DISCLAIMER!
This post may contain disturbing pictures to some people. And yes, my photo is included as disturbing one too.
Dalam bucket list traveling pribadi, saya pernah menantang diri saya sendiri untuk mencoba memakan makanan-makanan ekstrim yang ada di suatu daerah. Entah apapun itu bentuknya selama masih diperbolehkan oleh ajaran agama yang saya anut. Berbagai jenis makanan olahan dari hewan yang tak lazim digunakan dalam proses memasak pun menjadi incaran saya. Salah satunya adalah makan belalang goreng. Bagi sebagian kecil daerah di Indonesia, makanan berbahan belalang jamak dijumpai sebagai kekayaan kuliner mereka. Mudik lebaran tahun ini memang istimewa, selain bisa berjumpa dengan saudara-saudara yang jarang bersua, saya juga bisa melakukan hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Termasuk di dalamnya adalah kesampaian untuk memakan belalang goreng untuk kali pertama.
Semua bermula dari perjalanan mudik saya bersama keluarga dari Jogja menuju ke Pacitan. Kali itu, kami memilih rute melewati Gunung Kidul dengan pertimbangan jaraknya yang lebih singkat. Sayangnya kami justru terjebak macet yang teramat parah sepanjang perjalanan. Allah maha adil, setelah melalui lika-liku kemacetan yang bikin emosi cekak, eh, manakala melewati daerah Semenu mata saya melihat berderet-deret pedagang yang menjajakan belalang goreng di pinggir jalan!
Salah seorang penjual |
Saya langsung mengutarakan keinginan untuk mencoba belalang goreng kepada kedua orang tua. Mobil kami pun berhenti sejenak di salah satu penjual, seorang wanita muda berusia dua puluh tahunan. Belalang yang dijual sudah digoreng dan dikemas ke dalam kaleng-kaleng plastik atau bungkus mika. Harganya bervariasi tergantung kemasan apa yang digunakan, satu porsi belalang goreng yang dikemas di kaleng plastik harganya lebih mahal dibandingkan satu porsi belalang goreng yang dikemas di bungkus mika. Perbandingannya adalah Rp 25.000,00 banding Rp 15.000,00.
Harga segitu sebenarnya lebih mahal dibandingkan harga normal, katanya karena masih suasana lebaran maka harga naik. Mama saya mencoba menawar harga kepada si mbak. Awalnya dia kukuh mempertahankan harga di patokan itu sebelum akhirnya luluh dan menyerahkan belalang goreng yang dibungkus mika dengan harga Rp 12.000,00.
Belalang yang digoreng ini bukanlah belalang kecil-kecil yang sering kita jumpai di padang rumput. Belalangnya berukuran gede bahkan ada yang sebesar ibu jari saya. Menurut si mbak penjual, belalang yang digunakan adalah jenis belalang pohon yang bisa dijumpai di pohon jati atau karet. Tapi di Gunung Kidul sendiri kini sudah ada beberapa peternak belalang pohon yang memasok bahan baku kepada para penjual.
Nyaris sejempol saya! |
Untuk semakin menarik minat pembeli, para penjual belalang goreng pinggir jalan menjajakan belalang dengan berbagai varian rasa. Ada yang manis, asin, dan pedas. Ada pula yang dimasak bacem dan balado. Selain itu kalau ingin membumbui sendiri belalangnya, pembeli juga bisa memilih yang masih mentah. Belalang mentah ini diikat menjuntai pada seutas tali. Satu utas tali berisi sekitar dua puluh ekoran belalang, sedang kalau yang pakai kemasan kaleng plastik atau mika hanya berisi 15 ekoran saja.
Kemarin, kami hanya membeli satu bungkus belalang goreng dalam kemasan mika dengan rasa pedas. Cuma beli satu bungkus karena sekedar untuk menuntaskan rasa penasaran. Mama saya sudah angkat tangan ogah mencoba gara-gara merasa jijik melihat belalang yang ukurannya besar-besar itu. Kakak, adik dan papa saya juga ogah untuk mencoba.
Jujur, saya merasa ngeri juga sebenarnya. Apalagi entah kenapa bau belalang goreng jauh banget dengan aroma binatang yang digoreng lainnya seperti ayam, ikan, atau daging sekalipun. Baunya sedikit aneh dan membuat grogi bagi para first timer seperti saya. Berulang kali saya mengambil satu ekor belalang, niatnya sih mau memasukkan ke mulut, eh kemudian tidak jadi karena takut. Kedua orang tua, kakak plus adik saya langsung kompak menyerang dan mengejek habis-habisan. Hih! Baiklah, saya akan memulai memakannya. Saya memutuskan memakan kaki satu ekor belalang goreng terlebih dahulu. Saya patahkan satu kakinya yang dihiasi semacam duri-duri kecil itu dan memasukkan ke dalam mulut.
Waktu seakan-akan berjalan lambat mengikuti lambatnya kunyahan saya terhadap kaki belalang itu. Surprisingly, walau baunya agak aneh ternyata rasanya biasa saja. Saya pun langsung memasukkan belalang itu secara utuh ke dalam mulut dan disambut dengan teriakan jijik dari seluruh anggota keluarga saya. Tekstur belalang sangat crunchy dan sedikit alot selama dikunyah. Saya justru teringat saat memakan udang goreng utuh atau tengah menggigiti kepala ikan goreng. Yap, sensasinya sama seperti itu.
Detik-detik sebelum melahap |
Sayangnya, kenikmatan saya mencoba belalang goreng mendadak terhenti gara-gara celetukan usil kakak. "Ih, kaya lagi makan coro (kecoak)!", tukasnya tanpa dosa. Saya langsung terdiam. Dari semua serangga memang saya paling jijik sama yang namanya kecoak-hewan yang suka bermukim di tempat kotor. Saya melihat bungkusan belalang goreng di tangan. Saya tahu kalau kecoak dan belalang sangat berbeda. Tapi entah kenapa yang terbayang di benak saya saat itu ya kecoak sialan tadi. Argh.
Saya pun menyimpan kembali bungkusan belalang goreng dan menyimpannya rapat-rapat dalam kantong plastik. Biar nanti saya makan saja saat sudah tiba di Pacitan, dengan catatan selera makan saya muncul kembali. Begitu sampai di Pacitan, belalang goreng tadi justru diserbu oleh saudara-saudara saya. Ada saudara saya yang memang berasal dari Gunung Kidul dan terlihat santai sekali saat memasukkan belalang goreng ke mulutnya sambil berkata "enak loh enak". Tambahnya lagi belalang goreng ini makanan favorit mereka sekeluarga dan biasanya mereka mencari belalang di hutan atau membeli dari pedagang kemudian dibumbui sendiri.
Sisa perebutan |
Saya mempersilahkan bungkusan belalang goreng tadi dihabiskan oleh mereka. Agak menyesal sih karena hanya membeli satu bungkus, kalau tahu animo saudara sebesar itu pasti kami akan bawakan beberapa bungkus. Saya? Saya cukup makan satu ekor saja. Saya sudah mencoba mengambil lagi tapi tetap saja perkataan kakak terulang-ulang melulu di kepala bagaikan perkataan para ahli hipnotis. Ah ya sudahlah, rasa penasaran saya sudah terbayar. Bagaimanapun walau cuma satu ekor, yang penting saya sudah mencoba. Ya, kan? Ya, kan? Ahahah.
Salam Kupu-Kupu dan Belalang Goreng. ^^d
info yang mantap mas,, salam dari belalang goreng
ReplyDelete