Friday, May 23, 2014

Menjelajahi Kembali Kabupaten Kudus - Part II



Hari kedua dalam penjelajahan bersama keluarga di Kabupaten Kudus, saya menuju ke bagian dari kabupaten ini yang terletak di ketinggian. Nah, benar sekali. Di hari kedua itu, kami memutuskan menuju ke daerah Muria. Muria sendiri sesungguhnya adalah nama sebuah gunung setinggi 1.602 mdpl dan merupakan wilayah dari tiga kabupaten yakni Kudus di bagian selatan, Jepara di bagian barat laut dan Pati di bagian timur. Kebanyakan orang mengunjungi Gunung Muria untuk melakukan ziarah ke makam Sunan Muria-salah satu tokoh Wali Sanga seperti halnya Sunan Kudus. Kami pun begitu. Namun selain ziarah kali kedua yang bikin lemas, saya juga berhasil mengunjungi obyek-obyek wisata lain yang ada di sekitaran sana. Baiklah, mari dimulai saja ceritanya.

Kami memulai perjalanan ke Muria sekitar jam sepuluh pagi. Sengaja agak siangan karena sekalian beres-beres, dan check out dari hotel yang kami inapi. Perjalanan kali ini lagi-lagi minus mama. Mama sudah meninggalkan hotel sedari pagi demi tugasnya. Sayangnya, kami salah memperkirakan. Berangkat agak siang ke Muria manakala Hari Minggu adalah kesalahan fatal. Di ujung jalan menuju ke Muria saja kami sudah dihadapkan oleh kemacetan. Banyak sekali orang yang hendak ke Muria di saat hari libur. Hal ini masih diperparah dengan sempitnya jalan utama menuju kesana, dan banyaknya bus-bus besar yang disewa peziarah berjalan super lambat karena menghadapi tanjakan atau tikungan. Hmm, sabar.

Makam Sunan Muria- Perjuangan Ziarah yang Melelahkan
Hari sudah semakin siang saat akhirnya mobil kami sampai di area parkir luar makam. Area parkir luar sudah nyaris penuh oleh kendaraan-kendaraan para peziarah. Untuk menuju ke Makam Sunan Muria yang terletak di puncak gunung, setiap pengunjung harus menapaki anak-anak tangga dengan jumlah yang kabarnya sekitar 700 buah. Kalau ogah capek, bisa sih menggunakan jasa ojek dari area parkir menuju puncak dengan tarif Rp 8.000,00.

Papa menantang saya dan adik untuk mencoba anak-anak tangga itu. Katanya, ini sekalian untuk mengecek apakah papa saya masih sekuat dulu, saat masih muda dimana ia sering ke Makam Sunan Muria bersama kakak, adik dan teman sepermainannya. Baiklah, tantangan itu pun saya terima. Eh, baru beberapa menit berjalan, papa sudah tampak kelelahan dan minta waktu untuk istirahat. Umur memang tak bisa berbohong ya. Hahah.

Dengan terpaksa saya meninggalkan papa dan adik di belakang. Alasannya, saya sudah tidak betah. Bukan masalah anak tangganya yang bikin capek. Tapi gara-gara saya merasa gerah luar biasa karena sepanjang perjalanan menapaki anak tangga dari bawah ke atas, setiap pinggirnya dipenuhi oleh  pedagang kaki lima. Semerbak bau kain dari dagangan yang mereka jual, bau masakan yang mereka tawarkan,  dan bau keringat setiap peziarah yang lewat (termasuk saya :p) rasanya bercampur aduk menjadi satu disana. Belum lagi, atap dari anak-anak tangga itu hanya berupa seng dan terkadang kain terpal. Makin menjadilah pengapnya.

Lihatlah, betapa ramainya suasana di puncak

Setali tiga uang dengan kondisi anak-anak tangga, di puncak juga sama ramainya dengan peziarah. Apalagi menjelang pintu masuk area makam. Beberapa orang tampak mendagangkan plastik kresek dan botol plastik kepada setiap pengunjung yang datang. Saya sebenarnya berencana untuk kabur meninggalkan tempat itu dan pergi ke dua obyek wisata lain di sekitar makam. Namun, saat niat tersebut saya utarakan kepada papa melalui pesan singkat (sinyal beberapa provider bakal susah saat di atas), eh, saya dilarang keras untuk beranjak dari tempat itu sebelum melakukan ziarah. "Orang niat utama datang ke Muria itu untuk ziarah, lah, kamu sudah sampai atas malah mau kabur begitu. Nanti! Tunggu papa dan adik sampai atas". Siap komandan.

