!

Museum Sangiran. Apa yang terpikirkan kalau kalian mendengar nama itu? Membayangkan museum manusia purba yang sangat membosankan? Yah, saya sih maklum. Salah seorang tetangga saya yang pernah kesana sekitar 5 tahunan  lalu bahkan cuma bilang kalau Museum Sangiran ya gitu-gitu aja. Nothing interesting. Berbekal penjelasan awal dari tetangga itulah saya tidak terlalu berharap ketika mengunjungi Museum Sangiran hari itu. Semuanya modal rasa penasaran doang karena seumur-umur saya belum pernah ke situs purbakala yang sering disebut-sebut dalam buku teks sejarah jaman SMP dan SMA dulu. Pagi itu, setelah hampir menempuh perjalanan penuh penderitaan sekitar 2 jam-an dari Kota Salatiga akhirnya sampailah kami di Sangiran. Kok penuh penderitaan? Yup, jalanan daerah situ adalah jalanan yang sudah menjadi rahasia luas kalau kondisinya bergelombang dan rusak parah. Saking parahnya sampai bikin tangan saya yang memboncengkan si Meykke menjadi keder dan pegal luar biasa. Belum lagi harus berjalan super pelan karena kasihan sama motor dan sayang dengan nyawa kami kalau harus kenapa-kenapa. Amit-amit dah!

Saat memasuki Sangiran, kami disambut oleh gapura megah dengan bentuk menyerupai gading gajah purba raksasa. Pagi itu Sangiran nampak ramai oleh beberapa bus wisata yang telah sampai dan parkir duluan sebelum kami tiba. Setelah membayar tiket masuk dan parkir, kami pun bergegas untuk memasuki museum tersebut. Tampak serombongan anak-anak sekolah dasar yang bergerak mengular membentuk barisan menyusul guru dan pemandu museum yang telah berjalan di depan mereka. Oh, sepertinya mereka adalah pemakai bus-bus wisata tadi. Sebelum memasuki ruang pamer museum, kami dipersilahkan untuk mengisi buku tamu terlebih dahulu. Buku tamu yang ambigu karena sudah ada kolom berisikan kesan yang harus diisi. Bagaimana mau mengisi kalau kami belum mengubek-ubek isi dalam museum coba? Saya dengan sedikit terpaksa menuliskan kata "baik" mengikuti pola kesan-kesan di atas saya. Aha, nampaknya banyak pengunjung yang merasakan hal serupa dengan saya nih. Heheh. 



Tapi, saya tidak menyesal telah menuliskan kata baik di buku tamu tadi karena ternyata kondisi Museum Sangiran benar-benar baik. Sangat baik malah! Kalau bisa merevisi kata baik di buku tamu ambigu tadi, mungkin saya akan mengganti dengan kata interesting diimbuhi simbol love berjejer-jejer di belakangnya heheh (plak!). Sumpah, saya sampai terperangah kagum karena kondisi museum ini sekarang jauh banget sama penjelasan yang diberikan oleh tetangga saya. Museum Sangiran telah menjelma menjadi museum megah setinggi tiga lantai yang berdiri di atas bukit dan memiliki luas setara 1,6 hektar. Nama yang terpampang dan lebih dikenal sekarang bukan sekedar Museum Sangiran semata tapi telah berubah menjadi Sangiran Early Man Site. Cakep! Yap, museum itu telah menjadi bagian dari suatu situs purbakala terbesar dan terlengkap di Asia bahkan dunia. Pada 1996, Sangiran berhasil masuk ke dalam daftar situs warisan dunia oleh UNESCO. Luas Situs Sangiran sendiri mencapai 56 kilometer persegi meliputi tiga wilayah (Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh) di Kabupaten Sragen serta satu wilayah (Gondangrejo) di Kabupaten Karanganyar. Luas ya?

Lahar 1,8 juta tahun

Ada tiga ruang pamer yang bisa dinikmati di Museum Sangiran. Ruang pamer pertama adalah ruang pamer yang bertemakan Kekayaan Sangiran. Oh, sebelum memasuki ruang pamer pertama kita bisa melihat sisa lahar Gunung Lawu purba yang usianya sekitar 1,8 juta tahun. Sisa lahar ini bisa kita lihat di samping kanan koridor yang harus dilewati bila hendak menuju ruang pamer pertama. Di ruang pamer pertama sendiri menampilkan berbagai fosil yang ditemukan oleh Von Koenigswald beserta arkeolog lain di Sangiran. Ada fosil gajah purba, kerbau purba, kuda nil purba dan tentu saja manusia purba. Ruang pamer ini terbagi menjadi dua bilik pamer. Fosil-fosil  ditata dengan apik dan menarik sehingga membuat pengunjung betah berlama-lama. Selanjutnya, kami memasuki ruang pamer kedua yang bertemakan langkah-langkah kemanusiaan. Ruang ini berisikan awal mula penciptaan tata surya dan jejak kemunculan manusia dari masa ke masa termasuk cara mereka mencari makan dan hidup. Ruang pamer kedua ini lebih luas daripada ruang pamer yang pertama. Ruang pamer terakhir adalah ruang pamer yang bertema masa keemasan Homo Erectus dimana terdapat diorama super besar yang menggambarkan kehidupan Homo Erectus pada 500.000 tahun yang lalu. Lengkap dengan binatang-binatang purba yang hidup pada jaman itu pula.

