Tuesday, June 3, 2014

Cerita Bersama Tetangga Part XI - Menyapa Kabupaten Klaten Dan Sleman



Bendera penjelajahan saya bersama para tetangga berkibar kembali. Ini menjadi perjalanan kesebelas saya menjelajahi tempat-tempat wisata ditemani mereka. Sayangnya sekali lagi, personel yang ikut jumlahnya makin sedikit. Sekarang rasanya susah sekali untuk bisa mengumpulkan mereka seperti dahulu lagi. Beberapa sudah merantau, beberapa telah sibuk dengan aktivitasnya. Yah, saya tak bisa berbuat banyak. Satu-satunya cara yang bisa saya lakukan adalah tetaplah mengajak mereka berjalan-jalan, kalau ada yang bisa berapapun jumlahnya, ya ayo berangkat. Duh, kenapa awal pembukaan postingan ini terkesan mendayu-dayu ya? Back to topic, perjalanan kali ini hanya diikuti oleh saya, Decky dan Dody. Tujuannya adalah menyambangi beberapa tempat wisata yang ada di dua provinsi sekaligus. Huh? Kok bisa? Bisa, kan kami datang menyapa dua kabupaten beda provinsi yang saling berbatasan. Kedua kabupaten itu adalah Kabupaten Klaten di Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setelah sempat kethar-kethir karena Decky terlambat bangun hingga tepat satu jam setelah jadwal keberangkatan yang sudah kami bertiga sepakati, akhirnya kami berangkat menuju ke Kabupaten Klaten terlebih dahulu. Rencananya di masing-masing kabupaten akan ada dua tempat wisata yang  kami kunjungi selama perjalanan ini. Untuk menyingkat waktu tempuh, kami memilih jalan melewati Jatinom yang ternyata sekarang kondisi jalannya sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu. Saya ingat, dulu melewati jalan ini bagaikan melewati jalan menuju neraka dunia, sempit dan penuh lubang.

Our first stop that day was Gondangwinangun Sugar Museum. Museum ini mudah sekali untuk ditemukan karena letaknya yang strategis di Jalan Raya Solo-Yogya. Saat kami tiba disana, waktu masih menujukkan pukul 09.15 pagi. Suasana museum juga masih sepi bahkan nampak baru saja dibuka. Seorang 
penjaga loket dengan raut muka malas-malasan, menyambut dan menyerahkan buku tamu untuk kami isi. Entah apa yang membuatnya beraut muka seperti itu sepagi ini.

Museum Gula Gondangwinangun

Dari prasasti yang tertempel di dinding depan, museum ini telah diresmikan sejak tahun 1982. Peta besar bergambar Provinsi Jawa Tengah langsung menyambut kami begitu masuk ke area dalam museum. Peta itu menggambarkan persebaran pabrik atau perusahaan gula di Jawa Tengah dan dihiasi dengan lampu-lampu led kecil yang akan menyala saat kita menekan tombol nama perusahaannya. 



Sesuai dengan namanya, museum ini memang diperuntukkan untuk memperkenalkan para pengunjung tentang sejarah dan pengelolaan gula khususnya di Jawa Tengah. Kabarnya, Museum Gula Gondangwinangun merupakan satu-satunya museum bertema gula seantero negeri. Serupa dengan Museum Kretek di Kudus, meski keduanya memegang status "the one and only" tapi toh tetap saja koleksinya tidak terlalu banyak, serta ruangan display tidak begitu luas.

Beberapa koleksi museum, mulai dari alat penimbang,
pengukur hingga foto Dewi Pelindung Tebu
dalam Agama Hindu, Visvha Mitra.

Koleksi yang lain, ada alat pembasmi hama, kalkulator jumbo,
foto lahan tebu jaman dahulu dan alat serupa teropong.

