Bangunan tua sisa jaman kolonial selalu sukses bikin saya penasaran berat. Arsitekturnya yang kokoh dan mengagumkan memang pantas menjadikan bangunan-bangunan kuno ini patut untuk dikunjungi. Sayangnya, Indonesia adalah contoh negara yang kurang menjaga dan merawat bangunan-bangunan tua tersebut. Di berbagai daerah, bangunan kolonial ini dibiarkan teronggok dimakan usia tanpa mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerahnya. Ada sih yang dimanfaatkan sebagai gedung perkantoran atau pula museum. Namun, presentasenya kecil dibandingkan lebih banyaknya gedung-gedung kuno yang dirubuhkan dan digantikan oleh gedung-gedung modern. Dengan berat hati, saya mengakui Kota Salatiga adalah salah satu kota yang kurang bisa menghargai bangunan kuno, bahkan ada salah satu bangunan yang dirubuhkan dan rencananya hendak digantikan dengan bangunan mall modern. Beritanya pun menyebar luas dimana-mana. Hiks. Padahal, banyak negara yang berhasil menjaga bangunan kuno dan justru mampu mengundang masuknya arus wisatawan ke negara tersebut. Malaka di Malaysia, Ho Chi Minh di Vietnam adalah beberapa contohnya. Anyway, dekat dengan Salatiga terdapat satu daerah yang cukup kaya akan peninggalan bersejarah. Daerah itu adalah Ambarawa-suatu tempat yang pernah menjadi zona pertempuran antara warga pribumi dengan pasukan sekutu yang dikenal dengan Pertempuran Empat Hari Ambarawa.
Letak Ambarawa memang strategis yakni di perlintasan antara Semarang-Solo maupun Semarang-Jogja. Tak heran jika kemudian VOC mendirikan benteng penyimpanan logistik dan barak militer di Ambarawa. Benteng ini dibuat selama 11 tahun sejak tahun 1834-1845 di bawah kepemimpinan Kolonel Hoorn. Benteng ini kemudian diberi nama Benteng Willem I atau Port Willem I sebagai penghargaan bagi raja pertama dari Kerajaan Belanda, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau. Namun di kalangan masyarakat Ambarawa sendiri, benteng tersebut lebih dikenal dengan sebutan Benteng Pendem. Entah apa maksudnya mengingat bangunan ini tidak tersembunyi di balik tumpukan tanah (pendem-istilah Bahasa Jawa yang artinya adalah terpendam atau tersembunyi). Tak banyak yang mengerti apa manfaat pasti dari benteng ini. Ada yang menyebutnya sebagai barak militer, ada yang menyimpulkan sebagai tempat penyimpanan logistik dan bahan peledak bahkan ada pula yang menganggap tempat ini dulunya adalah bekas penjara bagi warga pribumi yang dinyatakan bersalah oleh pihak sekutu. Hiii..
Omong-omong, bagaimana kondisi Benteng Willem I sekarang? Berbekal rasa penasaran, saya memutuskan untuk mengajak kedua rekan jalan-jalan saya si Yanta dan Meykke mengunjungi benteng tersebut pada Selasa, 30 April 2013 lalu. Meykke dan Yanta yang sama-sama penasaran dengan senang hati menemani saya. Sampai-sampai, Meykke mengusulkan kalau kami bertiga harus memakai pakaian yang sama agar terlihat semacam sekelompok anak panti asuhan traveler nan kompak. Baiklah, tak ada salahnya. Atasan berwarna hitam dan bawahan berwarna biru pun menjadi pilihan dresscode kami. Selasa pagi sekitar jam setengah sembilan kami lalu berkumpul di depan Lapangan Sudirman Ambarawa sebagai meeting point kami sebelum menjelajah benteng pendem. Setelah semua beres, kami segera berangkat menuju ke lokasi benteng yang sebenarnya terletak tak jauh dari lapangan itu.