Berbeda dengan pengalaman ziarah di Makam Sunan Kudus yang adem ayem, suasana ziarah di Makam Sunan Muria pada hari itu justru terkesan semrawut dan panas. Saking banyaknya jumlah peziarah, pengurus makam sampai memberlakukan sistem buka tutup tepat saat kami hendak masuk ke makam. Grr. Kami harus menunggu sekitar 20 menitan sebelum akhirnya dipersilahkan masuk. Saya pikir, perjuangan antri bakal berhenti sampai tadi saja. Salah. Salah total. Kami bahkan harus disuruh berhenti lagi sebanyak dua kali bersama rombongan-rombongan peziarah lain yang mulai merasakan gerah dan tidak sabar. Aksi dorong-dorongan pun sempat berlangsung dan membuat beberapa orang peziarah saling lempar hardikan.

Saya ngeri. Apalagi saat di salah satu poin pemberhentian hanya berupa lorong sempit tanpa ventilasi yang memadai. Rasanya dada sesak banget. Kalau tidak ingat saat ini saya tengah melakukan ziarah ke makam orang penting, saya pasti bakalan mencak-mencak sama orang di belakang yang terus mendorong. Ah, payah banget sistem keluar masuknya para peziarah. Seharusnya kan ada semacam pembatasan waktu begitu, jadi yang antri hendak masuk tak perlu menunggu terlalu lama. Lha, pasti yang sudah berhasil di dalam ingin berlama-lama disana kan?

Lagi-lagi selama pengantrian itu, saya masih melihat kebiasaan para peziarah yang coba memegang batang kayu gerbang-gerbang makam. Tapi kali ini saya tahu alasannya. Menguping dari bapak-bapak di sebelah kiri saya sih katanya supaya doa dan keinginan mereka bisa terkabul. Waduh! Darimana pula kebiasaan dan pemahaman itu berasal, coba? -_-

Para peziarah mengambil air suci

Selepas 1,5 jam mengantri akhirnya kami bisa masuk ke dalam. Suasana Makam Sunan Muria mirip dengan Makam Sunan Kudus, berada tepat di tengah-tengah bangunan dan dikelilingi makam-makam lain. Kami segera mencari posisi nyaman untuk duduk dan mendoakan sang sunan. Saya masih mendoakan sebisanya heheh. Kami tak berlama-lama di area makam, kami tahu banyak orang yang tengah tersiksa mengantri di belakang. Kami tak boleh egois, apalagi balas dendam. NO. Di sekitar area makam, para peziarah juga bisa mengambil air yang dipercaya suci. Oh, pantas saja tadi banyak orang yang menjual botol-botol bekas di depan.

Air Terjun Montel-Air Terjun Kebanggaan Warga Kudus
Dari beberapa air terjun yang terdapat di Kawasan Muria, Air Terjun Montel merupakan air terjun paling di-favorit-kan oleh para wisatawan. Letaknya tak seberapa jauh dengan Makam Sunan Muria, hanya sekitar 30 menitan berjalan kaki. Kalau sudah capek gara-gara kehabisan tenaga selama mengunjungi makam, bisa menggunakan jasa ojek yang tersebar di sekitar makam untuk mengantar kesana. Tarifnya sebesar Rp 8.000,00 untuk sekali jalan.

Untuk masuk ke dalam tempat wisata ini, kami harus membayar tiket sebesar Rp 5.000,00 per orang. Petugasnya baik hati, kami yang datang bertiga disuruh hanya membayar untuk dua orang saja. Ah, terima kasih. Petugas itu juga menyuruh kami untuk menyimpan tiket kami baik-baik, karena nanti mendekati air terjun akan ada loket kembali yang mengecek sekaligus melubangi tiket.