Koleksinya tentu saja mayoritas merupakan alat-alat yang digunakan untuk proses pengolahan gula, mulai dari alat bercocok tanam, alat teknis untuk pengolahan hingga alat administrasi perkantoran. Maket-maket beberapa pabrik gula juga tersaji, ditemani dengan dokumentasi gambar pabrik gula pada jaman dahulu. Satu ruangan display diciptakan khusus untuk memberikan replika suasana ruangan administrasi Pabrik Gula Gondangwinangun lengkap dengan foto direkturnya dari masa ke masa.

Diorama suasana ruang administrasi pabrik gula

Saya kurang tahu apakah ini hanya saya yang merasakan, atau kedua tetangga saya juga ikut merasakan, tapi suasana ruang-ruang display di museum ini rasanya aneh sekali. Campuran antara sesak dan gerah begitu terasa di dalam sehingga saya sering sekali keluar masuk bangunan demi mencari udara segar.

Di luar bangunan museum juga terdapat beberapa koleksi museum seperti alat pengepresan tebu pada jaman dahulu, turbin penggerak, gerobak kuda hingga lokomotif tua yang digunakan pada jaman dahulu untuk mengangkut tebu dari ladang menuju pabrik. Kalau ingin merasakan suasana naik lokomotif tua itu, ada kereta mini yang bisa dipakai pengunjung berkeliling area pabrik gula. Namun, naiknya bukan dari depan Museum Gula melainkan dari Kawasan Green Park Gondangwinangun yang letaknya bersebelahan dengan kompleks museum. Kami sih terpaksa men-skip keinginan untuk naik mengingat masih ada tiga obyek wisata lagi yang harus kami kunjungi.

Entah kenapa saat lihat ini saya justru
teringat komponen pesawat :D

Montit atau kereta mini yang mengajak pengunjung
berkeliling PG Gondangwinangun

Pemberhentian kedua kami berada di Kabupaten Sleman, tepatnya di Kecamatan Prambanan. Eits, salah kalau berpikir tujuan kami adalah ke Candi Prambanan. Candi Prambanan sih sudah terlalu mainstream, sudah beberapa kali mengunjungi pula. Maka dari itulah, kami bertiga melipir ke pinggiran dan menuju ke Candi Ijo. Nama Candi Ijo sejatinya sudah tidak begitu asing dengan kami. Candi ini nyaris menjadi tujuan kami dalam petualangan kami dua tahun yang lalu. Sayang, waktu itu niat terpaksa kami urungkan gara-gara insiden harga tiket Candi Ratu Boko dan salah seorang tetangga saya yang lain, Mbak Reza, mengatakan "awas saja kalau sudah sampai sana candinya tidak berwarna hijau (ijo adalah istilah Bahasa Jawa untuk menyebut warna hijau)". Err, saya tak mau jadi tukang sesat lagi. Pikir saya waktu itu. Lalu, apakah Candi Ijo berwarna hijau?

Untung saja, kami dahulu mengurungkan niat karena ternyata Candi Ijo berwarna sama seperti candi-candi pada umumnya dan bukan berwarna hijau. Candi ini terletak di atas bukit tertinggi di Prambanan, dan nama bukit itu adalah Bukit Ijo. Nah, tahukan sekarang kenapa candi ini dinamakan Candi Ijo? Untuk menuju kesana kami harus melewati jalan menanjak dengan kondisi jalan yang rusak dan berlubang dimana-mana. Tapi, pemandangan dari atas langsung bikin hilang rasa lelah akibat melewati lubang-lubang terkutuk itu.

Candi Ijo

Dari atas kami bisa melihat pemandangan Kota Yogyakarta dimana yang paling menarik mata adalah view Bandara Adi Sucipto. Candi Ijo sendiri merupakan suatu kawasan candi yang terbagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama merupakan kompleks candi timur yang terdiri atas satu candi utama dan tiga candi kecil pendamping. Ketiga candi kecil ini masing-masing dibangun untuk penghormatan bagi Tri Murti, tiga dewa utama Agama Hindu. Bagian kedua berada di sisi barat dan terletak lebih rendah dari kompleks di sisi timur. Bagian barat hanya tersisa satu candi yang utuh sedangkan lainnya dalam bentuk puing-puing.