Ada dua cara sebenarnya untuk bisa masuk ke dalam area Benteng Willem I. Cara pertama adalah masuk melewati pintu gerbang Batalyon Kavaleri 2/ Tank Ambarawa dengan tak lupa terlebih dahulu memohon ijin masuk dari Pak Tentara yang berjaga di pintu gerbang. Aduh, karena agak ngeri kami men-skip cara itu dan memutuskan memakai cara kedua. Cara kedua adalah masuk melalui area belakang benteng yakni melewati gapura Desa Beteng lanjut menyusuri jalan kecil di samping pematang sawah hingga tembus ke pintu belakang benteng. Oh, letak gapura Desa Beteng mudah banget kok untuk ditemukan. Kalau kalian dari Semarang, gapura ini letaknya persis sebelum RSU Ambarawa sedangkan kalau kalian dari Salatiga atau Banyubiru letaknya persis sesudah RSU Ambarawa.
Sepanjang melewati jalanan kecil menuju pintu belakang benteng, kami berpapasan dengan beberapa warga desa yang nampak berjalan kaki menuju sawah atau mencari rumput di area benteng. Tentunya, salam ramah pun kami lontarkan kepada mereka sembari tersenyum. Tak ada 5 menit, sampailah kami di pintu belakang Benteng Willem I. Lah, terus parkirnya dimana ya? Apalagi di dekat situ tertempel tulisan tertanda Ketua RT Beteng yang menyebutkan, "demi keamanan kendaraan anda, kami mohon parkir di tempat parkir depan". Oh, pikir saya dan Yanta pasti nanti di depan sudah dipersiapkan serupa area parkir yang teduh. Kami berdua lalu memacu motor kami menuju area depan yang dimaksud. Ehhh, tiba-tiba kami sudah dihadang seorang petugas berseragam yang langsung menghardik dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan dengan nada keras. Khas pertanyaan protokoler. Yanta yang berada di depan saya nampak ketakutan dan grogi menjawab pertanyaan bapak tersebut. Tak berapa lama, seorang petugas lain datang menghampiri dan memberikan ijin bagi kami dengan dua syarat. Syarat pertama, kami harus scout jump 100 kali. Syarat kedua, kami harus goyang itik di depan mereka (plak!). Oke, saya bercanda. Heheh. Syaratnya cuma kami harus pindah parkir di area belakang dan tidak boleh terlalu ramai saja kok. Simple kan?
Setelah mengucapkan rasa terima kasih, kami berlalu meninggalkan kedua bapak tersebut. Saya paham kok maksud mereka. Pasti ini semua demi keamanan kami semua. Pasalnya, sebagian area benteng juga digunakan sebagai Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Ambarawa. Segera setelah memarkirkan motor di area yang aman dan nyaman, kami bertiga segera bersiap untuk menjelajah setiap sudut benteng ini. Terlihat segerombolan anak SMP- yang nampak juga tengah menyusuri area benteng bersama guru mereka daan...fotografer! Err, entah mereka sedang study tour atau sedang foto bersama untuk keperluan mengisi buku kenang-kenangan ketika mereka lulus SMP kelak. Tidak ingin terganggu dan mengganggu keriuhan mereka, kami bertiga memutuskan untuk naik ke lantai dua dan menyusuri area kanan dari lantai tersebut. Di area tersebut terdapat beberapa kursi santai yang diletakkan di depan ruangan-ruangan yang ada di lantai itu. Setiap ruangan memiliki pintu sendiri dan jendela yang besar-besar. Sepertinya ada yang menempati setiap ruangan dari bagian benteng ini. Tapi, siapa ya? Kami bertiga tetap melihat berkeliling sembari mengabadikan setiap sudutnya dengan kamera kami masing-masing.