Jalan setapak menuju air terjun

Kami bertiga lalu berjalan menuruni jalan setapak dengan anak-anak tangga terbuat dari semen dan pecahan batuan. Jalan setapak ini berada di pinggir lembah, dan sepanjang jalan ada warung-warung warga yang mendagangkan makanan, maupun souvenir. Terlihat sekali kalau tempat ini selalu ramai dikunjungi orang.

Montel dari kejauhan

Bahkan di sekitar air terjun sudah banyak penjual

Hanya sekitar 15 menit berjalan kaki menulusuri jalan setapak, kami sudah bisa melihat air terjun setinggi 25 meter itu. Err, saya mendadak merasa salah waktu saat melihatnya. Bagaimana tidak, beberapa hari sebelumnya saya sudah melihat Curug Lawe dan Benowo yang keren abis. Sekarang? Garing aja rasanya. Debit airnya kecil, dan tidak sederas dua curug yang sudah saya lihat kemarin. Belum lagi, kondisinya ramai banget sama orang yang bermain air atau berpacaran di sekitar air terjun. Krik, krik, krik. 

Rejenu-Mencicipi Keunikan Mata Air Tiga Rasa
Saat tengah merasakan kebingungan hendak melakukan apalagi di Air Terjun Montel, mata saya melihat papan kayu kecil bertuliskan Air Tiga Rasa 100 M di seberang kami. Ah! Itu yang saya cari! Mata air tiga rasa merupakan obyek wisata yang paling saya ingin kunjungi dalam perjalanan ke Muria ini. Bahkan, dibandingkan ke Makam Sunan Muria. Saya pertama kali mendengarnya saat masih jaman kuliah semester akhir dulu pada salah satu tayangan berita di televisi. Kali ini, saya harus berhasil kesana. Apalagi cuma 100 meter kan?

Saya mengajak adik untuk ikut menuju kesana. Yah, daripada dia terus-terusan merengek minta mainan di bawah air terjun. Papa memilih untuk tidak ikut setelah tahu track menuju ke mata air tiga rasa dari air terjun mengharuskan kami naik ke pinggiran tebing terlebih dahulu. Gurat kelelahan memang tampak di wajahnya. Saya pun tak memaksa dan memintanya menunggu disini, nanti kalau ada apa-apa biar saling menghubungi via telepon seluler saja. Entah kenapa firasat saya sedikit tidak enak. Saya bersama adik pun segera menyeberangi sungai dan menapaki tebing nan becek untuk mencari sang mata air.

Jalan becek dari tebing di atas air terjun

Benar saja, firasat saya terbukti. Ternyata papan penunjuk arah yang kami lihat di bawah tadi tipu-tipu. 100 meter itu ternyata jarak dari bawah air terjun menuju ke atas. Di atas telah menanti jalan semen panjang dengan papan informasi mengatakan kalau Rejenu-si mata air tiga rasa masih 1,5 kilometer lagi. Mampus. Bagaimana coba ini? Setelah menanyakan kepada adik, dan ia mengatakan kalau mau mencoba dulu, akhirnya tetap berangkatlah kami berdua.

Selama perjalanan saya berulang kali menyemangati adik. Saya tahu ini kali pertama dia berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer. Di kanan kiri kami hanya terlihat pemandangan jurang dan hutan dengan pepohonan lebat. Sesekali bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan, dan penduduk sekitar nan ramah juga menyapa kami. Awal perjalanan sih masih enak karena jalanannya datar, namun semakin mendekati ke Rejenu hanya tanjakan-tanjakanlah yang terlihat. Tanjakan ini ada yang kemiringannya lumayan ekstrim, dan bikin kaki pegal luar biasa.

Kadang, melihat bunga liar seperti ini
bisa menghilangkan kecapekan kita


Tanjakan? Aku ra popo.

Butuh waktu sekitar setengah jam sebelum akhirnya kami berdua sampai di Kawasan Mata Air Tiga Rasa Rejenu. Beberapa tukang ojek tampak tengah bersantai sembari menunggu pelanggan di balai-balai yang tersedia. Warung makan juga sudah banyak terlihat di lokasi ini, beberapa di antaranya terlihat menjual botol-botol kosong yang saya yakin pasti tempat untuk air dari Rejenu.