Lihat tanah lapang di depan sana? Itulah Bandara Adi Sucipto




Kami cukup lama berada di candi yang diperkirakan dibangun pada abad ke 10 sampai 11 Masehi ini. Entah kenapa meski cukup ramai oleh pengunjung, suasana damai terasa sekali di sekitar sana. Belum lagi, kami disuguhi hiburan melihat beberapa pesawat yang landing dan take off di Bandara Adi Sucipto. Rasanya ingin berlama-lama disana sampai menunggu senja menjemput. Ah, tapi kan kami masih hutang dua obyek wisata lagi yang belum dikunjungi.

Sisi barat dari Candi Ijo


Adzan Dzuhur tepat berkumandang ketika kami telah sampai di destinasi ketiga kami hari itu. Lokasi destinasi ketiga ini jaraknya tidak terlalu jauh dari Candi Ijo. Tulisan "SELAMAT DATANG DI NEW NGLEPEN" menyapa kami. New Nglepen? Ha? Belum pernah dengar? Kalau rumah dome atau rumah teletubbies sudah pernah dengar?

Gerbang selamat datang

Betul sekali, New Nglepen merupakan nama sebuah desa baru yang dibentuk akibat terjadinya gempa bumi besar di Jogja pada 2006 yang lalu. Uniknya, semua rumah disini berbentuk setengah lingkaran dan mirip dengan rumah di serial anak-anak Teletubbies. Total terdapat 81 rumah berbentuk dome yang digunakan sebagai tempat tinggal, masjid, puskesmas, aula warga, kamar mandi bersama, dan sekolah. Pembangunan kampung ini diprakarsai dan didanai oleh NGO Amerika Serikat, Wango, dan menjadi  kompleks rumah tahan gempa pertama di Indonesia.

Salah satu rumah dome yang diperuntukkan
sebagai puskesmas

Delapan tahun pasca gempa, penduduk kampung itu kini bersiap menyambut asa baru. Sesuai keputusan bersama, mereka mengubah kampung tersebut menjadi desa wisata. Berbagai paket wisata pun ditawarkan, pula halnya berbagai macam arena permainan anak dipersiapkan untuk menjaring wisatawan. Namun, sajian utamanya ya tetap menikmati suasana kampung dome itu.

Rumah dome sendiri meski dari luar terlihat kecil ternyata dalamnya lumayan luas juga. Setiap rumah terdiri atas ruang tamu, dua kamar utama, dapur dan lantai atas. Lantai atas ini bisa digunakan sebagai gudang atau kamar tidur tambahan. Tidak ada kamar mandi di setiap rumah karena setiap blok sudah diberikan satu rumah untuk kamar mandi bersama. Contoh dari rumah dome yang bisa dilihat secara leluasa oleh pengunjung adalah rumah yang dijadikan sekretariat desa wisata. Di sekretariat itulah setiap pengunjung wajib melaporkan diri dan membayar biaya masuk kampung.

Dody di depan bangunan sekretariat


Dalamnya masjid dome, luas juga kan? Bisa untuk 4-5 saf.


Selepas menunaikan sholat, kami bertiga memutuskan berkeliling kampung. Menelusuri jalan-jalan yang tak begitu luas dan terkesan gersang karena minimnya tanaman peneduh. Mayoritas rumah-rumah dome itu kini kondisinya tampak memperihatinkan, dengan lumut dan retak terlihat dimana-mana. Warna putih tembok rumah juga terlihat kusam dan mulai mengelupas. Ah, andai rumah-rumah ini dicat dengan warna-warna mencolok mata pasti akan terlihat lebih menarik.

Entah kenapa tertarik kepada pemandangan ini.
Seorang gadis kecil membantu ayahnya mengecat
rumah dome milik mereka. 

Ini yang disebut nasi aking kan? Saya pernah melihat
beberapa penduduk menggunakannya untuk makanan
ternak meski ada pula yang memanfaatkan
sebagai makanan sehari-hari.

