Saturday, November 28, 2015

Bernostalgia Dengan Lawang Sewu



Pada akhir tahun 2009, saya mulai menjadi penduduk sementara Kota Semarang. Di awal masa kuliah saya di kota tersebut, saya bukanlah orang yang doyan jalan-jalan seperti sekarang ini. Boro-boro mau traveling, kegiatan saya sepulang kuliah hanyalah tidur di kost atau nongkrong geje bersama teman. Namun saya ingat, ada satu tempat wisata yang pernah saya kunjungi di masa awal kuliah tersebut. Tempat wisata itu adalah Lawang Sewu.

Waktu itu, Lawang Sewu terkenal dengan keangkerannya. Saking horornya, seingat saya bangunan tersebut pernah dinobatkan sebagai salah satu dari "The Most Haunted Places in Asia". 

Suatu malam, handphone saya berdering. Salah seorang teman kuliah mendadak menyuruh saya untuk berkumpul di area parkir kampus. Ketika sampai disana, ada sekitar lima teman kuliah yang telah menanti. Rupanya, mereka hendak mengajak saya untuk jalan-jalan. Tujuan? Kata mereka rahasia dan akan saya ketahui nanti. Disitu, perasaan saya mulai tak enak.

Benar saja, ternyata iring-iringan motor rombongan kami mengarah ke bangunan beraura suram dan gelap di salah satu pusat keramaian Kota Semarang - Kawasan Tugu Muda. Glek. Jangan bilang kami hendak masuk ke dalam Lawang Sewu. Saya langsung mencak-mencak ke salah satu teman, tapi tetap tak bisa kabur. Total, kami berenam ditambah satu pemandu telah siap beruji nyali menelusuri bangunan berpintu banyak itu.

Singkat cerita, tak ada perasaan lain selain merinding ketika mengikuti tur malam tersebut. Kami semua bergerak mengikuti arahan pemandu. Melewati ruang demi ruang, lantai demi lantai, sudut demi sudut hingga lorong demi lorong. Sesekali sang pemandu akan menyuruh kami berhenti kemudian bercerita tentang sejarah atau tragedi yang pernah terjadi disana.

Sungguh, bulu kuduk saya terus-terusan berdiri sepanjang tur berlangsung. Apalagi ketika memasuki ruangan yang dulu pernah dijadikan tempat menyiksa atau mengeksekusi tawanan, beh, auranya aneh sekali. Entah kenapa saya merasa kalau kami tengah diawasi oleh mata-mata tak terlihat, hal yang terus terasa bahkan ketika saya sudah kembali ke kamar kost. Membuat saya terjaga sampai pagi pasca mengikuti tur itu.

****

Lima tahun berlalu. Ajakan jalan-jalan dadakan dari tiga teman SMA, Nana, Aqid, dan Anton - kembali membawa saya berjumpa dengan Lawang Sewu. Kami baru tiba disana saat jam telah menunjukkan pukul 5 sore setelah seharian berkeliling di Goa Kreo. 

Sebuah loket tiket berdiri tepat di sebelah jalan masuk utama menuju Lawang Sewu. Dari tulisan yang terpampang di dindingnya tertera angka Rp 10.000,00, Rp 5.000,00, Rp 5.000,00 dan Rp 30.000,00. Secara berurutan itu adalah tarif yang dikenakan bagi wisatawan dewasa, anak, pelajar dan jasa pemandu.

Jasa pemandu ini bersifat optional, pengunjung bebas memilih mau memakai atau tidak. Berhubung saya dan Anton sudah pernah ke Lawang Sewu, kami pun tak menggunakan jasa pemandu. Jangan khawatir, ada papan penunjuk arah di beberapa sudut bangunan sehingga pengunjung tak bakal tersesat.

Lawang Sewu kini jauh lebih terawat. Itu kesan yang sekilas saya dapatkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di pelatarannya. Taman-tamannya tertata dengan rapi. Begitu pula dengan cat pelapis dinding setiap bangunan yang terlihat masih baru. Kesan suram dan menyeramkan sebagaimana yang saya rasakan ketika pertama kali mengunjunginya dulu sudah tak begitu terasa lagi.

Lawang Sewu yang berwarna dan menghijau

Penjagaannya juga jauh lebih ketat. Tepat di bawah sebuah jembatan penghubung antar dua bangunan, kini terdapat loket pemeriksaan tiket dengan banyak petugas yang berjaga di sekitar sana. Pengelola tampaknya berusaha menjaga aspek keamanan, tak hanya bagi bangunan bersejarah ini namun juga kepada setiap pengunjung yang datang.

Pos pemeriksaan tiket

Kami pun mulai berkeliling. Bangunan yang didesain oleh Cosman Citroen dan bergaya New Indies ini terbagi ke dalam beberapa bagian. Gedung A, Gedung B, Gedung C dan beberapa gedung-gedung kecil lain. Jujur, semenjak direnovasi saya jadi kurang mengerti pembagian gedungnya. Hanya Gedung A-lah yang paling gampang dibedakan mengingat letaknya yang berada di muka dan memiliki dua menara besar.

Foto Gedung A yang saya ambil selepas senja

Beberapa bagian dari Gedung A tampak tak bisa dimasuki karena tengah dalam proses renovasi. Sementara, beberapa ruangan lainnya telah disulap menjadi museum tentang Lawang Sewu dan perkereta apian di masa kolonial. Kenapa kereta api? Sejatinya, Lawang Sewu adalah bangunan yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dimanfaatkan sebagai kantor pusat dari Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij - perusahaan jaringan kereta api yang mengurusi jalur transportasi di Pulau Jawa.