Salah satu balai-balai yang bisa digunakan untuk istirahat

Selain di kenal dengan air tiga rasanya, Rejenu dikenal sebagai tempat melakukan ziarah. Di tempat ini memang terdapat makam dari Syech Sadzali, salah seorang murid dari Sunan Muria. Syech Sadzali sendiri kabarnya adalah murid sunan yang berasal dari Baghdad, Irak.

Gapura tua besar penuh lumut menyambut kami di pintu masuk. Dari gapura itu, untuk melihat air tiga rasa setiap pengunjung harus berjalan ke arah sebelah kiri. Sedangkan, kalau hendak menuju makam bisa mengambil jalur yang lurus. Kawasan Rejenu berada di tengah-tengah hutan lebat, sehingga kesan damai sekaligus misterius begitu terasa disana.

Gapura tua 

Ornamen gapura. Ada yang bisa bacanya?
Kok "tengunir phajuna" ya yang terbaca mata saya?

Air tiga rasa sendiri ternyata terbagi ke tiga kolam kecil dengan rasa yang berbeda-beda. Awalnya sih, saat saya mencoba air ketiga kolam itu terasa sama saja. Saya yang penasaran pun menanyakan kepada ke pengunjung lain. Katanya, "kalau minum pelan-pelan mas, jangan langsung ditelan. Dirasakan benar-benar pakai lidah". Saya menuruti sarannya, dan benar! Saya bisa merasakan bedanya. Jadi, ada tiga kolam. Sesuai apa yang saya rasakan, kolam paling kanan memiliki rasa manis di kandungan airnya, kolam yang paling kiri lebih ke rasa asam, sedang kolam yang di tengah entah kenapa saya justru merasakan sensasi spark semacam air soda saat mencobanya. Unik! Saya sendiri kurang tahu apa yang menjadikan rasa air di ketiga kolam itu bisa berbeda.

Kolam pertama: manis

Kolam kedua: mirip air soda plus kecut

Kolam ketiga: asam

Mendadak saya dikagetkan dengan suara handphone saya, papa menelepon. Saya dan adik harus cepat kembali ke parkiran mobil karena mama sudah selesai tugasnya. Waduh! Saya membayangkan harus pulang dengan berjalan kaki tentu tidak mungkin. Saya pun terpaksa mendatangi salah seorang tukang ojek untuk mengantarkan sampai ke terminal parkir. "30 ribu mas", kata tukang ojek yang saya hampiri. Hah? Mahal amat? Saya mencoba nego harga berkali-kali tetap gagal. Dalihnya karena jauh dan sudah sore, nanti dia balik ke Rejenu tak membawa penumpang lagi. Terpaksalah sudah saya akhirnya meng-iya-kan tawaran yang disampaikan tukang ojek itu.

Perjalanan ke Rejenu sekaligus mengakhiri acara penjelajahan kami di Kabupaten Kudus. Semua hal yang membuat penasaran, akhirnya telah kesampaian di kesempatan kali ini. Terima kasih sudah berkunjung, dan semoga tulisan sederhana saya bisa berguna bagi kalian yang tertarik menjelajahi kabupaten bersemboyan semarak itu.


P.S.
1. Again, camera are not allowed to use inside of Sunan Muria Cemetery Area. Preparing some plastic bags and empty bottles will help you in there.
2. Tidak ada tiket masuk ke Rejenu, yang ada hanyalah kotak sumbangan dan boleh diisi dengan sukarela. :)


Salam Kupu-Kupu ^^d

4 comments:

  1. sumpah eksotis bgt... lumutnya jg seger kayaknya kalo dijadiin lalapan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. yanta plisss -_-
      you should try the water of rejenu nta, unik abis.

      Delete
  2. kok aku belum pernah ke Rejenu ya....padahal orang Kudus sendiri..asli Muria lagi..punya kebun di antara Makam Sunan Muria dan Montel..tapi tetep males kesana....sesekali aah kesana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh ya? saya ngalahin orang Kudus dong ini. heheh.
      Iya kesana aja. Mari kenali tempat wisata daerah sendiri.
      Terima kasih sudah mampir. :)

      Delete