Sayang, rasanya niat untuk bisa melihat kompleks rumah dome beraneka warna bukanlah perkara yang mudah. Kami sempat mampir di salah satu warung warga sekedar untuk beristirahat dan bercakap-cakap. Dari penuturan ibu pemilik warung, mayoritas warga di New Nglepen tergolong warga miskin. Boro-boro untuk mengecat rumah, untuk keperluan makan sehari-hari saja sudah sulit. Ada sih warga yang berinisiatif mengecat sendiri rumah mereka, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Perbincangan pun terus mengalir antara kami dan ibu itu, ada nada ketegaran yang bisa selalu saya tangkap dari setiap gerak bibirnya. Ketegaran ini paling terlihat saat si ibu membayangkan kembali ingatan tentang kampungnya dulu yang permai. Kampung yang terpaksa ditinggalkan karena telah rata oleh tanah.

Kumandang Adzan Ashar menyadarkan kami untuk segera cabut menuju destinasi terakhir kami. Destinasi terakhir ini yang paling saya nantikan karena merupakan salah satu poin dalam bucket list pribadi. Setelah pamitan dengan ibu pemilik warung, kami bertiga memacu motor kembali menuju Candi Plaosan di Kabupaten Klaten.

Candi Plaosan terletak tak seberapa jauh sebenarnya dari Candi Prambanan. Paling hanya memakan waktu selama 15 menit untuk sampai kesana. Candi ini sudah menjadi incaran saya sejak dulu. Pertama kali melihatnya dari foto instagram salah satu teman, dan semakin ingin mengunjungi setelah Mas Wibisono-salah satu blogger favorit saya menuliskan cerita kunjungannya. Saya juga merasakan apa yang ia rasakan. Entah kenapa melihat foto-fotonya saja mampu membuat saya merasakan getar yang aneh dalam diri ini. Seolah-olah ada yang memanggil dan menyuruh saya untuk mengunjungi candi itu.

Saya sempat berhenti di pinggir jalan untuk sekedar mendapatkan foto Candi Plaosan bersama ribuan tanaman padi yang nampak hijau segar. Terpujilah Decky. Melihat saya tampak kurang puas dengan hasil jepretan sendiri, dia pun merelakan berjalan menyusuri pematang sawah untuk memperoleh foto candi yang lebih terasa feel sawahnya. Sebenarnya sih saya mau ikut juga turun ke sawah, tapi ngeri aja kalau tiba-tiba pemilik sawah menegur karena melihat dua anak manusia tak dikenal di area sawah miliknya.

A courtesy of Decky. Hasil karyanya.

Sehabis melaporkan diri di pos satpam, kami bertiga tak lekas berkeliling area candi. Sebaliknya, kami justru memilih beristirahat sejenak di puing-puing dekat dua patung besar yang saling behadapan. Saya kurang tahu apa namanya. Cahaya sore dan semilir angin sukses membuat kami duduk santai sembari bercerita apa saja, mulai dari mengingat petualangan bersama kami selama ini, sampai memuji para pekerja yang telah berkontribusi menciptakan candi semegah apa yang kami lihat petang ini. Pasti tidak mudah, menyatukan satu per satu bagian candi yang tak ubahnya bagaikan puzzle raksasa itu. Saya jamin orang-orang jaman sekarang belum tentu bisa membangun hal yang serupa meski pakai bantuan mesin sekalipun.

Ada bagian candi yang sedang direnovasi

Candi Plaosan sendiri ternyata terbagi ke dua kompleks, Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Tempat kami berada sekarang adalah Candi Plaosan Lor dimana terdapat dua candi utama, dan ratusan candi kecil (perwara) di sekeliling dua candi utama itu. Candi-candi kecil ini ada yang utuh, meski lebih banyak yang berbentuk puing-puing. Saat mengecek ke dalam candi utama, saya terkejut. Ternyata di dalam candi terdapat tiga ruangan dengan luas sekitar 3x4 meter. Ini kali pertama saya melihat suatu candi yang memiliki tiga ruangan, biasanya kan cuma satu. Di setiap ruangan ada arca yang saya kurang jelas bentuknya karena di dalam sangatlah gelap.