Berbagai koleksi ditampilkan di museum itu seperti: seragam petugas kereta api dari masa ke masa, foto-foto yang berkaitan dengan berbagai stasiun di Pulau Jawa, miniatur kereta api yang digunakan di era lampau, diorama-diorama, hingga alat komunikasi jaman dahulu. Di salah satu ruangan bahkan disediakan semacam theater mini yang menayangkan film tentang sejarah perkeretaapian, dan diputar terus menerus.

Dokumen kereta masa lampau

Miniatur kereta jaman kolonial

Selanjutnya, kami bergerak menuju ke Gedung B. Seingat saya, Gedung B adalah gedung dengan aura paling menakutkan dulu. Sekarang, hawa berbeda 180 derajat saya rasakan saat berkeliling disana.

Berasa rumah mewah ya?

Lorong-lorong panjang yang dulu terasa pengap dan gelap, kini diterangi oleh lampu berwarna kuning temaram ketika malam menjelang. Ruangan yang dulu pintunya tertutup rapat-rapat juga saat ini telah terbuka lebar. Saya jadi teringat scene salah satu film religi yang sempat melakukan pengambilan gambar di salah satu ruangan itu.

Lampu kuning temaram memberi kesan
eksklusif kepada Lawang Sewu

Setahu saya, pintu paling ujung itu
tak pernah dibuka. 

Dari sana kami kemudian naik ke lantai atas. Tak banyak yang bisa dilihat, selain ruangan-ruangan kosong berpintu besar. Bagian paling mengasyikkan dari lantai atas ini adalah kami bisa melihat keseluruhan kompleks Lawang Sewu, termasuk melihat bagaimana perubahannya sekarang.

Pintu semacam ini mudah sekali
ditemukan pada bangunan peninggalan
jaman kolonial.

Menikmati Lawang Sewu dari lantai atas

Tak ubahnya dengan Gedung A, beberapa bagian dari Gedung B juga tertutup untuk umum karena tengah dilakukan renovasi, seperti: lantai yang dulu dijadikan area dansa, serta ruang bawah tanahnya yang "termahsyur" itu.

Hari sudah semakin gelap saat kami berempat selesai berkeliling Lawang Sewu. Sebelum pulang, kami menyempatkan diri untuk menyeberang ke arah Tugu Muda. Menurut saya, tugu penghargaan atas jasa pahlawan yang gugur dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang ini merupakan salah satu spot terbaik untuk mengabadikan Lawang Sewu.

Lawang Sewu dari Tugu Muda. 

Tugu Muda berlatar Museum Mandala Bakti

Secara keseluruhan, saya senang dengan perubahan dari Lawang Sewu. Ia menjadi lebih bersih, terawat, rapi dan aman. Yah, sudah tidak seram lagi dong? Psst, aura itu tetap ada kok, meski tak sebesar dahulu.

Terima kasih sudah mampir. Terima kasih juga Aqid,
Nana, Anton! :)


****

Omong-omong, saat mengunjungi Lawang Sewu dan menuliskan postingan ini saya jadi teringat teman-teman kuliah dulu. Hey, apa kabar kalian semua? :)


Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggung jawab*.

*) Mari menjadi pejalan yang bertanggung jawab. Saya memutuskan menambahkan frase itu ke dalam akhir postingan saya,  dimulai dari postingan ini dan selanjutnya. Bukan apa-apa, saya mulai jengah melihat berita beberapa destinasi pariwisata yang rusak hanya karena tindakan tak bertanggung jawab dan berhati nurani dari para pejalan. Frase tersebut sekaligus digunakan sebagai pengingat bagi diri sendiri, bagaimanapun saya juga termasuk ke dalam bagian dari para pejalan, bukan?

7 comments:

  1. Ngomongin Lawang Sewu jadi inget dulu aku pertama kali tahu ini tempat dari tayangan TV dunia lain tahun 2004. Habis itu tahun 2008 pas zaman kuliah, motoran ke sini sama temen2 dari Jogja. Malah pas kuliah ini aku "terdidik" buat hobi jalan-jalan, karena setiap habis ujian akhir kami jalan-jalan entah ke mana. Bagian dari Lawang Sewu yang menurut aku paling bagus itu ruang yang ada jendela kaca patrinya. Sepertinya sih lagi nggak direnovasi, tapi pintunya tutupan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga kuliah kok mas jaman terdidiknya jadi tukang jalan-jalan, tapi bukan pas awal-awal kuliah. Pertengahan mungkin, dulu pertama kali nggembel ke Jogja. :D

      Iya, kaca patri gede Lawang Sewu itu keren banget mas. Oh, ruang dansa yang ada tangga besi (konon cuma ada dua di dunia: satu disana, satunya lagi di Kapal Titanic) juga bagus. Sayang pas direnovasi. :(

      Delete
  2. Seringnya kesini pas siang siang mas, kalau pas malem belum pernah sama sekali :D Hehehe..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba pas malem mas sekali-sekali, dan rasakan "bedanya". 3:)

      Delete
  3. Pertamakali ke Lawang sewu tahun 2002, tapi diusir dengan kasar sama bapak2 penjaganya. Waktu itu gedungnya masih bobrok.

    Berhasil masuk pertamakali tahun 2007, masih tertutup untuk umum. Bisa masuk karena bayar penduduk setempat untuk jadi guide. Puas banget bisa motret2 sampe masuk terowongan bawah tanah dan menaranya.

    Tahun 2012 balik dan gedungnya udah lebih tertata. Tapi sayang, udah ga bisa masuk gedung yg di depan, dan ga bisa naik sampe menara.

    Tahun 2013 kemari lagi dan agak il-feel karena terlalu rame dan ga bisa ngerasain aura kekunoannya lagi. Hahaha... manusia emang banyak maunya ...

    Thanks for bringing back the memory ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. My pleasure, mas! Aaak dikomen sama salah satu blogger favorit aak. *malu*

      Delete