Saat itulah, kami berpapasan dengan seorang bapak berseragam militer TNI AU. Beliau nampak memasuki salah satu ruangan yang terletak paling ujung dan dekat dengan tangga. Bapak ini keluar kembali dan segera mengunci ruangan. Nampaknya, ada barang yang tadi ketinggalan dan telah dibawanya sekarang. Iseng, saya pun menyapa sang bapak dan menanyakan apakah beliau tinggal di ruangan itu. Bapak yang berusia sekitar 45 tahunan itu lalu menjawab dengan ramah dan berkata bahwa beliau memang tinggal di ruangan tersebut seorang diri. Sudah hampir satu tahun lebih katanya. Dengan tertawa renyah beliau menambahkan kalau tinggal disitu tak ubahnya sarana uka-uka (uji nyali), tahulah uji nyali dari apa. Err, itu tuh makhluk astral. Udah jangan dibahas lagi. Tapi sang Bapak kemudian berkata tegar, satu tahun tinggal disitu tak ada apa-apanya dibandingkan kengerian tugas dan tinggal di Papua selama 10 tahun. Buset. Hormat Jenderal! Ada sekitar 10 menitan, saya dan Meykke bercakap-cakap dengan si Bapak. Setelah itu, beliau meminta ijin untuk berangkat kembali ke tempat kerjanya. Terima kasih sudah bercakap-cakap dan berbagi pengalaman dengan kami pak. Duh, saya tidak sanggup membayangkan kalau bertukar posisi dengan Bapak itu. Tinggal di salah satu ruangan Benteng Pendem seorang diri pasti sukses membuat saya setiap hari melambaikan tangan ke kamera sambil setiap malam tidur memeluk Al Quran. Heheh.
Kondisi Benteng Pendem memang nampak tidak begitu terawat. Ruangan-ruangan yang dihuni salah satunya oleh bapak petugas tadi saja nampak kusam dan lembab. Belum kondisi luar ruangan dan seantero dinding benteng pendem yang dipenuhi lumut dan tanaman liar. Di area belakang benteng terdapat dua gedung memanjang. Satu gedung dihuni oleh penduduk Desa Beteng yang sepertinya hampir semua adalah anggota militer. Sedangkan satu gedung dibiarkan terbengkalai dan tak berpenghuni. Ada jembatan kayu yang menghubungkan dua bangunan tersebut. Selain keunikan arsitektur bangunan yang megah dan kokoh, keunikan lain dari benteng ini adalah ada banyak jendela besar yang menghiasi setiap ruangan yang ada disana. Selain itu tidak ada area atau bagian dari gedung yang biasa digunakan untuk meletakkan meriam seperti benteng pertahanan pada umumnya, jadi saya meragukan fungsi benteng ini sebagai sarana pertahanan tentara sekutu dalam menghadapi serangan warga pribumi. Kegunaan benteng ini pada masa dahulu pun masih menjadi misteri.
Benteng itu kini, area kiri tak berpenghuni sedang area kanan berpenghuni |
Me di atas jembatan penghubung |
Meykke |
Yanta |
Dua jam lebih adalah waktu yang kami bertiga habiskan untuk melihat dan menyusuri area belakang Benteng Willem I. Perpaduan antara kekunoan, keindahan sekaligus kemistisan memang begitu terasa di tempat tersebut. Padahal, kami mengunjunginya di pagi hari loh ya. Setelah puas, kami bertiga memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Meninggalkan bangunan tua nan kokoh yang menjadi bukti jejak peninggalan Belanda di tanah Ambarawa. Semoga kau akan tetap selalu berdiri disana. Meski terus merenta dimakan oleh usia.
Salam Kupu-Kupu ^^d
cieee sudah di posting juga akhirnyaaa..eamng ya tiap postingan itu yang paling banyak gambarnya punya aneeee...-________- hahahaha
ReplyDeletecieee kejar setoran ini mey. heheheh. it's okay kalii, setiap blogger punya cara berbeda dalam menghias dan menulis postingan. :D
Delete5 tahun di Salatiga dan baru tau ada benteng ini. Salam kenal! keep traveling and blogging ya :)
ReplyDeleteAdaaa, sesekali jalan yang dekat-dekat dulu mas. Hahah.
DeleteSalam kenal! Same for you! :)