Cahaya matahari kian lama kian meredup. Sebenarnya kami ingin lebih berlama-lama disana, mengabadikan setiap sudut Candi Plaosan Lor yang terlihat cantik ditengok darimana saja. Sayang, bapak petugas satpam yang gemar sekali berpatroli terus mengingatkan setiap pengunjung kalau kompleks ini akan ditutup pada pukul lima sore.

Mengintip candi utama dari puing-puing

Stupa, bukti kalau candi ini merupakan candi aliran Budha

8 Candi Perwara

Kami bergegas menengok sebentar Candi Plaosan Kidul. Untuk menuju kesana kami harus berjalan menyeberang jalan dan memasuki jalan kampung. Jalannya tidak terlalu jauh kok, bahkan kompleks candi itu bisa dilihat dari pintu masuk Candi Plaosan Lor. Untunglah, pintu gerbang masuk candi masih dibuka sehingga kami bertiga bisa masuk untuk sekedar melihat-lihat.

Candi Plaosan Kidul


Berbeda dengan Plaosan Lor yang memiliki dua candi utama, kami hanya bisa menemukan candi-candi kecil di tempat ini. Candi-candi itu mirip sekali bentuknya dengan para candi perwara di Plaosan Lor. Kompleks Candi Plaosan Kidul berada di tengah-tengah perkampungan penduduk dengan total enam candi yang berdiri utuh.



Sekumpulan anak kecil tampak tengah bermain sepak bola di lapangan sebelah candi. Mereka semua terlihat riang, mengabaikan fakta kalau malam sebentar lagi datang. Saya pun mencoba memfoto mereka secara sembunyi-sembunyi. Ah, sejujurnya saya merasa iri dengan mereka. Saya iri kepada penduduk di sekitar candi. Mereka sungguh beruntung. Beruntung karena bisa bertetangga langsung dengan hasil peninggalan leluhur yang tak ternilai harganya. Membuka pintu rumah saja langsung disuguhi pemandangan candi loh mereka.

They are so lively!

Kiranya, keputusan kami menjadikan Candi Plaosan sebagai obyek wisata terakhir kami sangatlah tepat. Bisa menikmati senja di pelataran candi adalah pengalaman baru, dan saya langsung jatuh cinta! Di mata saya, candi yang terpapar cahaya senja malah terlihat sexy. Seolah-olah, membangkitkan memori masa lalu di dunia sekelilingnya. Saya tak akan melupakan pengalaman berharga dan kenangan manis dari seluruh perjalanan kami hari ini. Terima kasih tetangga, terima kasih.



Senja di Candi Plaosan. Diambil dari seberang jalan. 


How Much We Spent:
1. Tiket masuk Museum Gula: Rp 5.000,00/orang
2. Tiket masuk Candi Ijo (sukarela): Rp 4.000,00/3 orang
3. Tiket masuk Kampung New Nglepen: Rp 3.000,00/orang. Harga ini merupakan harga tanpa guide.
4. Tiket masuk Candi Plaosan (sukarela): Rp 4.000,00/3 orang
5. Parkir: Rp 2.000,00 per motor dikali 4 tempat wisata: Rp 8.000,00/motor
6. Bensin (saya patungan dengan Decky): Rp 12.000,00



P.S. 
Sejujurnya, perjalanan kali ini merupakan perjalanan terakhir sebelum Decky merantau ke negeri nun jauh disana. Sedih, tapi bagaimanapun takdir memang telah menggariskan demikian. So, here's a message for you:
"Hey Decky, always do your best. No matter what will happen to you, and no matter how hard it will be. Be grateful, I know you are a great person, and it's your dream after all. Take care!  Let's make a promise to go traveling again when you are back, together, with all of Us. Sayonara! Till we meet again, kun!"


Cheers!


Salam Kupu-Kupu ^^d

2 comments:

  1. pas aku pulang, bikin trip kedua kesini lhoo...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Boleh boleh. Apalagi ke Candi Plaosan, 100% aku bersedia tuan.

      Delete