Isi ruang pamer 1

Isi ruang pamer 2

Diorama ruang pamer 3

Searah jarum jam: Me, Uma, Agam dan Meykke

Meykke-Agam-Saya di salah satu ruangan 

Meykke-Uma-Saya di depan diorama ruang pamer 3

Ada sekitar 2,5 jam-an waktu yang kami berempat habiskan untuk berkeliling seluruh ruang pamer di Museum Sangiran. Kami bahkan sempat istirahat di gazebo nyaman berbentuk joglo yang ada di lantai paling atas museum. Ah, tak salah kami memilih Sangiran sebagai obyek wisata tujuan kami. Museumnya benar-benar modern dan tertata apik. Tidak perlu pemandu untuk bisa memahami isi dalam museum karena infonya yang begitu lengkap dan adanya komputer berlayar sentuh yang tersebar di seluruh ruang pamer. Belum lagi ruangannya dilengkapi AC super dingin dengan penataan cahaya yang oke banget. Andai semua museum di Indonesia bisa semenyenangkan ini pasti citra museum bisa terangkat. Sebenarnya kami juga berencana untuk mengunjungi dan melihat Gardu Pandang Sangiran. Kabarnya dari atas gardu pandang kita bisa melihat pemandangan situs purbakala ini secara menyeluruh. Sayangnya karena hari semakin siang kami pun harus segera beranjak menuju obyek wisata selanjutnya.


Istirahat di gazebo berbentuk joglo di lantai paling atas

Saya ceritanya lagi baca-baca via komputer touchscreen nih

Obyek wisata kami selanjutnya adalah Waduk Kedung Ombo. Kami pun memacu motor menuju ke jalan mengarah ke Kabupaten Grobogan atau Purwodadi. Jalan masuk menuju Waduk Kedung Ombo memang terletak di salah satu ruas jalan menuju kesana. Plangnya sendiri tampak sudah berkarat dan tulisannya tidak bisa terbaca cukup jelas. Gampangnya sih, kalau melihat plang arah Arena Pacuan Kuda Nyi Ageng Serang ikuti saja jalan itu karena untuk menuju Waduk Kedung Ombo melewati jalan yang sama. Lagi-lagi, kami dihadapkan dengan jalan bergelombang plus berlubang disana-sini. Paling parah adalah jalan menuju pintu gerbang Obyek Wisata Kedung Ombo yang kondisinya tinggal kerikil berserakan sepanjang jalan. Untungnya, pemandangan yang disajikan di sekeliling jalanan rusak tersebut begitu mempesona. Apalagi pas dari turunan kita bisa melihat Waduk Kedung Ombo begitu luas dengan airnya yang berwarna biru beserta pinggiran waduk yang ditumbuhi rumput rapat berwarna hijau. Keren banget!

Pose baru! Pose kepanasan. :p

Jembatan bukan itu?  Tapi kok belum selesai ya

Pembangunan Waduk Kedung Ombo dimulai pada tahun 1985 dan diresmikan pada 18 Mei 1991 oleh Presiden Soeharto. Ada catatan kelam dari sejarah pembangunan waduk seluas 2.380 hektar ini. Sebanyak 5.628 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan kawasan waduk. Setidaknya ada 37 desa di tujuh kecamatan yang berada di Kabupaten Sragen, Boyolali dan Grobobogan terpaksa ditenggelamkan untuk bisa mendapatkan waduk seluas itu. Namun ada sedikit permasalahan dalam pembebasan tanah. Ada sebagian warga yang yang menentang proyek tersebut karena tidak mendapatkan ganti rugi sesuai yang dijanjikan. Mereka pun menghadapi teror dan intimidasi karena penentangan atas proyek, tapi hal ini tidak membuat mereka gentar. Mereka kemudian sepakat untuk tetap mendiami rumah mereka. Pada akhirnya, pemerintah tetap memutuskan untuk mengairi semua desa termasuk desa yang dihuni oleh warga yang menentang. Akibatnya, mereka terpaksa hidup di tengah-tengah genangan air. Kasus ini kabarnya belum tuntas hingga detik ini loh. Warga tetap menuntut negosiasi ulang, sedangkan Pemerintah menganggap kasus ini telah selesai.

Setelah istirahat sebentar yang kami pakai untuk sholat dhuhur, kami kemudian beranjak melihat-lihat kawasan ini. Teriknya matahari siang itu membuat kami tidak begitu nyaman untuk melihat dan berfoto-foto. Heheh. Kawasan waduk ini memang sangat luas. Luas totalnya sekitar 6.576 hektar yang terbagi atas daerah daratan dan perairan. Selain dimanfaatkan sebagai sarana pengairan, waduk ini juga dimanfaatkan sebagai sarana perikanan, PLTA dan wisata. Terdapat puluhan penjaja makanan bertemakan ikan seperti ikan bakar hingga wader goreng yang dijajakan mereka. Akan tetapi, tujuan utama kami bukanlah makanan itu melainkan menaiki perahu nelayan untuk mengelilingi Waduk Kedung Ombo. Tarifnya relatif terjangkau yakni sebesar Rp 10.000,00 per orang untuk sekali berkeliling yang membutuhkan waktu sekitar 20 menitan.  Salah seorang nelayan menawari kami untuk segera naik ke perahunya. Kami yang cuma berempat pun segera naik sembari menunggu rombongan pengunjung lain yang hendak berkeliling juga. Satu kapal nelayan bisa muat sekitar 20-25 orang. Waktu itu ada 20 orang-an pengunjung termasuk kami yang masuk ke kapal sebelum kapal itu berlabuh dan berkeliling waduk (cieh).

Ini contoh kapal nelayan

Kami berempat di atas kapal

Meykke galau

Uma galau

Saya juga nampak galau

Katakan, kenapa Agam paling riang gembira? 

Ternyata, air Waduk Kedung Ombo tidak berwarna biru seperti yang kami lihat dari kejauhan. Airnya lebih berwarna kecoklatan mirip banget sama susu cokelat. Dari atas perahu nelayan yang melaju pelan, kami bisa melihat semacam pulau-pulau kecil di tengah-tengah waduk. Mungkin pulau-pulau ini adalah sisa dari desa-desa yang ditenggelamkan pada masa pembuatan waduk. Terlihat pula Gunung Kemukus, gunung yang terkenal sebagai tempat ngalap berkah dengan ritual yang agak "unik". Coba tanyakan maksud "unik" yang saya maksud ke pada penduduk lokal dan kau akan tercengang. Huahahah. Meykke, Agam dan Uma tampak begitu bersemangat untuk berfoto-foto di ujung depan kapal. Padahal, Uma mengaku kalau sebenarnya dia agak trauma dan ketakutan naik kapal loh. Syukurlah, dia bisa melawan ketakutannya dan nampak tenang selama kapal berkeliling. Ngeri juga sih, kalau dia tiba-tiba pingsan. Heheh. Angin sepoi-sepoi menyapa kami selama perjalanan berkeliling. Lumayan buat menghapuskan rasa gerah karena sinar matahari yang bersinar garang. Ada salah satu awak kapal yang menjadi pusat perhatian para pengunjung. Awak kapal ini masih kecil, masih seusia anak sekolah dasar kelas 5 mungkin. Namun dia begitu terampil dan kuat mengarahkan gerak kapal dan menarik kapal agar aman untuk merapat. Hebat!

Bedeng di tengah waduk

Jembatan dari jarak dekat

Mungkin ini dulunya adalah pepohonan
 dari desa yang ditenggelamkan

Ada rumah di salah satu pulau

Warung di pinggir waduk.
View dari  atas kapal.

Awak kapal kecil

Puncak penjelajahan di Kedung Ombo siang itu adalah duduk-duduk santai di salah satu warung yang ada di pinggir waduk. Ketiga teman saya kompak memesan es degan untuk menghapuskan rasa dahaga yang mereka rasa. Sedangkan saya yang tidak begitu menyukai es kelapa muda hanya bisa menemani mereka sambil meminum air mineral yang telah saya beli di minimarket pagi tadi. Tak terasa hari mulai beranjak sore. Waktunya kami harus segera angkat kaki dari Waduk Kedung Ombo daripada kemalaman untuk sampai di Salatiga kembali. Yah, apalagi kami harus melewati jalanan penuh penderitaan itu lagi. Tapi, saya senang. Saya tak menyesal menjadikan Sragen sebagai salah satu destinasi wisata kami. Ternyata, Sragen bisa se-stunning itu. Sekali lagi, traveling adalah tentang kepuasan hati dan Sragen sudah bisa memberikannya kepada saya. Err, enaknya kemana lagi ya? :p

How Much I Spent:
1. Bensin Salatiga-Sragen PP dibagi dua dengan Meykke= Rp 15.000, 00 : 2 = Rp 7.500,00
2. Tiket masuk Museum Sangiran = Rp 5.000,00
3. Tiket masuk Waduk Kedung Ombo = Rp 3.500,00
4. Biaya naik perahu = Rp 10.000,00/orang
4. Makan siang di Karanggede = Rp 11.000,00
Total pengeluaran= Rp 37.000,00

Salam Kupu-Kupu ^^d

2 comments:

  1. let's go to the next destination Ngga!!!:D

    kenapa yang kamu tampilin yang sarat akan kegalauan Nggaaaa..nggak nyangka ya semuyah itu. Daebak!!!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Let's let's!! Go go!!
      Hahahah, karena wajah gembira terlalu mainstream kali ya meyk. :p

      Delete